Jika ini dikombinasikan dengan insinerator, wajah pengelolaan sampah di Mataram bisa berubah drastis. TPA hanya menerima residu akhir, bukan lagi tumpukan gunung sampah. Bahkan, jika proyek TPST Kebon Talo dengan teknologi insinerator pembangkit listrik benar-benar terealisasi, sampah justru bisa menjadi sumber energi bagi warga kota.
Kembali ke kisah Nuraini, suatu pagi ia mungkin tidak lagi harus menutup hidung saat melewati sudut jalan. Sampah rumah tangga yang ia buang akan masuk ke rantai pengelolaan modern menjadi pupuk, sebagian menjadi batako, sisanya masuk insinerator. Udara tetap bersih, jalanan bebas bau, dan listrik yang ia gunakan mungkin saja hasil dari panas sampah yang dibakar.
Sampah adalah persoalan perkotaan, tapi juga persoalan kebijakan, kesadaran, dan teknologi. Insinerator memberi secercah harapan bagi Mataram, asalkan tidak dilihat sebagai “mesin ajaib” yang menyelesaikan segalanya. Dukungan regulasi, anggaran, dan partisipasi warga dalam memilah sampah tetap kunci utama.
Jika semua unsur bergerak bersama, bukan tidak mungkin Mataram bisa menjadi contoh bagaimana kota menaklukkan masalah sampah dengan cara modern, berkelanjutan, dan memberi manfaat kembali bagi warganya.
BACA JUGA:Menggiring Dadu Ekonomi Kreatif Indonesia
BACA JUGA:Perubahan Distribusi Pupuk Subsidi