Ekonomi Hijau Berbasis Kakao: Inovasi Hilirisasi dan UMKM Cokelat dalam Pembangunan Berkelanjutan Babel

Ekonomi Hijau Berbasis Kakao: Inovasi Hilirisasi dan UMKM Cokelat dalam Pembangunan Berkelanjutan Babel

Novieza --Foto: ist

Cokelat CandU berdiri sekitar 2020, berawal dari ketertarikan pemiliknya yang sejak kecil menyukai cokelat lalu belajar sendiri membuat cokelat dari biji kakao yang dibeli dari tetangga, hingga akhirnya memiliki mesin penggiling dan memproduksi cokelat secara profesional. Brand ini menegaskan diri sebagai cokelat origin kakao Bangka dengan produk utama dark chocolate, bubuk kakao, teh kakao, minuman, cake, dan cookies, menggunakan kakao fermentasi lokal serta gula aren Bangka Belitung tanpa perisa, pewarna, penguat aroma, dan pengawet sintetis. Cokelat CandU mengoperasikan Production House dan Learning Center di Jalan Linggarjati, Pangkalpinang, yang memungkinkan pengunjung menikmati cokelat sekaligus melihat proses pengolahannya dari hulu ke hilir. 

Kamiz Choc’s, dalam sistem data ekonomi kreatif Pemerintah Kota Pangkalpinang, Kamiz Choc’s tercatat sebagai UMKM subsektor kuliner dengan fokus pada minuman cokelat, menunjukkan bahwa brand ini diakui dalam ekosistem resmi pelaku ekonomi kreatif daerah. Keberadaan Kamiz Choc’s, bersama brand cokelat lokal lain seperti Cokelat Galen dan Cokelat CandU, memperkuat citra Pangkalpinang dan Bangka Belitung sebagai daerah yang mengembangkan produk berbasis kakao dan cokelat. Hal ini menjadikan Kamiz Choc’s relevan sebagai contoh UMKM minuman cokelat lokal yang berhasil memanfaatkan tren minuman premium dan media sosial untuk membangun merek.

Hilirisasi menciptakan tiga lapis nilai tambah:

- Nilai tambah di tingkat petani (harga biji lebih baik karena kualitas dan fermentasi meningkat). 

- Nilai tambah di tingkat UMKM pengolah (margin dari proses roasting, conching, flavouring, dan pengemasan). 

- Nilai tambah di tingkat pemasaran dan pariwisata (oleh-oleh khas, wisata edukasi kakao, kelas membuat cokelat). 

Dengan skema ini, Bangka Belitung dapat membangun ekosistem ekonomi hijau: kakao ditanam dalam pola yang mendukung penyerapan karbon dan konservasi, sementara hilirnya dikelola UMKM dan komunitas kreatif yang memperkuat ekonomi lokal.

Ekonomi hijau berbasis kakao di Bangka Belitung berada pada fase awal tetapi memiliki fondasi yang menjanjikan: dukungan kelembagaan (DKUKM, UBB, Bank Indonesia), tumbuhnya UMKM cokelat lokal, dan narasi lingkungan melalui program penanaman kakao. Jika hilirisasi dan UMKM cokelat terus diperkuat dengan standar mutu, inovasi produk, dan integrasi pariwisata, kakao berpotensi menjadi pilar baru pembangunan berkelanjutan di Kepulauan Bangka Belitung, melengkapi dan secara bertahap mengurangi ketergantungan ekonomi pada timah dan komoditas ekstraktif lainnya. 

Tantangan

Meski potensial, implementasinya menghadapi hambatan seperti kualitas biji kakao rendah (hanya 10% terfermentasi baik), tanaman tua rentan hama, dan penurunan produksi hingga idle capacity pabrik. Petani kecil kesulitan untuk mendapatkan sertifikasi berkelanjutan karena biaya tinggi dan insentif harga minim, ditambah risiko deforestasi jika tidak dikelola dengan ketat.

Rekomendasi

Pemerintah dan mitra dapat mendorong peremajaan tanaman, pelatihan teknologi modern, pemberian bibit unggul dan integrasi limbah kakao untuk pupuk organik guna tingkatkan produktivitas dan daya saing global.

BACA JUGA:Tata Kelola Timah yang Berkeadilan: Analisis Hukum terhadap Krisis Pertambangan Ilegal di Bangka Belitung

BACA JUGA:Dari Laut ke Cangkir Kopi: Membangun Sinergi Pariwisata dan UMKM Bangka Belitung

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: