Kentot dari Idong

Kentot dari Idong

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

KATA orangtua dulu, kalau orang kepada kita sudah “kentot dari idong”, artinya sudah tidak ada kepercayaan dan keyakinan dengan apa yang kita bicarakan dan kita lakukan. Kalau bahasa sekarang: “Ngumong kek Sabak!”.

“Kentot dari Idong” (Kentut dari hidung) adalah tutur lisan masyarakat Bangka tempo doeloe yang mengistilahkan “mendengus” atau sengaja membuang angin dari hidung. Istilah ini diberikan untuk mengemukakan sesuatu yang dianggap tidak sesuai, tidak masuk akal, tidak dipercaya, tidak meyakinkan atau segala sesuatu yang negative. Perilaku “kentot dari idong” ini adalah bagian dari gesture tubuh bahwa sesuatu yang tidak diinginkan yang dilihat atau didengar adalah hal yang sekedar omong kosong, besar omong, besak lagak, “ngerapek”, tidak dipercaya, tidak meyakinkan sama sekali  dan lain sebagainya.

Monyet Makan Manggis

KARENA merasa hidup di era teknologi yang kian canggih dan serba instan, manusia masa kini, seringkali melupakan manusia masa lalu yang pernah berjasa dan berbuat pada negeri ini. Padahal, kalau dilihat dari sisi teknologi dan kemampuan, mereka jauh lebih sulit untuk berbuat, namun kenyataannya mereka sudah melakukan sesuatu yang jauh lebih berarti dan bermanfaat bahkan hingga kini. Sedangkan kita, baru berbuat sedikit, sudah merasa paling berjasa, paling hebat, pelopor, sejarah baru, pertama kali dan pengakuan-pengakuan konyol lainnya. Bagi orang yang tidak mengerti dipuja dan dipuji, sedangkan bagi yang mengerti, geleng kepala sambil sinis tawa. Persis seperti hikayat tempo doeloe, yang berjudul: “Monyet Makan Buah Manggis”. 

Diceritakan, ada seekor monyet yang tidak pernah makan buah manggis. Suatu hari, ia mendapati buah manggis dan memakannya. Baru saja satu gigitan dikulit manggis, sang monyet membuang buah manggis tersebut karena dirasa “kelat” atau pahit. Padahal yang ia baru menggigit kulit manggis. Lantas sang monyet bodoh ini menceritakan kepada teman-temannya sambil berorasi: “Buah manggis itu pahit! Buah manggis itu kelat!”. Bagi monyet lain yang sudah pernah menikmati buah manggis, maka orasi sang temannya itu sangat lucu dan ditertawakan. Sedangkan bagi monyet yang belum pernah makan buah manggis, langsung percaya seraya memberitakan secara membabi buta tanpa mengkonfirmasi kepada monyet lain yang lebih paham dan sudah pernah menikmati buah manggis. Sang monyet lain sebagai pendukung monyet yang menggigit kulit manggis itu memberitakan menulis dengan keras di media sosial: “Buah Manggis ternyata rasanya pahit dan kelat!”.

Begitulah yang terjadi, bahkan tak jarang karakter Monyet itu adalah seorang pejabat masa kini. Minimnya literasi dan kurangnya keingintahuan terhadap jasa dan kebaikan para generasi pendahulu, membuat generasi kita menjadi generasi defisit pengetahuan masa silam dan inflasi “taipau” (sombong), bahkan tak jarang hal seperti itu terjadi pada pemimpin atau pejabat di pemerintahan. Tentunya ini cukup memilukan bahkan masuk dalam kategori memalukan. Makanya, seringkali kita mendengar “ocehan taipau” pejabat yang berkoar-koar dengan kalimat “ini sejarah baru”, “ini pertama kali”, “kita pelopor” dan ocehan-ocehan lainnya, parahnya lagi media begitu bangga menuliskan ocehannya menjadi judul berita yang seakan fantastis. Bagi yang tidak mengerti hal tersebut dipuja puji, sedangkan bagi yang paham, hanya tersenyum sinis sambil “kentot dari idong” dan berucap: “keliat budu e” (kelihatan bodohnya).

Seorang pemimpin yang bijak, ia harus memahami sejarah wilayah kepemimpinannya, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, seorang pemimpin tidak hanya berpikir pada masa depan, tapi juga sesekali melihat ke belakang, melihat apa yang sudah dilakukan pemimpin sebelumnya. Kurangnya diperbaiki, lebihnya diteladani, sehingga tidak merasa apa yang dilakukan saat ini adalah seakan-akan pertama kali, sejarah baru, pelopor, padahal pengekor. Sebab, kalau seorang pemimpin bodoh, bicara dan melakukan apapun, akan semakin memperlihatkan kebodohannya. Membangun rumah tangga dengan kebodohan, maka tidak akan melahirkan sakinah mawaddah wa rahmah, apalagi keturunan yang bermanfaat. Bahkan pemimpin yang membangun Masjid dengan kebodohan dan mengutamakan nafsu “makan ulok”, maka hasilnya nanti akan bermasalah dan menuai kebodohan itu sendiri. Tapi mengisi Masjid yang sudah ada dengan kegiatan yang jauh lebih positif dan konsisten, jauh lebih bermanfaat dari sekedar bermegah-megahan, sibuk dengan membuat “ikon” bukan sisi kebermanfaatan. Kalau ada hal penting dan dianggap sama sama penting, maka dalam ilmu Usul Fiqh mengatakan “ahammu minal muhim” (mendahulukan sesuatu yang terpenting dari yang penting).

Apa Makna “Kentot dari Idong?”

MENGELUARKAN angin dari belakang (pantat) adalah hal umum yang biasa kita sebut kentut (Kentot: bahasa Bangka). Namun ketika ternyata dilakukan mengeluarkan angin dari hidung artinya adalah bentuk ketidaksukaan yang sudah pada posisi lumayan tinggi. Tidak ada kata-kata yang perlu diucap, cukup dengan tanda yakni buang angin, tapi dari hidung. Sebab, buang angin dari belakang (pantat), tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu. Artinya, nilai seseorang yang dipandang sangat-sangat rendah itu adalah bernilai sama dengan angin lalu alias kentut.

Begitulah orang asli Bangka, ketika tidak menyukai sesuatu, ia kaya dengan istilah dan makna yang mendalam. Parahnya, hal tersebut akan menusuk sangat dalam dan bertahan sangat lama. Sebab, orang Bangka kalau sudah tidak suka kepada seseorang, umumnya memiliki 3 tingkatan: (1) Langok (2) Melengos (3) Gelik Yok. Nah, “kentot dari idong” ini adalah bentuk dari ekspresi Gelik Yok, yang biasanya diiringi dengan bibir “mencebik”.

Perlu diingat juga, kalau orang Bangka sudah kasih gelar seseorang, maka dipastikan melekat hingga akhir hayat. Orang yang gila akan popularitas, pangkat, makan ulok, ingin selalu dipuji tapi tak mau dikritik, ingin dianggap hebat dan berpangkat, maka digelari “Wak Seno”. Orang yang merteng digelar pelit juga ada gelarnya, orang merteng ada sebutannya dan orang yang banyak omong tapi no action pun demikian.  

Seringkali saya ucapkan, bahwa orang asli Bangka (seperti saya ini juga), selain memang hobi mencandai urang, juga kalau sudah “ngate urang” umumnya bakal melekat kalimat terhadap orang tersebut ditengah masyarakat, bahkan sampai akhir hayat. Apalagi dijadikan tulisan. Nah, lho!

Salam Wak Seno!(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: