Oleh: Maroky S
Mahasiswa Pasca Sarjana, Prodi Magister Manajemen, Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) selama puluhan tahun dikenal sebagai jantung pertambangan timah Indonesia, menyumbang hingga 30% produksi nasional. Namun, ketidakpastian harga komoditas mineral dan dampak lingkungan mendorong urgensi diversifikasi ekonomi. Saatnya Babel beralih ke potensi sumber daya alam hayati, khususnya pertanian, dengan hilirisasi sebagai kunci transformasi. Lada putih Muntok, padi lokal, serta hortikultura seperti kelapa siap menjadi motor baru daya saing daerah, menciptakan nilai tambah hingga berkali-kali lipat dari ekspor bahan mentah.
Bayangkan petani milenial di Bangka Selatan mengolah lada putih menjadi bubuk premium, minyak atsiri, atau bumbu siap saji untuk pasar ekspor Eropa dan Amerika. Atau lahan padi di Bangka Tengah yang menghasilkan beras organik kemasan ritel, mengurangi impor beras hingga 50%. Realitas ini bukan mimpi, melainkan momentum dari program hilirisasi Kementerian Pertanian yang mengalokasikan dana nasional sebesar Rp300 triliun, dengan Babel sebagai prioritasnya. Hilirisasi bukan sekedar pengolahan, namun strategi inovasi holistik yang mengintegrasikan teknologi, kelembagaan, dan SDM untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Artikel ini membahas bagaimana inovasi hilirisasi produk pertanian dapat menjadi penggerak utama daya saing Babel. Melalui pendekatan manajemen inovasi, kita telaah tantangan, peluang, dan aplikatif strategi untuk transformasi struktur industri pertanian daerah. Dengan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, Babel berpotensi keluar dari jebakan komoditas primer menuju ekonomi hijau yang inklusif.
Analisis Kritis Konsep Manajemen Inovasi
Manajemen inovasi didefinisikan sebagai proses sistematis mengubah ide menjadi nilai ekonomi melalui tahap ideasi, pengembangan, komersialisasi, dan difusi. Menurut teori Joseph Schumpeter, inovasi bersifat destruktif-kreatif, menggantikan model lama dengan yang baru untuk keunggulan kompetitif. Dalam konteks hilirisasi pertanian Babel, ini berarti beralih dari penjualan lada mentah ke produk turunan bernilai tinggi.
Jenis inovasi mencakup empat dimensi: produk (lada bubuk organik), proses (pengeringan modern), pemasaran (branding Muntok White Pepper), dan organisasi (klaster petani milenial). Model Oslo Manual tekanan pengukuran inovasi melalui output seperti penjualan baru dan lapangan kerja. Di Babel, program BRMP-TROA diterapkan melalui FGD pemetaan rantai nilai lada, mengidentifikasi peluang kolaboratif.
Ekosistem inovasi triple helix—pemerintah, akademisi, industri—menjadi fondasi. Kementan mendorong hilirisasi lada untuk pasar global, sementara Pemprov Babel giatkan petani milenial guna regenerasi. Analisis kritis menunjukkan kesenjangan: inovasi sering terhenti pada tahap R&D karena lemahnya komersialisasi dan akses pasar. Teori difusi inovasi Rogers menjelaskan bahwa adopsi bergantung pada keunggulan relatif, kompatibilitas, dan kemampuan uji coba—faktor yang harus dioptimalkan di Babel.
Tanpa manajemen inovasi terstruktur, hilirisasi hanya slogan. Contoh sukses nasional seperti hilirisasi kelapa di Sulawesi menunjukkan peningkatan nilai ekspor 300%, yang bisa direplikasi di Babel jika teori diterjemahkan ke praktik kontekstual.
BACA JUGA:Praktisi Penambangan Timah Ichwan Azwardi Paparkan Tantangan dan Peluang REE Nasional
Argumentasi Berbasis Data Kontekstual
Produksi lada putih Babel mencapai 10.000 ton/tahun, tapi 80% diekspor mentah dengan harga US$5/kg, sementara produk olahan seperti bubuk mencapai US$15/kg. Penurunan pekebun dari 20.000 menjadi 12.000 rumah tangga menyebabkan regenerasi lemah dan epidemik harga. Program Kementan 2025 alokasikan Rp300 triliun untuk hilirisasi, dengan prioritas Babel melalui petani milenial.