Dari Gelap Terbitlah Terang dan Sehat Berkat PLN

Petugas PLN saat memasang unit mikro pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan energy storage program Sorong Ultimate for Electrifying Surya untuk Negeri (SuperSUN) di Pulau Laiya, Kabupaten Pangkep. --Foto Antara
Embusan angin malam, saat itu, menjadi saksi begitu banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari berjalan kaki dari rumah warga ke dermaga yang cukup jauh, melalui dermaga kayu yang rapuh dan berlubang, hingga harus merangkak pelan turun ke perahu karena keadaan air laut sedang surut.
Kelelahan sangat dirasakan Harianti yang harus menggendong pasien anak dan memastikan akibat kejang demam ini tidak fatal, sekaligus mengupayakan segera tiba ke rumah sakit yang memiliki peralatan maupun SDM memadai untuk menangani sang balita.
Demi memberikan pelayanan kesehatan, sulitnya penerangan merupakan tantangan tersendiri bagi Harianti di pulau ini untuk memberikan secercah harapan kepada para pasiennya yang kebanyakan menggantungkan hidup di laut.
Apalagi, ketika menghadapi persalinan seorang ibu hamil. Dia yang bertugas sendirian sebagai tenaga kesehatan mendapat ujian lebih besar saat harus menolong nyawa dua orang sekaligus, ketika menangani pasien partus. Ia mulai membantu persalinan, memastikan kondisi ibu dan anak dalam keadaan sehat, hingga mengupayakan kesehatan prima pada sang ibu setelah melahirkan.
"Untuk pasien yang partus, tentu butuh pencahayaan bagus. Apalagi setelah melahirkan, pasien akan dijahit dan kami butuh pencahayaan dalam proses penjahitan," ungkapnya, mengisahkan kebutuhannya dalam menangani sejumlah kasus kesehatan di Pulau Laiya.
BACA JUGA:Setop Kesalahkaprahan Penulisan Tanda Baca dan Ejaan
BACA JUGA:Menteri ATR Fokus Pada Peningkatan Kualitas SDM dan Pembenahan Layanan
35 tahun dalam kegelapan
Selama 35 tahun, Pulau Laiya yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga (KK) ini tidak tersentuh listrik. Hanya bermodalkan genset pemerintah, ditopang genset swadaya masyarakat, listrik dan penerangan itu baru bisa dinikmati, khususnya pada malam hari. Waktunya juga tidak terlampau lama, hanya 3 jam, mulai pukul 18.00 hingga pukul 21.00 Wita.
Keadaan ini telah menghambat berbagai aktivitas masyarakat di malam hari. Di saat masyarakat lainnya menghibur diri dengan nongkrong di kafe atau menikmati tontonan netflix, tidak demikian dengan masyarakat Pulau Laiya, kala itu.
Hiburan yang hanya melalui televisi pun sangat terbatas, waktu belajar bagi siswa lebih sedikit di malam hari, kesulitan menangani pasien dan pelayanan kesehatan, keterbatasan pemanfaatan peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, menghambat kerja administrasi dan sangat berdampak pada pengembangan ekonomi kemasyarakatan.
Kepala Desa Mattiro Labangeng Musmuliadi mengisahkan bahwa pergerakan ekonomi yang berjalan terbilang lambat akibat listrik yang belum secara berkeadilan dinikmati warganya. Banyak aktivitas yang sangat tidak efisien akibat listrik belum maksimal hadir di pulau yang menjadi bagian gugusan Spermonde tersebut.
Berada di wilayah kepulauan, masyarakat yang kebanyakan nelayan membutuhkan es batu untuk membekukan hasil tangkapannya, namun mereka tidak bisa memenuhi itu, lantaran lemari pendingin tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, para warga harus mengeluarkan tenaga ekstra dan biaya tambahan agar hasil tangkap bisa diolah dan dibekukan.
"Kami mau bikin es batu, juga tidak bisa karena tidak bisa pakai kulkas. Jadi kami itu beli di pulau lain untuk kami gunakan di sini. Anak-anak mau belajar malam, juga tidak maksimal," ujar Musmuliadi.
BACA JUGA:Pengawasan Ranah Siber Saat Pilkada 2024
BACA JUGA:Partai-partai Sebagai Pemain Kunci Perpolitikan RI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: antara