Oleh : Handika Yuda Saputra, S.Pd., M.Pd
Sekretaris Umum DPD IMM Bangka Belitung
___________________________________________
Delapan puluh tahun sudah republik ini berdiri, dengan segala lika-liku perjuangan, derita, kemenangan, dan harapan. HUT RI ke-80 mestinya menjadi momentum refleksi, sebuah perayaan yang menegaskan betapa panjang jalan bangsa ini ditempuh dengan keringat, darah, dan air mata para pendiri negeri. Namun sayangnya, di balik gegap gempita pesta kenegaraan, dentuman musik, dan tarian meriah di halaman istana, ada suara lirih yang nyaris tak terdengar, rakyat yang masih mengais sisa makanan, menyusuri tumpukan sampah, dan mempertanyakan di mana letak kemerdekaan bagi mereka.
Ironi ini bukan barang baru. Kita menyaksikannya saban tahun, tetapi semakin mencolok ketika pesta kemerdekaan digelar megah sementara kemiskinan justru tampak begitu telanjang di hadapan kita. Istana bersinar dengan lampu-lampu kristal, pakaian adat penuh warna, perayaan yang ditata dengan koreografi nyaris sempurna, seakan ingin memperlihatkan wajah Indonesia yang kokoh, makmur, dan berwibawa di mata dunia. Namun di luar pagar, yang tak tersorot kamera televisi, ada wajah-wajah penuh letih, keringat bercucuran, dan perut keroncongan. Mereka adalah rakyat yang katanya menjadi pemilik sah negeri ini, tetapi justru dipaksa menjadi penonton dari balik tirai kesenjangan.
Di titik ini, kita kembali diingatkan pada catatan seorang aktivis muda yang namanya kini melegenda, Soe Hok Gie. Dalam Catatan Seorang Demonstran, ia pernah menulis tentang kontras yang amat menyakitkan: istana yang berpesta, sementara rakyat kecil mengais sampah di depannya. Kalimat itu lahir dari pengamatan tajam seorang anak muda yang jujur, yang tak tahan melihat kemewahan kekuasaan berdiri terlalu dekat dengan derita rakyat. Potret yang ia lukiskan di tahun 60-an itu, sayangnya, masih relevan hingga hari ini. Bedanya hanya pada kemasan: kini pesta lebih megah, lebih modern, lebih penuh pencitraan; tetapi luka sosial yang sama tetap membekas.
Kita bisa saja berkata bahwa pesta kenegaraan adalah simbol. Bahwa bangsa yang besar harus merayakan hari jadinya dengan kebanggaan, dengan pertunjukan yang menawan. Tetapi pertanyaan mendasar tetap muncul: untuk siapa semua itu? Apakah pesta itu menjadi representasi kebahagiaan seluruh rakyat, ataukah hanya sebagian kecil elite yang merasa telah berhasil memonopoli arti “kemerdekaan”?
Ketika angka kemiskinan masih jutaan, ketika anak-anak di pelosok masih sulit mengakses pendidikan dan kesehatan, ketika buruh dipaksa bekerja dengan upah minim, maka pesta kemerdekaan di istana terasa bagai lukisan indah yang dipajang di dinding rumah reyot. Ia mungkin memukau mata, tetapi rapuh menopang kenyataan. Kemerdekaan yang sejati mestinya bisa dirasakan di meja makan rakyat kecil, bukan hanya di meja jamuan para pejabat.
BACA JUGA:Timah untuk Merah Putih: Menjaga Kedaulatan SDA Babel di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
BACA JUGA:Membentuk Karakter Generasi Muda Lewat Sekolah Berasrama: Belajar 24 Jam Tentang Hidup
Bayangkan seorang ibu di kampung padat penduduk Jakarta yang pagi hari harus bangun lebih awal demi mendapatkan sisa makanan dari pasar untuk keluarganya. Bayangkan seorang ayah di pinggiran kota yang seharian memungut botol plastik untuk dijual demi beberapa ribu rupiah, cukup untuk membeli beras setengah liter. Bayangkan anak-anak yang pada 17 Agustus bukannya ikut lomba panjat pinang, melainkan ikut orang tua mereka mengais barang rongsokan. Lalu bandingkan dengan mereka yang di hari yang sama duduk manis di kursi empuk, bersorak ketika bendera Merah Putih dikibarkan, menyantap hidangan berlapis emas, dan bersulang dengan tawa.
Kontras ini bukan hanya soal kaya dan miskin. Ia adalah soal kepekaan nurani, tentang bagaimana negara menempatkan rakyat sebagai subyek atau hanya objek dari panggung kemerdekaan. Bila rakyat hanya hadir sebagai latar, sebagai wajah-wajah yang ditampilkan sekilas di layar televisi, maka perayaan itu kehilangan makna terdalamnya.
Indonesia seharusnya belajar dari sejarah. Para pendiri bangsa tidak pernah membayangkan kemerdekaan hanya untuk segelintir orang. Mereka berjuang agar semua rakyat terbebas dari penindasan, agar semua bisa merasakan kehidupan yang layak. Namun kini, setelah delapan puluh tahun, masih begitu banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan struktural. Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya merdeka?
Kita kerap terjebak dalam ritual seremonial yang melupakan esensi. Istana boleh berhias seribu lampu, tetapi di lorong-lorong gelap kota, anak-anak masih tidur dengan perut lapar. Lagu kebangsaan boleh dikumandangkan dengan penuh khidmat, tetapi di pabrik-pabrik, buruh masih diperlakukan sebagai roda mesin yang murah. Pidato kenegaraan boleh berulang-ulang menekankan keadilan sosial, tetapi di pasar, rakyat masih harus berhutang untuk sekadar membeli minyak goreng.
Di titik ini ingatan pada Soe Hok Gie kembali relevan. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini akan hancur bila nurani pemimpinnya mati. Bila pesta lebih penting daripada mendengar jeritan rakyat, bila panggung lebih dihargai daripada perut kosong yang menanti, maka kita sedang merayakan kemerdekaan yang semu.