KOTAK KOSONG PETAKA DEMOKRASI

Rabu 04-12-2024,09:03 WIB
Reporter : Saifuddin
Editor : Jal

Tetapi menariknya adalah, budaya tak sedikitpun berjarak dengan demokrasi. Lalu wacana kotak kosong? yah, tentu menjadi obituari demokrasi, bukan? Siapakah sesungguhnya pemilik demokrasi? rakyat kah yang mendiami pada lapis kebudayaan ? ataukah mereka para pemilik modal (Borjuasi) ?, pertanyaan ini nyaris berkelindan diruang demokrasi, bahkan orang awam pun berkata, tak perlu menghabiskan waktu berproses di dalam partai politik, end toh pada akhirnya pemenangnya juga adalah para pemilik modal. Sebagai fakta dalam proses politik Pilkada yang menghasilkan pemimpin yang di produksi oleh kekuatan modal dan klan politik yang kuat. 

BACA JUGA:E-Government di Indonesia: Memetakan Inovasi, Mengatasi Tantangan, dan Belajar dari Pengalaman Negara Lain

BACA JUGA:Calon Pimpinan KPK dan Tantangan 79 Tahun Indonesia Merdeka

Ancaman Demokrasi

Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 diwarnai fenomena munculnya calon tunggal melawan kotak kosong. Setidaknya ada 16 daerah yang berpotensi pasangan calon akan melawan kotak kosong, dibanding Pilkada serentak tahun 2017 yang lalu yang hanya diikuti 9 daerah dalam melawan kotak kosong. Faktanya bahwa dari 9 daerah yang melawan kotak kosong, hasilnya masih didominasi oleh paslon dengan kemenangan yang fantastis. Sebagai catatan kecil, di kabupaten Landak Kalimantan Barat pasangan calon memenangkan dengan angka 94,62 %, sementara di kabupaten Pati Jawa Tengah paslon Hariyanto-Saiful Arifin menang dengan angka 75,74 %, hanya di kabupaten Buton memang sedikit kritis sebab paslon mendapat perlawanan dari kotak kosong walau pada akhirnya paslon menang dengan angka 55,52 %. Munculnya pasangan calon hanya melawan kotak kosong memiliki tiga indikasi. 

Indikasi pertama, gagalnya pengkaderan partai politik dalam menyiapkan kader-kader terbaiknya di suatu daerah untuk muncul dan maju sebagai calon kepala daerah. Itu artinya bahwa tingkat keterpilihan paslon melawan kotak kosong masih sangat dominan. Tetapi asumsi itu sangat diperkuat bahwa kemenangan paslon sangat dipengaruhi posisinya sebagai petahana atau incumbent. Dan bagaimana dengan paslon yang bukan petahana melawan kotak kosong? tentu hal ini sangat sarat diskursus, termasuk kesanggupan paslon yang bukan petahana untuk merebut kepercayaan publik atau masyarakat pemilih. 

Kedua, setelah gagal menciptakan kader-kadernya di wilayah, partai akhirnya bersikap instan mengambil tokoh yang sudah populer, punya uang, lebih-lebih yang sudah memegang infrastruktur atau jabatan politik. Makanya tidak heran jika parpol berbondong-bondong mencalonkan calon petahana. Walau dibagian wilayah lain ada juga petahana dirundung kesedihan karena tak mendapat partai politik untuk maju, tetapi dengan jalur perseorangan pun di lakukannya, namun penuh dengan intrik politik yang berujung pada sengketa hukum. Ketiga, realistis. Pada akhirnya, di penghujung masa pendaftaran, partai politik bersikap realistis dengan realita politik yang ada, guna memenuhi pencalonan di daerah agar tidak ketinggalan gerbong kereta koalisi. 

Berikut 16 daerah di mana calon tunggal akan bertarung dengan kotak kosong seperti; Kabupaten Lebak, Kabupaten Tapin, Kota Prabumulih, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Mamberano Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Kabupaten Mamasa (Sulbar), Kabupaten Enrekang (Sulsel), Kabupaten Bone (Sulsel) dan Kota Makassar. Dan secara mengejutkan Pilwalkot Makassar yang dipenuhi berbagai drama—kotak kosong menang diangka 57,74% mengalahkan Munafri Arifuddin-Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) yang diusung 14 partai politik. Dan ini sangat fenomenal dalam ruang demokrasi. 

BACA JUGA:PERAN AMICUS CURIAE DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

BACA JUGA:Antara Ekspektasi dan Realitas: Ketika Laporan Orang Tua Menggerus Otoritas Pendidik

Memutus stigma atas kemenangan kotak kosong di Bangka dan Pangkalpinang

Di Pilkada 2024 ini dari 43 Paslon yang melawan kotak kosong yang paling fenomenal adalah di propinsi Bangka Belitung dari 6 kabupaten dan 1 kota, ada 3 daerah atau paslon yang melawan kotak kosong masing-masing Kabupaten Bangka Selatan (Riza Herdavid, incumbent), Kabupaten Bangka (Mulkan, incumbent) dan Kota Pangkalpinang (Maulana Aklil, incumbent). Bangka Selatan Paslon Riza Herdavid-Debby menang telak atas kotak kosong dengan perolehan suara 84,5%. Namun tragisnya di dua daerah Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang kedua paslon ini justru dikalahkan oleh kotak kosong. Kabupaten Bangka Paslon Mulkan-Ramadian 42,75% sementara kotak kosong 57,25%. Sedangkan di Kota Pangkalpinang paslon Maulana Akil-Masagus Hakim 42,02% sementara kotak kosong 57,98%. 

Menariknya di Kota Pangkalpinang memang dari awal proses pendaftaran di KPU hanya satu-satunya paslon Maulana Aklil-Masagus Hakim tanpa paslon yang lain. Sehingga dari situ perlawanan kotak kosong muncul dari warga dengan membuka posko pemenangan kotak kosong dan menggelar berbagai diskusi di.ruang-ruang publik yang ada di Kota Pangkalpinang. 

Perlawanan ini sesungguhnya memberi isyarat terhadap partai politik yang tidak mampu menyerap aspirasi masyarakat yang berkembang. Dengan melihat kedua paslon ini baik di Kabupaten Bangka maupun di Kota Pangkalpinang (Mulkan dan Maulana Akil) keduanya kader PDIP yang selama ini dikenal kalau kepulauan Bangka Belitung adalah basisnya banteng. Perlawanan rakyat atas kemenangan kotak kosong adalah bentuk protes publik kepada partai politik sekaligus bentuk ketidakpercayaan publik terhadap eksistensi partai politik, dominasi, hegemoni dan ambisi figur ditengah transformasi politik dan demokrasi (baca:Samuel P Huntington, Tertib politik dalam masyarakat yang berubah).

Dalam demokrasi yang serba maju dan terbuka—kemenangan kotak kosong justru menjadi tamparan keras terhadap peradaban manusia. Fenomena ini sekaligus sebagai wajah buruk demokrasi. 

Dengan logika politik demikian, maka fenomena kotak kosong sesungguhnya adalah salah satu bentuk kecelakaan berpolitik, sekaligus menjadi obituari (pengumuman kematian) atas demokrasi. Untuk menghindari hal tersebut maka parpol sebagai medium edukasi politik “harus lepas” dari jebakan pragmatisme, sehingga demokrasi itu dapat berjalan sesuai dengan keinginan rakyat bukan karena paksaan dan atas dominasi elit untuk sebatas berkuasa. 

BACA JUGA:KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB

BACA JUGA:Mahasiswa ; Demokrasi Yang Belum Mati

Kategori :