Sementara itu soal Royalti, Bambang Patijaya mengatakan usulan kenaikkan sudah lama dilakukan. Dirinya berharap negara tidak kehilangan momentum untuk memperoleh pendapatan untuk negara.
“Kami masih menunggu kajian dari pada direktorat minerba untuk duduk sama-sama. Para pelaku pembuat regulasi dapat memberikan win win solution yang bai. Jangan sampai pemerintah hanya menyampaikan isu yang kontra produktif,” kata dia
Pendapatan Negara
Sementara itu Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA dan KND Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi mengatakan penerimaan PNBP timah di Bangka Belitung dipengaruhi volume penjualan dan harga. Penerimaan 2020 menurun seiring turunnya volume, namun Penerimaan 2021 meningkat karena peningkatan volume dan harga. Penerimaan 2022 diproyeksikan akan meningkat karena meningkatnya harga timah.
Ia mengatakan Penerimaan Dana Bagi Hasil terbesar dalam 5 tahun terakhir diperoleh oleh pemda Provinsi Babel sebesar 522,57 miliar atau sebesar 22,69% selanjutnya Kabupaten Bangka sebesar 367,13 miliar atau 15,94%. Penerimaan DBH terbesar didapatkan pada tahun 2019 dengan total DBH sebesar 796,95 miliar.
“Untuk sumber daya minerba ini, sampai saat ini memang SDA minerba masih menjadi pemain kuncinya (pendapatan),” katanya.
Kurnia Chairi mengatakan dengan sinergitas SIMBARA, maka sektor pertambangan lebih terawasi. “Ke depan, Kementerian Keuangan bisa melihat dari hulu dan hilir pertambangan timah,” kata dia.
Sementara itu, Mamit Setiawan dari Energy Watch yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan ada beberapa isu yang saat ini sedang dibahas, pertama wacana larangan ekspor timah, adanya wacana kenaikan royalti dan desakan penerbitan IUP untuk Logam Tanah Jarang.
Menurut Mamit perlu adanya tata kelola industri timah yang lebih baik lagi yagn tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.
"Pelarangan ekspor timah harus dipikirkan kembali dampaknya bagi industri timah sendiri, industri dalam negeri, masyarakat, pemerintah daerah dan pastinya terhadap penerimaan negara," kata dia.
Dengan cadangan timah Indonesia yang tidak besar, maka banyak persoalan yang harus disoroti dan menjadi persoalan industri timah nasional. Menurut dia cadangan itu diperkirakan hanya sampai 11-12 tahun ke depan.
"Tata niaga timah yang masih lemah dan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik pusat maupun daerah," kata dia.
Dirinya pun menyoroti konsumsi timah domestik yang masih rendah, dan hilirisasi timah yang lambat.
"Kalau konsumsi sedikir, dan industri hilirisasi lambat, akan sulit untuk indusrti ini di masa depan," katanya.
Menurut Mamit Setiawan, kemudahan proses perizinan harus dilakukan agar masyarakat tidak terjebak di pertambangan liar.
"Rawan terhadap terjadinya konflik sosial masyarakat terkait perbedaan ekonomi yang cukup luas. Terhadap lapangan pekerjaan dan isu-isu lainnya," tukas Mamit.(pas)