OLEH: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan
SEBELUM berkecamuknya perang rakyat Bangka melawan Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin oleh Depati Amir, Franz Epp, seorang Jerman dalam bukunya Schilderungen aus Ostindiens Archipel, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1841 dan Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1852 pada halaman 209, memuat data tabel statistik (statistische verhaltnisse) yang mendiskripsikan,
--------------------
BAHWA pada Tahun 1848 Masehi terdapat 482 kampung di Pulau Bangka dengan jumlah penduduk berjumlah sekitar 41.246 jiwa yang tersebar di Sembilan distrik yaitu Distrik Muntok terdiri dari 44 kampung dengan jumlah penduduk 6.124 jiwa, distrik Jebus terdiri dari 25 kampung dengan jumlah penduduk 3.382 jiwa, distrik Belinju terdiri dari 25 kampung dengan jumlah penduduk 4.384 jiwa, distrik Sungailiat und Merawang terdiri dari 158 kampung dengan jumlah penduduk 8.556 jiwa, distrik Pangkalpinang terdiri dari 105 kampung dengan jumlah penduduk 6.694 jiwa, distrik Toboali terdiri dari 32 kampung dengan jumlah penduduk 5.549, distrik Koba terdiri dari 42 kampung dengan jumlah penduduk 2.232 jiwa, dan distrik Sungaiselan terdiri dari 51 kampung dengan jumlah penduduk 4.225 jiwa. Dari jumlah 41.246 jiwa penduduk Pulau Bangka tersebut terdapat sekitar 10.052 orang Cina, 4.903 orang Melayu dan sebanyak 26.291 orang pribumi Bangka asli (Bangkanese) yaitu orang Darat dan Orang Laut. Berdasarkan keterangan selanjutnya dari data statistik (statistische verhaltnisse) penduduk yang tinggal di distrik Pankalpinang berjumlah 6.694 jiwa atau meliputi sebesar 16,23 persen dari total penduduk pulau Bangka (41.246 jiwa). Penduduk distrik Pangkalpinang terdiri dari Bankanesen (pribumi Bangka orang Darat dan orang Laut) berjumlah 4.576 jiwa, Melajen (Melayu) berjumlah 251 jiwa, dan Chinesen (China) berjumlah 1.867 jiwa. Penduduk distrik Pangkalpinang yang tinggal di 105 kampung tersebar di beberapa underdistrik, yaitu underdistrik Bukit, underdistrik Pangkalpinang, underdistrik Mendobarat, underdistrik Mendotimur, dan underdistrik Gerunggang.
BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Satu)
Salah satu kebijakan yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda setelah berakhirnya perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir Tahun 1851 adalah kebijakan memisahkan pemukiman penduduk pribumi Bangka dengan pemukiman pekerja-pekerja tambang dari Cina. Umumnya pekerja-pekerja tambang tinggal dan membentuk perkampungan sendiri di bekas penambangan timah (verlaten mijn). Beberapa perkampungan Cina yang didirikan di bekas penambangan timah masih kita temukan di pulau Bangka hingga sekarang, seperti kampung-kampung yang ada di Kota Pangkalpinang yaitu Nai Si Puk (kampung Bintang), Yung Fo Hin (kampung Semabung), Sung Sa Thi (kampung Pasirputih), Thiat Phu (kampung Besi), Parit Lalang, Parit Baciang (Bacang), Con Jau (Pangkalbalam), Liuk Ho (kampung Parit Enam), Thai Hin (kampung Semabung Ujung) dan Si luk (kampung Parit 46). Perkampungan Cina juga terbentuk di dekat lokasi tidak jauh dari bekas penambangan timah seperti kampung Tjina dan kampung Katak. Kampung Tjina berada di sisi Selatan sungai Rangkoei dan di sisi Utara kampung Bintang (Nai Si Puk), serta di sisi Timur kampung Dalam. Kampung Tjina pada sekitar akhir abad 19 kemudian berkembang menjadi kawasan pasar Pangkalpinang. Sementara itu kampung Katak yang terletak di sisi Utara sungai Rangkoei dan pada sisi Selatan kampung Djawa, awalnya merupakan pemukiman penduduk dan pada bagian Selatannya dekat sungai Rangkoei merupakan kawasan pelabuhan dengan beragam aktivitasnya, pada perkembangan berikutnya karena terletak di antara kampung Tjina dan kampung Djawa serta kawasan civic centre, kampung Katak lambat laun juga berkembang menjadi kawasan perdagangan.
