Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
KEPITING tanpa capit tidak akan memiliki kekuatan sama sekali. Begitulah wajah pemimpin yang mengutamakan bawahan yang bersikap loyalitas tanpa integritas, sedikit demi sedikit akan menghilangkan capitnya. Sebab ia hanya mau dipuji, tak mau dikritik.
Ketika seorang pemimpin “ngoceh” bahwa hanya mencari anak buah yang berdasarkan loyalitas semata, sesungguhnya menunjukkan bahwa dirinya begitu lemah dan “mungil” sehingga membutuhkan kekuatan “Mak Erot”. Tahu kan, tugas Mak Erot? Tugas Mak Erot hanya satu, yaitu membesarkan sesuatu yang kecil. Artinya loyalitas Mak Erot adalah urusan membesarkan yang tidak besar. Seorang abdi negara sudah pasti wajib loyalitasnya pada negara. Oleh karenanya seorang pemimpin harus berteriak pada Integritas bukan pada sisi loyalitas. Mencari anak buah yang bisa dipercaya (loyal) dengan memiliki integritas. Nilai integritas jauh lebih tinggi dari sekedar loyalitas dan intelektualitas. Nggak tahu sih, kalau soal “isi tas”. Sebab “Loyal” dengan “Royal” hanya berbeda 1 huruf lho?! Ane no comment aje deh…
Jika diibarat “ketem” (Kepiting) untuk berjalan atau beraktivitas, seorang pemimpin itu membutuhkan setidaknya 2 capit dan kaki-kaki lainnya. Kekuatan kepiting akan jauh berkurang ketika 2 capit tersebut diikat atau dipatahkan alias dihilangkan. Pemimpin yang memiliki integritas akan sangat mudah mendapatkan loyalis-loyalis sejati. Tidak perlu dengan “ancaman”, perilaku “ngireng” dan sebutan-sebutan lainnya.
Pemimpin yang berintegritas seperti seekor kepiting yang akan menjaga yang sudah ada, terutama kedua capitnya. Kedua Capitnya adalah Wakil dan Sekretaris. Ini berlaku pada pimpinan komunitas, lembaga, organisasi, persyerikatan, kepala daerah, sampai pada Presiden. Ketika ketidakakuran ini nampak, maka sebetulnya sang pemimpin sungguh akan menjadi lemah. Kekuatan Soekarno yang dahsyat menjadi jauh berkurang dimata rakyat kala sang Wakil tercintanya, Moehammad Hatta mundur dari Kursi Presiden. Begitupula ketika Soeharto menjadi tersentak kaget ketika mengetahui para Menteri-nya banyak yang mengundurkan diri sebab reformasi. Diibaratkan Kepiting, Capit dan Kaki Tangan sudah mulai patah, maka tidak ada pilihan lain kecuali “mandeg pandhito”.
Mengapa demikian?
Semua kita pasti menyadari, bahwa Kepala tanpa keberadaan kaki dan tangan, akan hilang kekuatan yang sangat besar dari tubuh manusia, kecuali kepala Kuyang (hantu khas Kalimantan) atau Palasik (Hantu khas Sulawesi). Tanpa capit (sepet), seekor kepiting (ketem) tidak akan memiliki kekuatan, bahkan sama sekali tidak menakutkan untuk dipegang maupun ditimang-timang. Kaki tangan si A si B, begitulah sejak dulu orang menyebut seseorang yang memiliki kedekatan dan kekuatan terhadap seseorang lainnya. Oleh karenanya, loyalitas akan hadir pada sikap sang pemimpin yang berintegritas. Ketika hanya mencari loyalitas, maka integritas pasti terpinggirkan, sebab ia hanya melahirkan manusia-manusia “oke Boss” “Yess Boss”.
Apa itu Integritas? Pertanyaan itu pernah ditanyakan kepada saya. Mengenai hal ini, saya tidak pernah mencari tahu dengan membuka google atau referensi, tapi saya memaknai integritas adalah “kejujuran diri yang berbalut komitmen dan anda membuktikannya tanpa ada orang lain yang tahu, padahal anda punya kesempatan dan kekuasaan untuk tidak jujur dan mengkhianati komitmen tersebut”.
Misalnya, Anda stress kemana harus mencari uang, sebab lebaran tinggal 2 hari lagi. Isteri sudah minta uang untuk beli kue dan persiapan lebaran, anak belum dibelikan baju baru dan sebagainya. Disaat itu, di laci anda ada uang puluhan bahkan ratusan juta yang bukan milik anda dan anda bisa memanfaatkannya (memakainya) untuk sementara waktu.
Tapi, anda tidak mau menggunakan itu, sebab ia bagian dari korupsi, yakni penggunaan tanpa peruntukan yang benar atau peminjaman tanpa diketahui oleh orang lain. Misalnya lagi, Anda memiliki kekuasaan/kewenangan yang besar untuk melegalkan sesuatu yang bisa menghasilkan uang untuk pribadi, namun Anda tidak melakukan itu. atau Anda memiliki kekuasaan mengangkat atau menurunkan seseorang yang bisa anda “uang”-kan, namun Anda tidak melakukan itu sama sekali. Inilah yang dinamakan integritas.
Bagaimana mendapatkan integritas dalam diri? Selain pendidikan orangtua, lingkungan pergaulan, ia harus diperoleh dengan manajemen diri dan kedewasaan (kebijaksanaan) yang dilingkari oleh komitmen. Sangat mudah mendapatkan loyalitas, tapi begitu sulit untuk memiliki integritas, karena ia membutuhkan kepribadian yang benar-benar bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan Tuhan, yakni kejujuran.
Oleh karenanya, pemimpin yang hanya mengandalkan bawahan bersikap loyalitas, tanpa mementingkan integritas, maka ia akan sangat lemah. Ketika kepemimpinan itu ditinggalkan, maka tidak ada lagi loyalitas sejati, yang ada berganti “royalitas” alias “isi tas” sebab pemimpin sudah berganti. Pendidikan intgeritas jauh lebih penting dan akan bermanfaat jangka panjang ketimbang loyalitas.
Bagaimana cirri orang yang berintegritas? Selain dewasa dalam tutur dan gesture tubuh atau mimik wajah (Keringol: bahasa Bangka), bisa kita lihat saat ia dikritik, saat ia jatuh, saat ia jaya, saat ia memiliki segalanya. Adakah perubahan dalam dirinya? Sebab seringkali kita melihat seseorang begitu cepat berubah saat sebelum jadi apa-apa, tiba naik posisi jadi sesuatu. Berubah drastis gaya hidup kala miskin dan kaya raya. Berubah gaya tiba-tiba sebab diri jadi populer. “Keringol”nya begitu mudah berubah kala dikritik sebab selalu menerima pujian dan pujaan. Perubahan drastis inilah yang bisa kita lihat dari nilai integritas seseorang.
Saya pribadi seringkali mengungkapkan kepada kawan-kawan, mengkritik bukan berarti membenci, tapi justru bisa jadi sebaliknya. Begitupula para kritikus juga tidak boleh mengkritik karena didasari kebencian pribadi, sebab akan menjadi tidak realistis. Hal ini sering saya ungkapkan sebab kerapkali ditanyakan kala saya dianggap menulis kritis kepada pejabat A atau B.
“Kamu musuhan dan benci banget ya sama si pejabat A atau B?” begitu biasanya pertanyaan diberikan, yang membuat saya menghela nafas panjang. “Ngapain saya benci saya musuhi? Wong dia nggak ganggu anak isteri saya?, nggak ganggu rumah tangga saya, nggak meludahi wajah saya? kalau tidak mau dikritik ya jangan jadi pejabat. Masak saya mengkritik anak SD? Mengkritik kuli-kuli bangunan? Mengkritik Mak-Mak jualan di pasar? Mengkritik Mak-Mak yang berkeringat mencari nafkah di perkebunan milik perusahaan besar? Ya, pastinya mengkritik pengambil kebijakan dong! Wong mereka kita gaji dan fasilitasi!” begitu biasanya saya jawab bak Bung Karno lagi orasi!