Untuk hidup sejalan dengan orientasi rahmat-surgaNya, tiap-tiap diri jangan sekali-kali mudah dikarantina oleh hawa nafsu dan perilaku destruktif dari dan demi kelangsung kehidupan kolektif.
Sebaliknya, jika masing-masing diri merasa hidup tapi senantiasa dieksploitasi egosime, dikooptasi kebakhilan, diintervensi keserakahan, sesunguhnya yang demikian adalah kematian yang merugikan.
Lebih jauh Sayyidina Ali menegaskan, seperti dikutip Murtadha Muthahhari (1996 : 64), dunia hanya tempat persinggahan.
Tak ada seorang pun yang pasti menetap selamanya. Manusia yang datang dan pergi ke pasar dunia ini, tegas Sayyidina Ali, terbagi pada dua kategori.
Pertama ialah mereka yang terus menerus menjual diri dan menjadikan dirinya terbelenggu oleh egoisme, keburukan, keserakahan, dan kepicikan-materialistik.
Kedua, pribadi yang membeli dirinya di pasar dunia ini, namun bersungguh dan optimistik mengoptimalisasi dirinya selaku ahli kebajikan, senang berbagi dan memberikan solusi berkehidupan, tidak congkak dan tidak pula angkuh, serta menjaga stabilitas otoritas maupun kemerdekaan dirinya sepenuh jiwa.
BACA JUGA:Bersama PPS Alobi, PT Timah Tbk Rawat dan Kembalikan Satwa ke Alam Bebas
KDM jelas bukan Sayyidina Ali.
KDM tetap KDM, birokrat praktis berkarakter etik, tulus mengawal komitmen kultural dan spiritual leluhur Sunda.
Ia “fenomena millenial” sederhana tapi bersahaja.
Namun untuk konsisten sebagai pribadi surgawi, KDM tidak boleh setengah hati memompa, “menyakolahkan,” dan memparfumi dirinya dengan esensialitas humanistik-universalistik.
Ia harus terus melaju, mencairkan kebekuan sosial kemasyarakatan yang seringkali dililit kerumitan birokrasi, hegemoni maupun eksploitasi (ke)kuasa(an) serta kecintaan atas duniawi yang banyak melampaui batas.
Sebab kata Sayyidina Ali (Muthahhari, 1996 : 61), dunia ini semata-mata batas penglihatan orang-orang yang buta.
Masmuni Mahatma,
Ketua Tanfidziyah PWNU Kep. Babel dan Kabiro AAKK UIN Imam Bonjol Padang