Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing: Perlukah Memilih?

Jumat 30-12-2022,12:47 WIB
Reporter : Rel
Editor : Admin

Penghalang ketiga adalah persepsi diri masyarakat yang merasa telah memiliki kompetensi bahasa Indonesia yang baik. Ada pandangan dalam masyarakat bahwa bahasa Indonesia tidak perlu terlalu serius dipelajari karena mereka merasa sudah kompeten dalam menggunakannya. Anggapan ini mungkin benar jika yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang tidak memperhatikan ejaan yang disempurnakan atau kaidah tata bahasa yang benar. Namun ragam bahasa Indonesia ini tentu tidak dapat digunakan dalam ruang lingkup formal pendidikan atau profesional, baik lisan maupun tulisan. 

Halangan keempat, menurut Effendi dan Mu’in, adalah kurangnya usaha pemerintah dalam bentuk penghargaan dan sanksi untuk mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Walau saya kurang setuju dengan penggunaan sanksi, saya mendukung pemerintah untuk mengadakan lebih banyak program demi mendorong peningkatan kompetensi bahasa Indonesia pada masyarakatnya. Program-program bahasa Indonesia yang berkelanjutan dapat menjadi sarana penting untuk meningkatkan identitas nasional di negara kita.

Halangan kelima adalah kenyataan bahwa masyarakat belakangan ini memiliki akses yang sangat luas terhadap berbagai macam informasi, mulai dari unggahan pribadi di media sosial, hingga aneka konten dengan bermacam genre. Sayangnya, tidak semua informasi tersebut dikemas dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Bahan tontonan atau bacaan semacam ini bukannya membantu pembacanya untuk semakin kompeten dalam berbahasa Indonesia, namun malah menjadi contoh yang tidak tepat dalam penggunaan bahasa. Bahkan, media-media berita juga terkadang mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan efektif.

Penghalang terakhir adalah kurangnya teladan berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi kawula muda di negara ini. Ada semakin banyak tokoh publik yang tidak terlalu memperhatikan penggunaan tata bahasa yang baik dalam pidatonya, begitu pula figur-figur penting dalam pendidikan generasi muda seperti guru dan dosen yang lebih memilih menggunakan bahasa daerah dalam situasi belajar mengajar. Hal ini membuat para pemuda Indonesia kesulitan mendapatkan suri tauladan dalam berbahasa Indonesia.

Sebuah penelitian dalam Journal of Science and Sustainable Development oleh Lucy Akello membuktikan bahwa kompetensi yang tinggi dalam tata bahasa ibu sangatlah membantu dalam mempelajari bahasa asing, terutama dalam mengasah kemampuan menulis dalam bahasa asing. Namun, karena bahasa Bangka adalah bahasa lisan yang tidak diajarkan di sekolah, penuturnya tidak mengadopsi tata bahasa yang sistematis, sehingga kemampuan berbahasa Bangka secara lisan ini tidak membantu dalam mempelajari bahasa asing, terutama dalam menulis. Di sinilah bahasa Indonesia berperan sebagai “bahasa ibu” dengan sistem tata bahasa yang jelas yang memudahkan penuturnya untuk mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris. 

Menguasai satu bahasa tidak boleh diterjemahkan sebagai izin untuk mengabaikan bahasa lainnya. Menguasai bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris harus dijadikan syarat  minimal dalam kompetensi berbahasa. Jadi, tidak perlu memilih salah satu di antaranya, karena semakin banyak bahasa yang dikuasai, semakin lebar pintu-pintu kesempatan terbuka untuk kita. Buang jauh-jauh sikap tidak menghargai bahasa Indonesia, karena bangsa yang tidak menghargai bahasa nasionalnya adalah bangsa yang tidak menghargai identitas dirinya. 

Di sisi lain, tetap gunakan bahasa daerah dan cegah kepunahannya demi cinta kita pada budaya lokal. Asah pula kemampuan berbahasa asing agar peluang terbuka lebar tidak hanya di dalam negeri, namun juga di kancah internasional. Mari dukung slogan pemerintah, “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing.” (**)

 

Kategori :