Malas Baca tapi Cerewet di Medsos (Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei)

Malas Baca tapi Cerewet di Medsos (Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei)

--

Oleh Hairul, S.Sos.

Penulis Tinggal di Sungailiat Kabupaten Bangka

 

 

"AKU rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,’’ demikian kata Bung Hatta ketika akan diasingkan ke Boven Digoel Papua. 

Maka, Bung Hatta minta kepada Pemerintah Hindia Belanda bisa membawa koleksi-koleksi buku. Bung Hatta diizinkan membawa buku-buku itu. Tetapi persoalan muncul bagaimana membawanya sampai ke Papua. Apalagi, saat itu tahun 1935, tentu bukanlah hal yang mudah. Sebab, buku yang dibawa berisi 16 peti besi yang totalnya empat meter kubik. Pengepakannya saja butuh tiga hari. 

Pada 28 Januari 1935, Bung Hatta sampai di Tanah Merah (sekarang ibu kota Boven Digoel). Repot juga membawa 16 peti buku itu dari pelabuhan ke tempat pengasingan. 

Untung ada orang Kaya-Kaya (penduduk asli) yang membantu menggotong peti itu. Mereka diberi ongkos satu uang kelip untuk tiap-tiap petinya. Waktu itu nilai uang kelip sebesar 5 sen. 

Bentuknya bundar dan berlubang di tengahnya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Bung Hatta bebas mengisi hari-hari pengasingannya di Boven Digoel dengan membaca buku.

Selain Bung Hatta, Bung Karno dan Tan Malaka juga melakukan hal yang sama. Tan Malaka dalam pergerakannya ketika dikepung musuh lebih menyelamatkan buku-buku daripada harta lainnya. 

Bung Karno menyibukkan diri di dalam penjara dengan buku-buku. Pramoedya Ananta Toer berkarya justru dari balik penjara. Bahkan lagi, dalam perjalanan ketika hendak dihukum mati, Amir Syarifuddin menyempatkan diri membaca karangan William Shakespeare. Artinya, penjajahan ternyata tak berhasil membuat mereka untuk tidak produktif dan positif.

Bagaimana dengan sekarang? Tentu tak akan ada kerelaan tersebut. Kebebasan-kebebasan yang didapat masyarakat hari ini, berbanding terbalik dan tak melulu mengisi hari-harinya dengan membaca buku. 

UNESCO  mengungkapkan fakta jika Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. 

Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Benarkah survey tersebut? Secara pribadi penulis tak membantah fakta itu. Contoh kecil saja jika terdapat berita di media sosial, masyarakat hanya membaca judul tanpa membaca isi. Parahnya lagi, meski hanya sekadar membaca judul, masyarakat kita langsung bisa menyimpulkan isi dan maksud dari berita. Seketika juga, jari jemari langsung membagikan plus memberikan komentar. 

Sebaliknya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.

Salah satu yang menakjubkan, warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: