Gratis Tak Mungkin...

Gratis Tak Mungkin...

ADAKAH yang bisa duduk di kursi empuk jabatan politik dengan gratis? Jawabnya, pasti tak mungkin. Lalu bisakah biaya murah? Bisa jadi, jika memang sang tokoh sudah mumpuni, sering bertanam ke tengah rakyat, sudah dikenal dan mengenal, diakui sudah banyak berbuat? Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup -- WARNING ini sengaja dikemukakan, karena tahun 2024 mendatang adalah tahun politik dalam arti yang sebenarnya. Bagi yang mau duduk di jabatan politik, segala ada. Mau jadi wakil rakyat? Ada semua tingkatan. Mulai dari Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga Pusat, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Atau ada yang berminat mau jadi Kepala Daerah atau Presiden/Wakil Presiden sekalian? Juga ada di tahun itu. Mulai dari Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, termasuk Presiden/Wakil Presiden. Semua daerah, semua wilayah. Dipilih...dipilih...dpilih... *** ADAKAH yang bisa duduk jadi wakil rakyat dengan gratis tanpa biaya? Adakah yang bisa duduk menjadi Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, Presiden/Wakil Presiden dengan gratis? Setiap orang pasti menjawab, sungguh tidak mungkin. Kalau pun mungkin, tapi sangat langka. Apatah lagi dengan sistem Pemilu di negeri ini yang euforia nya masih terasa. Pemilu benar-benar menjadi pesta demokrasinya rakyat, rakyat ditentukan pilihannya dengan apa yang ia dapatkan. Terpilih atau tidaknya seseorang, tergantung berkantong tebal atau tidaknya sang calon. Akhirnya, politik di negeri ini sekarang ditentukan dan bertolak dari transaksi juga. Tinggal, apakah yang diberikan kepada rakyat itu dalam bentuk uang, atau sang calon sudah menggantikannya dalam bentuk barang yang tentu disiapkan dan dibeli dengan uang juga. Apakah mungkin mukena, sajadah, kopiah, atau beras yang diberi dan diantar ke rumah-rumah warga itu didapat dengan gratis lalu dibagi-bagi dengan gratis pula? Selanjutnya, apakah mungkin pemberian itu dilakukan dengan penuh sukarela tanpa maksud memperoleh suara dari rakyat yang diberikan? Jika memang demikian, kenapa pemberian itu justru menjelang Pemilu saja? Kenapa tidak selama ini ketika misalnya beras sedang mahal-mahalnya? ------------- POLITIK itu kotor, adagium ini sudah demikian melekat. Dalam politik, orang rela melakukan apapun demi mencapai tujuan. Tinggal, apakah tata cara yang digunakan itu halus atau kasar? Jika dilakukan dengan halus, maka orang-orang hanya akan merasakan dan bisa menduga-duga pasti ada sesuatu, tapi tak punya bukti dan tak bisa bicara banyak. Sebaliknya, jika dilakukan dengan kasar, atau terbukti, maka orang-orang akan ramai membicarakannya. Namun, karena ini dianggap sudah bagian dari proses politik, maka orang juga akhirnya akan memakluminya. Jika politik itu kotor, alangkah jahatnya jika kekotoran politik itu dilengkapi pula dengan sikap munafik. Menuduh orang berbuat kotor, padahal noda di diri juga tak kalah banyaknya. Tidak sekarang, tapi sebelum-sebelumnya sudah melakukan hal serupa. Dalam politik, tidak usah munafik jika telah terjadi suatu deal politik berarti juga sudah terjadi transaksi. Meski itu dikatakan sebagai cost politik, namun itu tetap transaksi juga namanya. Apakah rakyat tidak tahu? Semua rakyat tahu, tapi semua memaklumi. Soal berapa nilai atau apa bunyi dari deal itu, itu urusan dari pihak-pihak yang telah membangun kesepakatan. Sekali lagi, dalam politik tidak ada yang gratis. Tinggal, besar atau kecilnya biaya atau transaksi yang dilakukan. Dalam persaingan politik pasti akan ada yang kalah, dan ini pasti lebih banyak daripada yang menang. Nah, untuk yang menang ini bisa disebabkan berbagai hal. Bisa jadi karena biaya transaksi dengan rakyat yang dilakukannya memang bernilai besar sehingga ia berhasil lolos. Bisa juga, ia mengeluarkan biaya yang kecil saja namun karena ketokohannya dan memang sudah dikenal dan dicintai rakyat, sehingga cost politik yang ia keluarkan kecil saja. Bahkan, mungkin ada juga yang tidak mengeluarkan biaya sama sekali, namun ada pihak lain yang membantu membiayai, tapi ini tetap transaksi juga namanya. Dari sinilah nantinya, seorang kandidat jangan sekali-kali menggugat hasil Pilkada/Pemilu dengan dalih menuduh yang menang karena ada transaksional. Jika ini dilakukan, bukan tidak mungkin jadi berbalik dan malah mempermalukan diri sendiri. Ingatlah, karena sudah semua melakukan hal yang sama, berarti tinggal besar kecilnya saja. Dan, rakyat sesungguhnya sudah punya pilihan, segala macam bentuk pemberian baik uang atau barang, sepertinya hanya menjadi hiasan pelengkap saja. Catatlah: Ketika Satu Jari Telunjuk Mengarah ke Orang, Berarti ada 4 Jari Mengarah ke Diri Sendiri. ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: