NARASI politik yang terbaik adalah narasi yang mendidik. Silahkan berpihak silahkan mendukung siapa, tapi gunakan narasi yang cerdas dan terukur, agar rakyat ikut simpati, bukan hanya kepada kandidat yang didukung, tapi juga kepada yang membangun narasi itu.
Kerap kali penulis kemukakan, silahkan junjung dan puji kandidat yang kamu dukung setinggi lagi, tapi tetap dengan tidak menghujat dan mencibiri kandidat lain.
Politikus ulung, adalah justru politikus yang ketika membangun narasi untuk mendukug seorang kandidat justru dengan memuji semuanya.
Mengapa justru harus membangun narasi politik ghibah, kalau memang narasi politik salam takzim dan pujian justru lebih indah dan mengena?
Narasi politik ghibah --membuka dan mengatakan aib orang lain/saudaranya-- sesungguhnya hanya membangun kebencian untuk diri sendiri. Bahkan, ghibah itu sama saja dengan 'memakan bangkai saudaranya'.
Sekali lagi, di era Medsos yang gila-gilaan sekarang ini, ketika kita berani membuat dan membicarakan aib orang ain, maka bersiaplah karena aib dan cela diri kita akan dibongkar orang juga.
Jangan merasa sempurna, karena itu hanya mahluk yang bernama Malaikat yang punya.
Marilah kita jujur dan mengakui, sesungguhnya makhluk Tuhan yang semestinya bisa menyatakan aib orang dan tidak takut dibalas dibuka juga aibnya hanyalah Malaikat.
Andaikan Malaikat hobi ghibah, lalu meng-ghibah manusia, mungkin kita juga takkan berani tampilkan muka?