Oleh: Safari Ans - Salah Satu Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung -- \"TIDAK bisa dipungkiri. Dunia tambang timah kini menggila. Seakan kekayaan alam berupa tanah dan air pulau Bangka dan Belitung (Babel) tak bertuan. Sejak UU No.3/2020 disahkan, hak Bupati dan Gubernur mengelolanya hilang. Dibredel Pemerintah Pusat. Tak salah kalau Gubernur dan Bupati abai. Apalagi PT Timah Tbk tak dianggap BUMN lagi. Setidaknya itu setelah Tipikor gagal mengadili karyawan timah yang dituduh korupsi. Parahnya lagi, kini anak perusahaan PT Inalum (Persero) ini 90% gunakan rakyat sebagai penambang di wilayahnya tanpa ajar jadi penambang yang baik. Kini pantai Babel bagai pasar setiap hari. Teriakan aktivis lingkungan hidup pun redup tak bergigi.\" --------------------- LALU pertanyaannya. Siapa yang mengurus alam Bangka Belitung kini? Menurut UU mestinya Pemerintah Pusat. Yakni Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Tapi patut diyakini takkan terurus dengan baik. Sebab yang paham karakter masyarakat penambang di Babel adalah Gubernur dan Bupati. Yang paham karakter alam Babel ya orang Babel sendiri. Kini siapa saja boleh menambang. Dimana saja. Seakan sesuka hati. Aturan tinggal aturan. Yang penting masyarakat penambang bebas beraktivitas. Tak ada lagi razia polisi. Tak ada lagi benturan antara aparat dengan masyarakat. Yang ada kini benturan antara kapal isap dengan masyarakat berebut lahan garapan. Seluruh pantai pulau Bangka sudah dibalut aktivitas masyarakat penambang. Pantai bak pasar terapung setiap hari. Perahu apung bikinan mereka merajai pantai-pantai Bangka. Nelayan pun banyak beralih profesi menjadi penambang. Mereka berpesta pora. Itulah yang terjadi. Aktivitas itu menghiasi media sosial warga Babel setiap hari dengan video ini. Seru memang. Ada yang marah ngamuk gak kebagian jatah. Ada pula berpesta pora karena dapat wilayah tambang timah gemuk. Timahnya banyak. Kaya mendadak gara-gara timah. Cara ini dianggap layak oleh sejumlah orang. Karena masyarakat ikut menikmati kekayaan alam Babel. Tapi pihak lain ada yang geleng-geleng kepala. Mereka membayangkan, apa nasib alam Babel kelak. Sebenarnya, kondisi ini sudah dibayangkan. Ketika UU Minerba yang baru memberangus hak dan kuasa Gubernur dan Bupati. Seharusnya para Bupati dan Gubernur Babel masih bisa mengatur sedikit soal timah di Babel ketika Babel memiliki saham hibah 14% di PT Timah Tbk. Sebagai pemilik saham, setidaknya bisa membenahi cara-cara yang akan ditempuh oleh PT Timah Tbk dalam mengelola tambang timah Babel. Tetapi cita-cita itu masih dalam perjuangan. Entah kapan Presiden Jokowi memenuhi janjinya. Bisa jadi itu hanya janji kosong. Entahlah. Janji politik sulit dipegang. Pembayaran royalti yang diterima Babel (Provinsi dan Kabupaten) tak sebanding dengan kerusakan alamnya. Terlalu mahal kerusakan alam akibat penambangan timah. Kerusakan alam bukan sekarang dirasakannya. Tetapi nanti. Anak cucu yang akan merasakannya. Royalti timah tidak pernah naik sejak timah ada di Babel. Padahal mineral tambang lain sudah dinaikan Pemerintah Pusat. Apa yang salah dengan Babel. Separah itukah dosa orang Babel pada Pemerintah Pusat? Sehingga pengajuan hibah saham 14% tak direspon. Menaikan royalti timah juga tidak direspon. Padahal Dirjen Minerba adalah orang Bangka. Apa yang salah dengan Babel? Orang Babel telah memenangkan Joko Widodo dua kali Pilpres. Orang Babel percaya dengan Jokowi untuk memimpin bangsa ini. Tetapi Presiden Jokowi melakukan cidera janji akan memberikan saham Babel pada PT Timah Tbk. Kini, janji Jokowi semakin jauh panggang dari api setelah ekonomi nasional hancur akibat pandemi Covid-19 yang makin menggila. Bukan salah Gubernur dan Bupati di Babel. Mereka telah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi Pemerintah Pusat terlalu tangguh untuk ditembus. Bagaikan tembok berlapis baja. Pemerintah Pusat tak paham derita orang Babel yang telah memilih pemimpinnya yang hebat dan baik. Apa yang salah dengan orang Babel, sehingga Pemerintah Pusat tak bergeming? Mestinya semua orang paham. Timah itu urat nadi perekonomian Babel. Semua orang harus tau, timah saat ini adalah nafasnya orang Babel. Sehari urusan timah hancur, maka seminggu orang Babel tak makan enak. Kalau sebulan masalah timah kacau, maka enam bulan ekonomi Babel terjerembab. Dua bulan urusan timah hancur, maka setahun orang Babel tidak bisa makan dan minum enak. Begitu sensitifnya urusan timah di Babel. Karena timah menyangkut urusan perut. Kala pandemi mengerikan ini, Babel mampu ekspor timah sehingga ekspor melejit secara angka sangat membanggakan. Tetapi tetap mengerikan untuk jangka panjang. Karena di Babel tidak ada dana tambang (fund mining). Sehingga apabila timah habis, habis juga nasib baik orang Babel. Yang kaya mendadak dapat rezeki timah sekarang akan kembali jadi orang miskin kelak. DPRD Diam Ketika policy dunia tambang sudah dipegang Pemerintah Pusat, maka Gubernur dan Bupati tak mungkin menentang. Secara hirarki, Gubernur adalah perpanjangan tangan Presiden di daerah. Demikian juga dengan Bupati dan Walikota. Ketika Gubernur Babel melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tentang UU Minerba yang baru, serta merta orang Pusat termasuk DPR RI menyebut, bahwa Gubernur tak pantas menentang UU yang telah diteken oleh Presiden sebagai atasannya. Padahal Gubernur Babel sudah menduga dengan diterapkannya UU itu, Babel semakin tak terkendali. Beginilah jadinya. Satu-satunya yang bisa bersuara di Babel adalah DPRD Babel. Karena DPRD tidak memiliki hubungan hirarki dengan Pemerintah Pusat atau DPR RI. DPR RI bukan atasan DPRD Babel. Dan DPRD Babel bukan bawahan DPR RI. Jadi hubungan kerja DPRD bebas menentukan nasib sendiri kinerja tanpa perlu melaporkannya ke DPR RI. Karena itu, DPRD Babel boleh tidak setuju. Atau boleh mengoreksi apabila terkait nasib masyarakat Babel. Walaupun wajib melaksanakan undang-undang. DPRD Babel bisa menolak atau menerima suatu wilayah tambang yang dianggap mengganggu masyarakat lainnya. Kemudian Gubernur wajib melaksanakan keputusan DPRD Babel. Kini tak terdengar suara DPRD Babel. Mengapa? Apakah mereka setuju dengan situasi dan kondisi yang ada di Babel saat ini? Sejumlah pertanyaan patut dilayangkan. Karena DPRD representasi kekuatan politik rakyat. Sehingga apa yang dirasa dan dipikirkan akan mengganggu kehidupan masyarakat kini dan masa yang akan datang sebaiknya ada tindakan politik, karena DPRD memiliki kekuasaan. Karena kepentingan rakyat adalah segala-galanya bagi DPRD Babel. LSM Juga Diam Dulu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nyaring di Babel. Bahkan ada yang menyurati Presiden Jokowi agar tambang timah di Babel dihentikan. Moratorium tambang timah di Babel mereka minta. Karena kerusakan alam di Babel sudah sangat membahayakan kehidupan masyarakatnya. Bahkan hasil survei tak resmi penulis setahun lalu, mencatat bahwa dari luas daratan Babel yang ada, hanya 8% (delapan persen) saja yang belum tersentuh tambang. Lainnya habis. Bahkan kini banyak tambang dilakukan pada lokasi yang pernah ditambang pada puluhan tahun lalu. Entahlah mengapa masih ada timahnya. Kini LSM bagai sibuk dengan pandemi. Menyelamatkan masyarakat agar tetap hidup dan semangat menghadapi situasi tak nyaman ini. Itu hanya barangkali. Bisa saja faktor lain. Bisa saja LSM sudah lelah. Teriakan mereka tak didengarkan oleh siapapun saat ini. Teriakan LSM sering dianggap \"ada maunya\". Padahal tidak semua LSM bermental rendah seperti itu. Bahkan pengurus Presidium Babel pun tertidur pulas. Tak mampu memberikan pikiran segar agar pembangunan Babel bersifat \"berkelanjutan\" sehingga ada grand design yang ingin dicapai. Bahkan banyak tokoh-tokoh Presidium Babel terjebak dalam persengkongkolan timah yang seharusnya bisa dihindari. Padahal Presidium Babel saat ini menjadi satu-satunya forum yang sangat ditakuti oleh semua pihak di Babel. Dunia Timah Ideal Sulit menyusun dunia tambang timah yang ideal bagi Babel. Begitu kalimat terdengar pada beberapa tokoh Babel di warung kopi. Padahal sebenarnya tidak. Ketika semua komponen di Babel kompak, maka grand design Babel bisa disusun bersama. Untuk menuju ideal itu pada saat sekarang ini, setidaknya; Pertama, Babel punya saham hibah di PT Timah Tbk. Sehingga Gubernur dan Bupati punya hak suara dalam RUPS PT Timah Tbk. Dengan begitu segala bentuk kegiatan penambangan timah yang merugikan Babel bisa dihindari. Kedua, Royalti timah harus dievaluasi agar dinaikan secara patut dan bijaksana. Sekarang royalti 3% itu, sangat tidak memadai. Jika ditaksir nilainya tak melebihi berkisar Rp 500 miliar per tahun yang dibagi-bagi. Termasuk diambil oleh Pemerintah Pusat sebesar 20% dari 3% itu. Provinsi Babel sendiri setiap tahunnya tak pernah melebihi Rp 300 miliar. Bisa naik 6% saja sudah lumayan untuk Babel membangun. Ketiga, harus ada upaya agar Babel tidak lagi menjual balok timah. Tetapi Babel harus mampu menjual dalam bentuk barang setengah jadi. Misalnya dalam bentuk siap pasang. Balok timah di era modern sama saja dengan barang mentah. Karena masih harus diolah lagi oleh negara produsen. Keempat, dalam jangka panjang Babel harus melakukan transformasi dari daerah tambang ke daerah industri. Sehingga timah sebagai komponen penting industri teknologi tinggi tidak boleh diekspor lagi. Para produsen yang membutuhkan timah silahkan buka pabrik di Bangka atau Belitung yang sudah disiapkan. Hal ini akan memicu majunya industrialisasi elektronika di Babel kelak. Kelima, Babel harus mulai mempersiapkan fund mining yang akan menjadi dana abadi bagi Babel bila kelak timah habis. Fung mining ini, wajib dibayarkan setiap penjualan pasir timah ke smelter yang ada di Babel. Ini perlu dirumuskan bersama oleh DPRD Babel bersama Pemprov Babel dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah). Kelima hal tersebut di atas menjadi pondasi bagi Babel untuk melakukan pembangunan daerah berkelanjutan. Tanpa kelima hal itu, jangan mimpi Babel mampu hidup nyaman kelak. Semua itu tergantung usaha saat ini. Sehingga bisa dikatakan, orang Babel berbenah, melakukan, dan merancangnya sekarang atau tidak sama sekali. Bravo Babel.***
Nasib Tambang Timah Babel
Sabtu 17-07-2021,06:36 WIB
Editor : babelpos
Kategori :