Harga Mati: Tolak PLTN di Bangka Belitung

Rabu 12-11-2025,08:56 WIB
Reporter : Ujang Supriyanto
Editor : Jal

Argumentasi bahwa PLTN dibutuhkan karena Babel kekurangan energi juga perlu ditinjau ulang. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2023), potensi energi surya di Bangka Belitung mencapai lebih dari 500 megawatt-peak (MWp), sedangkan kebutuhan listrik provinsi ini hanya sekitar 300 megawatt.

Selain itu, Babel juga memiliki potensi besar dari energi angin, gelombang laut, dan biomassa dari sektor perkebunan dan pertanian. Dengan strategi investasi dan tata kelola yang baik, Bangka Belitung justru bisa menjadi provinsi percontohan energi terbarukan di Indonesia bagian barat — tanpa perlu mengambil risiko besar dari reaktor nuklir terapung yang belum terbukti aman di wilayah tropis.

Dari perspektif geopolitik energi, ketergantungan pada teknologi nuklir asing juga menimbulkan persoalan baru: kedaulatan energi nasional. Alih-alih mandiri, kita justru berpotensi tergantung pada teknologi, bahan bakar, dan standar keselamatan yang ditentukan pihak luar negeri.

Dimensi Etik dan Kedaulatan Lingkungan

Lebih jauh, PLTN di Bangka Belitung menyentuh dimensi etik dan konstitusional. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka setiap kebijakan pembangunan yang berpotensi mengancam keselamatan manusia dan ekosistem laut harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak dasar warga negara.

Kita tidak perlu menunggu bencana untuk belajar. Sejarah telah cukup memberi contoh — dari Chernobyl (1986) hingga Fukushima (2011) — bahwa teknologi nuklir, seaman apa pun diklaimnya, tidak pernah benar-benar bebas dari risiko. Bayangkan bila insiden serupa terjadi di pulau sekecil Bangka, dengan infrastruktur evakuasi yang terbatas dan kepadatan penduduk di pesisir. Dampaknya akan meluas bukan hanya secara ekologis, tetapi juga sosial dan psikologis.

Tolak Bukan Berarti Anti-Kemajuan

Sikap menolak PLTN di Bangka Belitung bukan berarti anti-kemajuan atau anti-sains. Justru sebaliknya: ia adalah bentuk rasionalitas ekologis dan tanggung jawab sosial. Pembangunan berkelanjutan sejati adalah pembangunan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan — bukan yang mengorbankan satu demi yang lain.

Dalam kerangka komunikasi strategis, penolakan masyarakat terhadap PLTN adalah pesan moral sekaligus politik: bahwa warga Babel ingin kemajuan yang selaras dengan alam, aman bagi generasi mendatang, dan berpihak pada kedaulatan lokal.

Penutup

Kini, setelah PT Thorcon mundur, perjuangan masyarakat sipil tidak boleh berhenti. Babel harus tetap waspada agar proyek serupa tidak kembali muncul dengan nama atau skema baru. Pemerintah daerah dan pusat seharusnya memfokuskan diri pada penguatan riset dan investasi di sektor energi terbarukan — bukan mengulang kesalahan dengan memaksakan teknologi berisiko tinggi di wilayah rentan.

Maka sikap kami tegas: tolak PLTN di Bangka Belitung bukan karena takut nuklir, tetapi karena cinta kehidupan. Ini bukan pilihan politik — ini pilihan peradaban. Dan bagi kami, itu harga mati.

BACA JUGA:ISLAH (POLITIK) PPP

BACA JUGA:Koperasi Merah Putih: Jalan Tengah Ekonomi Rakyat Timah di Era Prabowo

Kategori :