Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Dua)

Selasa 16-05-2023,02:00 WIB
Editor : Babelpos

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, ECH - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SIKAP terbuka masyarakat Bangka menerima orang-orang yang datang dari luar pulau, juga terjadi dalam konteks percampuran atau asimilasi budaya hingga pada tingkat perkawinan campuran antar suku bangsa. 

Dalam perjalanan sejarah Bangka, pada pertengahan Abad 18 Masehi, telah terjadi percampuran ras dan budaya antara pribumi Bangka orang Darat atau orang Gunung dengan orang-orang Melayu dari berbagai kelas terutama di wilayah Pulau Bangka bagian Selatan, yang kemudian menyebabkan penduduk di wilayah pulau Bangka bagian Selatan berbeda dari segi karakter, bahasa dan penampilannya dengan penduduk di wilayah lain pulau Bangka, khususnya di wilayah Utara dan wilayah Barat pulau Bangka. Perbedaan karakter, bahasa dan penampilan, terjadi akibat proses asimilasi antara pribumi Bangka orang Darat atau orang Gunung dengan orang Melayu yang datang dari berbagai wilayah dan dari berbagai kelas, seperti yang disampaikan oleh residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court: “The native population of this district, both in appearance and character, does not accord with that of the more northern part of the island. A great intermixture of various classes of Malayese with the Orang Goonoongs, has not only occasioned a variation of countenance and manner in the people of this part of Banca, but has engendered, also, more intelligence, or perhaps, more properly speaking, cunning and duplicity, than we ?nd amongst the untutored race to the northward” (Court, 1821:202). Terjemahan maksud M.H. Court kira-kira sebagai berikut: “Penduduk pribumi daerah ini (wilayah Bangka bagian Selatan), baik penampilan maupun kepribadiannya tidak sama dengan orang-orang bagian Utara dari pulau tersebut. Percampuran yang kuat antara berbagai kelas orang Melayu dengan orang Gunung, telah menyebabkan tidak hanya keragaman wajah dan perilaku orang-orang Bangka ini, tetapi juga melahirkan orang-orang yang lebih intelek atau mungkin lebih culas, pandai bicara dan lebih baik daripada orang-orang yang kurang terpelajar yang kami temukan ke arah bagian Utara”. 

Asimilasi ras dan budaya menunjukkan ciri mendasar, bahwa Pulau Bangka berada dalam wilayah hukum adat teritorial, karena orang-orang yang berasal dari luar Pulau Bangka yang datang ke Pulau Bangka dapat masuk menjadi anggota kesatuan wilayah teritorial dengan memenuhi persyaratan adat setempat menjadi orang Bangka yaitu melalui percampuran ras dengan perkawinan dan melalui asimilasi dan akulturasi budaya. Mengingat intensnya perkawinan campuran antar etnik di Bangka menyebabkan penguasa di Pulau Bangka dan Palembang harus mengaturnya dalam Dua Pasal Hukum Adat Sindang Mardika, yaitu Pada Pasal 9 dan 10. Pasal pasal tersebut menurut F. S. A. De clercq: “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, yang disebutnya dengan instructie voor depati, de batin-pasirah's  en de batin-pengandang's of batin-ketjil. berbunyi : Pasal 9 yang mengatur perkawinan campuran antara Perempuan Pribumi Bangka dengan Orang Cina yaitu: Zoo een Chinees een vrouw van Bangka als bijzit neemt, moet hij elk jaar 10 rijksdaalders of 33 gulden aan haar hoofd betalen. Sedangkan perkawinan campuran antara orang Melayu dan Bangsa Lainnya dengan perempuan pribumi Bangka diatur dalam Pasal 10 yaitu: Als een Maleier of een vreemdeling met een vrouw van Bangka wil huwen, moet hij aan haar hoofd 26 rijksdaalders als bedrag voor de kennisgeving betalen en als koopman aan de vrouw of haar vader 5 rijksdaalders; maar de Maleiers zijn vrij van alle diensten, behalve het verleenen van hulp in geval van oorlog of verzet. Bij huwelijken tusschen Bangkanezen krijgen de hoofden niets en ontvangt de vrouw alleen de bruidschat. Untuk memperkuat hukum adat Teritorial di Bangka maka perempuan pribumi Bangka yang dikawinkan dilarang dibawa keluar dari negerinya.

Selanjutnya keterbukaan sikap orang Bangka, dapat dilihat bagaimana rukunnya masyarakat pribumi Bangka dengan orang-orang Cina, sehingga ada pepatah yang mengatakan ”Pribumi dan Tionghoa bersaudara” karena terikat pada perkawinan dan pertalian darah yang kemudian melahirkan Peranakan Bangka. Akibat bersaudara karena kekentalan darah, maka kemudian orang Cina dan orang pribumi adalah setara. Salah satu faktor yang kemudian memperkuat kesetaraan antara pribumi Bangka dengan orang Cina maupun peranakan, disebabkan oleh persamaan penderitaan antara orang Cina dan peranakan yang bekerja sebagai pekerja tambang Timah yang terikat kontrak dengan kongsi penambangan Timah, sama menderitanya dengan pribumi Bangka yang terjajah tanah airnya. Dalam catatan sejarah Bangka dikenal, bahwa perlawanan rakyat Bangka melawan Belanda tidak hanya dilakukan oleh pribumi Bangka, akan tetapi dilakukan juga secara bersama-sama dengan orang-orang Cina. Orang-orang Cina yang berperang bersama Depati Amir tidak saja berasal dari pekerja tambang Timah, akan tetapi berasal dari kepala-kepala parit penambangan Timah dan para pejabat Cina yang memperoleh jabatan titulair. Berdasarkan laporan Belanda dalam surat dari Inspektur Pajak yang bertugas di Bangka kepada De Minister van Staat Gubernur Jenderal, tertanggal Blinjoe, 8 Agustus 1850, Nomor  La. J, rahasia (ANRI; Bt. 17 September 1850 Nomor 1), diperkirakan sekitar 5.000 pekerja tambang Timah menganggur. Pemberontakan Amir juga menyebabkan lumpuhnya perekonomian masyarakat. Pekerja tambang orang-orang Cina, sebagian telah menghilang dan ada yang ikut dan bergabung dalam barisan Amir. Sangatlah jelas sesungguhnya apa yang dinamakan pemerintah Hindia Belanda dalam berbagai catatan dan laporannya yang menyatakan tentang “para pemberontak (de muiters)”, sesungguhnya adalah para petani peladang pribumi Bangka orang Darat, para gerombolan orang Laut (orang Sekak) dengan batin-batinnya, serta para pekerja kasar pada tambang-tambang Timah atau bekas pekerja penambangan Timah yang sudah tidak terikat pada kontrak penambangan atau sebagai orang pelarian dari tambang Timah. Termasuklah dalam barisan de muiters itu para Kepala Parit tambang Timah yang oleh orang Bangka disebut dengan paritheew dan orang-orang Cina peranakan serta para mualaf. Keikutsertaan orang-orang Tionghoa Bangka dalam pemberontakan Amir dan bagaimana peranan mereka dalam membantu Amir dapat diketahui dari Nota Perencanaan Sehubungan dengan Amir, Besluit tanggal 25 Maret 1851 Nomor 13: “...Kerjasama dengan orang-orang Cina terbukti ketika melakukan pembakaran tambang Soengai Liat dan terjadi pemberontakan di daerah Maras, antara barisan (kompeni) dan pemberontak (kejadian ini berlangsung sebelum komandan militer memerintahkan menindak keributan Amir). Saat itu, Amir ikut serta bersama pengikutnya berjumlah 30 atau 40 orang Cina.

Khusus dalam kaitannya dengan orang-orang Tionghoa yang kemudian menjadi bagian dari pembentuk masyarakat Bangka, tidak dapat dipumgkiri, bahwa di samping karena faktor sejarah, ikatan ekonomi, politik, sosial dan kultural sebagai golongan yang sama-sama tertindas dengan pribumi Bangka oleh penjajah, perkawinan campuran yang melahirkan “peranakan” adalah menjadi faktor utamanya. Perkawinan campuran tersebut bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Sikap menentang penjajah kemudian dikonversikan ke dalam tugas-tugas mengusir kolonial Belanda adalah faktor yang memperkuat persatuan dalam pluralisme di Bangka. Contoh kerjasama antar golongan masyarakat pribumi dengan orang Tionghoa dan berbagai suku bangsa lainnya yang terjadi di wilayah hukum adat teritorial Bangka penting diwartakan ke khalayak luas, sebagai bukti kebinekaan yang telah memfosil ke dalam persatuan serta kepaduan untuk bergerak dan sudah ada dalam kisah-kisah dan catatan lama sejarah Bangka. Organisasi sosial masyarakat lokal yang dekat dengan kekurangan, kemiskinan dan ketertindasan, dalam beberapa saat, mampu menggoyahkan tatanan kolonial yang sedang menguat. Ini adalah fakta sejarah yang berguna dalam merenovasi ingatan historis masyarakat dan merajut kesinambungan historis, khususnya dalam konteks pluralisme dan kebinekaan di Bangka. (***/Bersambung)

Kategori :