Pecak Lampen

Pecak Lampen

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya-babelpos.id-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial

KITA berharap keberkahan, tapi di waktu yang sama kita  tempatkan orang-orang yang berjasa, orangtua, guru, ulama, tak ubahnya “pecak lampen” (perca/kain serbet) yang tak bernilai. Mereka dipakai untuk membersihkan, selanjutnya di lempar begitu saja tanpa dipedulikan seakan mereka tak pernah ada. Ini namanya mengharap keberkahan tapi melakukan kenistaan.

-----------

SUATU SAAT sambil menikmati kopi di teras rumah, dengan nada serius seorang sahabat yang berprofesi sebagai pedagang kecil di pasar bertanya: “Apa rahasia mendapatkan keberkahan hidup?”. Ada perasaan bingung untuk menjawab pertanyaan itu, karena jangan-jangan saya sendiri belum bertemu dengan yang namanya keberkahan hidup. 

“Menurut saya, rahasia keberkahan hidup adalah ikhlas menghormati, tidak melupakan serta berbuat baik (peduli) terhadap orang-orang yang berjasa. Mereka adalah orangtua, guru dan para orang-orang yang berjasa terhadap lingkungan atau negeri kita ini. Juga memperbanyak shodaqah tanpa harus menunggu harta banyak (kaya). Yang terpenting lagi, kita akan mendapatkan keberkahan yang hakiki ketika pandai bersyukur kepada Sang Pemberi Berkah serta keberkahan (syafa’at) diraih jika banyak mengingat dan bersholawat kepada Rasulullah SAW. Tuhan memberikan lapisan keberkahan hidup kepada manusia hingga berlapis-lapis, tinggal kita mampu atau tidak menemukan lapisan-lapisan tersebut”. Begitulah jawaban yang saya berikan tentang “keberkahan” dengan penuh gaya sok bijak dan sok agamis tanpa menyadari bahwa diri ini sebenarnya tak pernah bijak apalagi agamis.

Keberkahan adalah dimana kehidupan kita bisa bermanfaat bagi orang lain, rezeki cukup dan tak perlu berlebihan, kesehatan terjaga, keselamatan dari musibah yang mendera dan tidak menjadi biang kerok bagi lingkungan dimana kita berada. Keberkahan adalah mampu membuat orang merasa aman dan nyaman saat berada di dekat kita dan rindu serta merasa kehilangan kala berjauhan. Keberkahan adalah selalu merasa cukup dan diringi rasa syukur dengan apa yang dimiliki, baik berbentuk materi, kemampuan/keahlian, posisi, jabatan, keluarga, lingkungan dan berusaha maksimal agar bermanfaat untuk orang lain dari apa yang diperoleh.

Keberkahan bukanlah seberapa banyak harta yang terkumpul, seberapa tinggi jabatan diraih, seberapa hebat keahlian yang dimiliki, seberapa dahsyat ide dan pemikiran yang terkonsep, seberapa kokoh jaringan yang ada dalam setiap lini atau instansi, karena bisa jadi semua itu tak seberapa bernilai, bahkan tak bernilai apa-apa jika kita tak mampu memberi nilai (membuatnya) bermanfaat bagi orang lain atau masyarakat.

Keberkahan itu bukan soal  “identitas” atau “status” yang kita miliki, tapi lebih penting adalah “peran” yang kita lakukan. Karena berapa banyak era sekarang ini orang memiliki “status” hebat, tinggi, berwenang, namun tak memiliki “peran” apa-apa terhadap lingkungan dan masyarakatnya kecuali kebanggaan semu dengan status yang disandang. Status yang saya maksud disini bisa apa dan siapa saja. Ia bisa berstatus Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Anggota DPR, DPD, DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, PNS, Polisi, TNI, Hakim, Jaksa, Guru, Kepala Sekolah, Pengusaha, Ulama, Kepala Rumah Tangga, Isteri, Suami, Anak, Kades, Ketua RT, Ketua Organisasi dan sebagainya. Pertanyaannya adalah, apakah mereka (kita) sudah berperan sesuai dengan status yang disandang? Jika tidak, “Malu dong sama status…?”. Makanya sampai hari ini saya adalah orang yang tak pernah berusaha untuk memiliki atau menyandang status apa-apa karena sangat malu dan terlalu khawatir jika tak mampu berperan sesuai dengan status yang disandang, kecuali status sebagai Kepala Rumah Tangga yang suka iseng menulis sehingga disebut penulis oleh segelintir orang. Hanya dengan status itu saja ternyata saya belum mampu berperan sebagaimana mestinya.

Negeri Tanpa Berkah

INDONESIA kurang apa? Negeri kaya raya dengan slogan gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo namun nyatanya menjadi negeri faqir dengan pinjaman semakin membengkak ke Bank Dunia, ADB, IMF dan sebagainya. Kekayaan negeri ini pun sedikit-demi sedikit tergadaikan kepada negara lain. 

Begitupula ketika kita bicara lingkup kedaerahan, yakni Bangka Belitung. Kurang apa kekayaan negeri ini? pertambangan, pertanian dan perkebunan, tanah subur, kekayaan laut, pasir, alam yang indah, hidup damai tanpa ada perselisihan besar antara suku, agama dan etnis, makanan beraneka ragam dan lain sebagainya. Tapi sudahkah kehidupan kita, lingkungan kita serta stabilitas kehidupan kita sesuai dengan apa yang kita harapkan? Sudahkah kita benar-benar menikmati itu semua sebagai bagian dari lapisan keberkahan ataukah justru anugerah berubah menjadi musibah, syukur berubah menjadi kufur?

Jadi, jika pertanyaannya adalah kita ini KURANG APA? Maka jawabannya adalah KURANG BERKAH akibat perilaku kita KURANG AJAR. Kita yang saya maksud disini adalah semuanya, bisa Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, PNS, Polisi, TNI, Pengusaha, Ulama, Guru, Jaksa, Hakim, LSM, pedagang, Ormas dan rakyat. Sudahkah status yang kita sandang sesuai dengan peran yang kita lakukan? Apakah memberi manfaat atau justru mudhorat dari keberadaan dan status yang kita sandang?

Bagaimana negeri hendak mendapatkan keberkahan, bahkan pribumi harus terusir hanya alasan investasi asing. Investasi yang berujung pada invasi, apa namanya kalau bukan penjajahan. Bukankah jauh sebelum negeri ini merdeka, Melayu sudah ada dengan menjaga harkat dan martabat kehidupan umat. Namun, apa daya, modernisasi bergaya investasi, seringkali mengusik kedamaian rakyat yang akhirnya membenturkan pihak keamanan dengan rakyat itu sendiri. Kita menjauhkan diri dari keberkahan, justru sedang mengundang perpecahan dan kemurkaan.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: