Pangkak

Jumat 13-01-2023,07:00 WIB
Editor : Babelpos

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

HIDUP itu seperti bermain Latto-Latto, sengaja dibuat saling “bepangkak” agar menimbulkan suara keras dan asik menjadi sebuah permainan. Ataukah seperti bermain gasing, disaat berputar harus segera dipangkak agar “rumpis” dan berhenti berputar. Ataukah seperti “igik karet” yang selain dipangkak juga diinjak atau di karate?

Beberapa pekan ini, permainan Latto-Latto meramaikan kehidupan sosial masyarakat kita. mulai dari anak-anak, laki-laki maupun perempuan dan remaja hingga orangtua. Mulai dari rakyat jelata, setengah rakyat setengah pejabat hingga Presiden. Alhamdulillah saya belum pernah mencoba dan tidak menginginkannya untuk mencoba.

Perkenalan saya dengan Latto-Latto tidaklah baik, sebab tidur siang saya sangat terganggu. Anak laki-laki saya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD itu bermain latto-latto tidak jauh dari peraduan tempat saya memejamkan mata. “Kalau masih main itu disini, nanti telor-mu yang 2 biji itu saya jadikan latto-latto” ujar saya sambil menunjuk ke celananya, yang sukses membuat ia segera kabur menjauh. Isteri saya yang mendengar dan melihat kejadian tersebut spontan ngakak.

Begitulah kebiasaan saya bertutur atau bercakap dirumah, selalu harus membuat isteri ngakak, minimal tersenyum. Sebab saya menyadari betul dengan memiliki prinsip: “Kalaulah tidak mampu menyenangkan isteri dengan harta dan tahta, maka buatlah ia selalu tersenyum dan tertawa”. Makanya saya selalu menjadikan suasana di rumah itu penuh dengan canda, baik tingkah maupun ucap. Kadangkala saking parah dan canda yang berlebihan, pernah juga membuat isteri sampai “kesel” dan akhirnya malah menangis.

Soal kehidupan, tawa dan tangis bisa datang sekejap. Susah dan mudah bisa bersamaan. Bahagia dan derita pasti didapatkan. Untung dan rugi pasti jadi kenyataan. Pujian dan cacian bisa datang beriringan. Artinya, perbedaan dan bertolak belakang itu adalah kehidupan kita. Semua kembali pada rasa dan bagaimana mengolah rasa. Keberhasilan tidak harus jalan beriringin, kadangkala justru harus berbeda jalan. Keharmonisan tidak melulu diawali dengan kasih sayang, tapi kadangkala dengan benturan. Sebab, rindu tidak melulu karena cinta, tapi juga karena kesal dan amarah. Sebagaimana sex juga tidak semuanya karena cinta, sebab banyak juga hanya karena nafsu belaka. 

Perbedaan yang sangat bertolak belakang antara saya dan isteri justru yang menyatukan kami. Tidak hanya soal beda kelamin (itu pasti dan wajib), tapi kami berbeda suku dan budaya (Bangka dan Jawa). Perilaku kami pun jauh bertolak belakang. Misalnya, isteri saya sopan dan santun, saya urakan dan “dak inga”. Isteri formal banget, saya non formal banget. Isteri pandai mengatur waktu, saya malah sebaliknya. Isteri sangat mandiri, saya cenderung sangat manja. Isteri saya takut ke hutan, saya sangat menyukainya. Isteri cenderung pendiam banget, saya jutsru rame banget. Isteri penyayang, sabar dan lembut, saya temperament dan kasar. Isteri saya pembawaannya tenang, saya cenderung cereboh dan grusa-grusu. Isteri cenderung penakut, saya cenderung tidak ada rasa takut. Isteri sangat menjaga wibawanya, sedangkan saya sengaja kentut keras-keras kalau lagi bersama. 

Isteri cenderung menghindari masalah, saya sebaliknya, suka banget “nyari masalah”. Isteri suka pada hal yang pasti, saya sebaliknya suka yang misteri alias tidak ada kepastian. Isteri senangnya masak dan tidak hobi makan, saya malas dan tidak pernah bisa masak, tapi hobinya makan. Isteri benci dengan rokok, saya perokok berat. Saya cenderung pemaaf, isteri cenderung pendendam. Isteri tak suka politik, saya sangat menyukai hal yang berkaitan dengan politik. Isteri cenderung tidak suka membaca buku, saya punya ribuan buku dan perpustakaan pribadi. 

Itulah yang mendasari kami sepakat hidup bersama alias berrumah tangga, yakni karena banyaknya perbedaan namun tidak dibentur-benturkan alias di-“pangkak”. Hal ini terucap oleh saya ketika isteri menanyakan mengapa saya memilih dirinya. Persamaan dari kami berdua yang saya tahu adalah “berusaha untuk sama-sama membuat kebahagiaan dalam berbagai suasana dalam perbedaan yang selalu ada”. So sweet bukan?

Latto-Latto & Benturan Kehidupan Bernegara

LATTO-Latto adalah permainan yang sempat dimainkan anak-anak Indonesia era 90-an kembali viral dan dimainkan berbagai kalangan. Mainan bernama Latto-Latto merupakan pendulum dengan 2 buah bola pemberat yang terikat tali dengan cincin diatasnya. Mengutip dari informasi media sosial resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), kalimat “Latto-Latto” berasal dari Bugis.

Namun mainan yang sekarang sedang viral ini sudah ada sejak era 60-an di Eropa. Di negara-negara Eropa terkenal dengan berbagai sebutan, antara lain: Clacker Balls, Clackers,  Click-Clacks, Knockers, ke-benggers hingga Clankers. Sedangkan di Amerika Serikat, Latto-Latto disebut Newton’s Yo-Yo.

Permainan Latto-Latto berupa 2 buah bola yang diikat tali dan di “pangkak” (dibenturkan) sehingga menimbulkan suara. Selain Latto-Latto, di Kepulauan Bangka Belitung permainan sengaja di “pangkak” ini ada beberapa permainan tradisional, seperti “Pangkak Igik Karet” dan “Gasing”.

Namun salah satu perbedaan yang mencolok adalah permainan “Pangkak Igik Karet” dan “Gasing” tidak menimbulkan suara bising sebagaimana permainan Latto-Latto. Apakah viral-nya permainan Latto-Latto sekarang ini adalah cerminan sosial kehidupan kita bangsa Indonesia?

Perkembangan teknologi dan modernisasi yang kian berkembang membuat kebiasaan dan budaya baru ditengah kehidupan sosial masyarakat kita. Kesibukan masyarakat modern dalam mencari kehidupan, baik itu kekayaan, kejayaan (gengsi), popularitas, ketokohan, kemapanan dan sebagainya membuat kehidupan sosial menjadi begitu rapuh.

Kategori :

Terkait

Kamis 12-10-2023,20:57 WIB

Istana & Senayan

Jumat 14-07-2023,01:00 WIB

Keruas

Jumat 23-06-2023,01:00 WIB

Anak Gadis dan Anak Ayam