Menyelamatkan Muara Jelitik

Kamis 10-07-2025,10:01 WIB
Reporter : Firmansyah Levi, Maulana, Guna
Editor : Jal

Oleh: Firmansyah Levi, Maulana dan Gunawan

Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Pancasila

___________________________________________

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 108.000 km, menjadikannya negara dengan potensi sumber daya kelautan dan pesisir yang sangat besar. Kekayaan ini tidak hanya berperan strategis dalam pengembangan ekonomi nasional melalui sektor perikanan, pelabuhan, pariwisata, dan energi kelautan, tetapi juga menjadi penopang utama kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama komunitas nelayan tradisional. Namun demikian, wilayah pesisir Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan serius yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan stabilitas ekonomi masyarakat setempat, seperti abrasi, sedimentasi, eksploitasi ruang laut tanpa regulasi yang kuat, serta tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

Salah satu contoh konkret dari kompleksitas permasalahan tata kelola pesisir dapat dilihat pada kasus Muara Jelitik dan Muara Air Kantung di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dua muara ini merupakan jalur utama keluar-masuk kapal nelayan dan terhubung langsung dengan aktivitas logistik serta produksi di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat, salah satu simpul penting dalam rantai distribusi hasil laut di wilayah tersebut. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kedua muara mengalami pendangkalan parah yang berdampak langsung terhadap gangguan aktivitas pelabuhan, penurunan produktivitas perikanan, serta kerugian ekonomi masyarakat pesisir.

Permasalahan di kedua muara ini bukan sekadar isu teknis sedimentasi, melainkan mencerminkan krisis tata kelola wilayah pesisir yang melibatkan persoalan legalitas pemanfaatan ruang, ketidaktepatan prosedur perizinan, konflik antar aktor (negara, BUMN, swasta, dan masyarakat), serta ketimpangan perlindungan hukum terhadap ekosistem laut dan kelompok rentan seperti nelayan kecil. Berdasarkan dokumen yang dianalisis, ditemukan bahwa dalam upaya penanganan pendangkalan muara, pemerintah justru menunjuk pihak yang tidak memiliki kapasitas legal formal (dalam hal ini PT Timah Tbk) untuk melakukan pengerukan melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR), tanpa disertai dokumen penting seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), dan partisipasi masyarakat.

BACA JUGA:Menggugat Republik: Mana Yang Layak Sejahtera, Antara Guru-Guru Honorer atau Birokrat dan Oligarki?

BACA JUGA:KEMUNAFIKAN DAN WAJAH GANDA DALAM POLITIK

Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2014, wilayah kerja PPN Sungailiat seharusnya telah memiliki zonasi dan batas fungsi ruang yang jelas, baik di daratan maupun perairan. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan kebijakan tidak berjalan selaras dengan peta rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang telah ditetapkan dalam Perda No. 3 Tahun 2020 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini menunjukkan lemahnya implementasi hukum dan minimnya koordinasi lintas sektor, yang pada akhirnya memperburuk kondisi lingkungan sekaligus mempersempit akses ekonomi masyarakat pesisir.

Di sisi lain, krisis ini juga mengungkap betapa timpangnya posisi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut lingkungan hidup mereka. Masyarakat nelayan tidak dilibatkan dalam perencanaan pengerukan, tidak mendapatkan informasi yang transparan, serta tidak memiliki mekanisme keberatan yang efektif. Ketidakterlibatan masyarakat ini melanggar prinsip partisipasi publik sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan lingkungan hidup nasional, sekaligus memperkuat ketimpangan struktural antara negara, korporasi, dan warga pesisir.

Krisis Tata Kelola Muara dan Lemahnya Kepatuhan Regulatif

Permasalahan utama yang terjadi di Muara Jelitik dan Muara Air Kantung berakar dari lemahnya sistem tata kelola wilayah pesisir, khususnya dalam hal kepatuhan terhadap regulasi dan koordinasi lintas sektor. Berdasarkan dokumen ROADMAP Penanganan Muara Air Kantung (2025) dan Menyelamatkan Muara Jelitik, kegiatan pengerukan yang dilakukan oleh PT Timah Tbk melalui skema CSR tidak didukung oleh dokumen lingkungan (AMDAL), izin kerja keruk, maupun persetujuan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Hal ini menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 32  Tahun 2014 tentang Kelautan, yang secara eksplisit mengatur bahwa setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut harus berbasis pada rencana tata ruang dan kelayakan lingkungan.

Lebih jauh, Perda Provinsi Kep. Bangka Belitung No. 3 Tahun 2020 telah menetapkan zonasi pemanfaatan ruang laut (RZWP3K), termasuk zona pelabuhan, industri, budidaya, pariwisata, dan pertambangan. Namun dalam pelaksanaannya, ketidaksinkronan antara peraturan pusat dan daerah menyebabkan tumpang tindih fungsi dan konflik kepentingan antar sektor. Salah satu contoh adalah adanya wilayah yang termasuk dalam WKOPP PPN Sungailiat, namun juga dimiliki oleh PT Timah sebagai IUP aktif. Hal ini menunjukkan minimnya harmonisasi antara rencana pemanfaatan ruang dengan status hukum lahan dan izin usaha.

BACA JUGA:DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT (BUMI MASIH SATU)

BACA JUGA:MOMENTUM TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARAM 1447 H

Ketimpangan Peran Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan

Aspek penting lainnya adalah ketidakterlibatan masyarakat nelayan dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada ruang hidup mereka. Dalam dokumen Menyelamatkan Muara Jelitik, disebutkan bahwa masyarakat pesisir tidak dilibatkan dalam proses pengerukan muara, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. 

Kategori :