SAAT awal Pemilu langsung baru dimulai di negeri ini, hasil survey demikian ditunggu. Terutama hasil hitungan cepat atau quick count. Maklum, menunggu real count terlalu lama.
-------------------
DAN hebatnya, hitungan real count akhir Pemilu ternyata tak jauh beda dengan hasl hitungan cepat itu. Bertambah yakinlah rakyat negeri ini.
Saat itu, lembaga survey juga belum banyak, keterlibatan para pengelola survey itu dalam politik praktis juga belum begitu kentara, profesonalitas dan sisi keilmuan sebuah lembaga survey masih begitu meyakinkan.
BACA JUGA: Gerung Kesandung II
Persoalan mulai ada, ketika lembaga survey bermunculan di negeri ini. Bak jamur di musim hujan, dengan nama, predikat, dan pengelola dari rata-rata orang yang sudah demikian dikenal.
Rakyat mula-mulanya sebenarnya masih percaya, meski lembaga survey bermunculan demikian banyak.
Persoalan mulai muncul, ketika pihak lembaga pengelola survey sudah mulai 'terkesan' terlibat dalam politik praktis. Misalnya turun langsung mengelola suatu wilayah karena di wilayah itu hasil survey kandidat yang 'memesannya' masih rendah? Di sini tingkat kepercayaan mulai luntur.
BACA JUGA:Gerung Kesandung
Di sisi lain, kadang hasil survey itu seolah dijadikan alat legitimasi akan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain. Padahal, kadang proses masih berjalan. Tentu ini menyakitkan bagi pihak-pihak yang 'dikalahkan' oleh lembaga survey itu.
Sebuah lembaga survey menerima pesanan, sebenarnya adalah hal yang biasa dan itu sah-sah saja. Hal yang penting adalah sistem dan pelaksanaan surveynya tetap menuruti kaidah keilmuan yan sudah digariskan dan tetap profesional.
Hanya masalahnya, ketika lembaga itu turut campur 'mengobok-obok' suatu objek survey demi mengubah hasil, tentu ini sudah tidak murni lagi.
Bayangkan jika setiap lembaga survey melakukan hal yang sama, luluh lantaklah objek tadi.
***
BICARA soal survey, penulis jadi ingat dengan budayawan negeri ini yang dikenal suka bicara blak-blakan. Dia adalah tokoh Betawi, Almarhum Ridwam Saidi.