BACA JUGA:REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Dua)
Pemerintah Kolonial Belanda juga menempatkan pemukiman orang-orang Cina di ujung atau di pinggir agak ke dalam dari perkampungan penduduk pribumi karena umumnya orang Cina di samping berkebun sayuran, menanam kelapa, berkebun lada dan mereka juga beternak unggas dan babi. Wajah lama Pangkalpinang pada masa atau priode chineesche, ditandai dengan banyaknya pemukiman orang Cina di bekas penambangan dan pada lokasi pemukiman biasanya banyak dibangun gang-gang sempit, dengan beberapa tipe bangunan seperti rumah kongsi atau rumah Kepung, rumah kepala parit atau rumah Marga dan rumah rumah masing masing keluarga orang Cina.
BACA JUGA:Rumah Sakit DKT dan DKR
Berdasarkan Algemeen verslag der Residentie Banka over het jaar 1851 No.42, bahwa kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang membawa pengaruh besar bagi kondisi pulau Bangka pada akhir tahun 1851 Masehi, adalah kebijakan pembangunan jalan raya baru dan pemindahan kampung-kampung dari pedalaman dan pelosok pulau Bangka ke posisi kiri dan kanan jalan baru yang dibangun. Kebijakan ini telah membentuk kampung-kampung yang terkonsentrasi di sepanjang jalan di pulau Bangka mencapai 232 kampung, termasuk 99 kampung lama dan 133 kampung baru yang dibangun. Pembangunan kampung tersebut diatur dengan ketentuan yaitu setiap tiga paal dibangun sebuah kampung kecil atau dusun yang dikepalai oleh seorang Lengan dan setiap enam paal dibangun sebuah kampung besar yang dikepalai seorang Gegading. Kampung kecil atau dusun terdiri atas 20 sampai 30 bubung rumah, dengan penduduk antara 80 sampai 100 jiwa, kemudian kampung besar terdiri atas 40 sampai 60 bubung rumah dengan penduduk berkisar antara 150 sampai 200 jiwa. Akibat pemindahan kampung kampung dan pengaturan pembangunan kampung, baru, maka jumlah kampung menjadi berkurang bila dibandingkan dengan data jumlah kampung pada Tahun 1841-1848. Pengurangan tersebut diperkirakan karena ada penggabungan kampung dan ada kampung yang hilang akibat dimusnahkan pasukan Belanda atau kampung yang ditinggalkan penduduknya karena wabah penyakit atau akibat perampokan. Pemindahan kampung kampung di Bangka juga berakibat pada perkembangan dan perluasan sebaran penutur bahasa Melayu Bangka ke hampir seluruh pelosok pulau Bangka.
BACA JUGA:HAK ATAS HARTA ABERCROMBY
Jabatan-jabatan kepala rakyat pribumi Bangka yang oleh Pemerintah Kolonial Belanda sering disebut dengan kepala-kepala pribumi juga mengalami perubahan kebijakan dalam kewenangan dan sistem penggajiannya. Salah satu kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang penting dan agak menyimpang dari kebiasaan, dalam upaya pemerintah Hindia Belanda menekan perlawanan rakyat jangan sampai terulang lagi seperti yang dilakukan oleh pejuang-pejuang dari pulau Bangka adalah dengan mulai memberikan gaji kepada kepala-kepala pribumi. Kebijakan pemberian gaji kepada kepala pribumi tertuang dalam Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 28 November 1850 nomor 3. Dengan pemberian gaji ini diharapkan kepala kepala pribumi memiliki keterikatan dan kesetiaan kepada pemerintah serta dapat mendorong mereka untuk melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah Kolonial Belanda dengan baik. Pemberian gaji oleh Pemerintah Kolonial Belanda dinilai lebih efektif dibandingkan apa yang telah biasa dilakukan oleh pemerintah selama ini yang hanya memberikan kompensasi kepada mereka yang berjasa kepada Belanda, tanpa harus memberikan gaji yang tetap.