REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Satu)

REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Satu)

Akhmad Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung 

Penerima Anugerah Kebudayaan

 

DALAM buku Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) yang ditulis oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven (Guru Besar pada Universitas Leiden Belanda) pada Tahun 1901-1933, dinyatakan bahwa masyarakat Bangka dan Belitung, memiliki wilayah lingkungan hukum adat tersendiri dari 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen) yang berlaku di Hindia Belanda.

---------------

WILAYAH lingkungan hukum adat Bangka dan Belitung merupakan suatu daerah yang secara garis besar, corak, ciri dan sifat hukum adatnya seragam (rechtskring). Bila dikaji lebih mendalam masyarakat Bangka dan Belitung membentuk suatu masyarakat hukum adat berdasarkan asas teritorial. 

Masyarakat hukum adat teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur, maupun sebagai tempat pelaksanaan upacara tradisional. Para anggota masyarakatnya merupakan anggota-anggota yang terkait dalam kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.

BACA JUGA:Perkembangan Wilayah Pangkalpinang (Bagian Dua)

Masyarakat Bangka Belitung secara geografi menempati wilayah Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari pulau Bangka, pulau Belitung dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya. Sebagai wilayah kepulauan (archipelago), masyarakat Bangka Belitung memiliki Dua basis kebudayaan yaitu kebudayaan berbasis pulau atau daratan (land base culture) dan kebudayaan berbasis bahari atau pesisir (sea base culture). Peradaban (civilitation) masyarakat Bangka Belitung sangat berhubungan erat dan dipengaruhi oleh wilayah daratan dan lautan sebagai tempat tinggal dan bermukim masyarakat yang kemudian melahirkan social change (perubahan sosial) dan culture change (perubahan kebudayaannya). Pendukung utama kebudayaan berbasis darat di Bangka Belitung adalah orang Darat atau orang Gunung (hill people), sedangkan kebudayaan berbasis laut, masyarakat pendukungnya adalah orang Laut atau orang Sekak (sea dweller).

BACA JUGA:Perkembangan Wilayah Pangkalpinang (Bagian Satu)

Dalam konteks kajian pada unsur kebudayaan yang universal (sistem mata pencaharian hidup, sistem peralatan hidup, sistem organisasi sosial, sistem kesenian, sistem bahasa, sistem religi dan sistem adat istiadat) jatidiri atau identitas masyarakat Bangka Belitung sangat dominan dipengaruhi oleh daratan dan lautan sebagai wilayah teritorialnya, misalnya terkait posisi rumah batin yang berkuasa di pulau Bangka dan pulau Belitung, biasanya terletak di bagian tengah perkampungan dan dikelilingi oleh rumah penduduk kampung. Bentuk kampung yang dikepalai batin biasanya bersegi empat atau bujur sangkar dan kampung dikelilingi oleh benteng pada sisi luar pemukiman, terbuat dari parit galian (benteng tanah) dan berpagar kayu. Kehidupan masyarakat di suatu batin di pulau Bangka karena tinggal di pulau menyebabkan masyarakatnya harus selalu siap dalam menghadapi serangan perompak laut atau zeerovers (Court, 1821:203). 

BACA JUGA:Tenun Cual Kriya Etnik Kagunan Bangka (Bagian Dua)

Dalam kaitannya dengan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur, dan tempat upacara-upacara ritual adat tradisional di Bangka Belitung ada yang dilaksanakan di wilayah laut atau pesisir, pulau-pulau kecil dan ada yang dilaksanakan di daratan (kampung, hutan, gunung, sungai) serta ada yang dilaksanakan di wilayah daratan dan di lautan atau pesisir secara bersamaan. Umumnya pemujaan atau upacara ritual adat terhadap roh-roh leluhur dan upacara-upacara ritual adat tradisional merupakan tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak hanya ditujukan kepada kegiatan sehari-hari, akan tetapi juga mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia (supranatural power) (Yunus, 1992:4). Kekuatan supranatural itu berupa roh-roh dan makhluk halus termasuklah musibah dan bala yang diyakini keberadaannya oleh masyarakat berasal dari sang pencipta. Manusia demi keselamatannya mengadakan hubungan dengan kekuatan supranatural tersebut dalam bentuk upacara. Dengan demikian, upacara adat tradisional dan upacara tradisional terhadap roh-roh leluhur sesungguhnya tidak saja sebagai referensi sosial budaya, tetapi juga sebagai stimoli of emotion dan petunjuk tentang kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: