Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan
BERDASARKAN besluit Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 4 Februari 1851 Nomor 3 (ANRI: Bt.4 Februari 1851 Nomor 3), Depati Amir dihukum selamanya dibuang ke Kupang Keresidenan Timor dan di sana di bawah pengawasan polisi agar tidak dapat melarikan diri. Usia Amir saat diasingkan sekitar 53 Tahun.
Bersama Amir dalam besluit tersebut ikut dihukum yaitu ibunya Dakim, saudaranya Kapidin, istrinya Imoer, saudara perempuannya Ipa dan Sena, iparnya Dindip (Gindip), anak angkatnya Baidin, ibunya Kapidin bernama Lindam dan anaknya Lindam, bernama Djida, serta pembantunya Mia. Berdasarkan surat dari Residen Batavia tanggal 22 Januari 1851, Nomor 241, diberitahukan, bahwa telah datang di Batavia kapal Api Onrust dari Bangka, yang membawa Amir dan beberapa pengikutnya yang dihukum.
Selanjutnya berdasarkan surat dari Residen Batavia kepada Menteri Negara Gubernur Jenderal, Batavia, Tanggal 10 Maret 1851, Nomor 850, pada Lampiran 1 dinyatakan, bahwa kemarin (maksudnya tanggal 9 Maret 1851) Amir dan beberapa pengikutnya yang dihukum, dikirim dengan kapal api “Argo” ke Surabaya dan akhirnya dari sana dengan kapal api “Banda” dikirim ke keresidenan Timor.
Sedangkan saudaranya Amir, Kapidin, ibunya Kapidin, Lindam, anaknya Lindam, Djida sejauh ini belum dibawa dari Bangka (tidak dibawa ke Batavia maupun ke Kupang Keresidenan Timor, walaupun berdasarkan besluit pemerintah tanggal 4 Februari 1851 Nomor 3 turut dihukum bersama Amir.
Setelah melalui perjalanan panjang yang dramatis dalam posisi dikerangkeng dan dirantai, Amir tiba di pelabuhan Kupang. Kedatangan Depati Amir dan beberapa pengikutnya di pelabuhan Kupang yang terletak di muara Kalidendeng, dekat Benteng Concordia dengan kawalan ketat polisi dan pasukan Belanda. Depati Amir selanjutnya dibawa ke penjara Kupang yang berjarak sekitar satu kilometer dari pelabuhan Kupang. Depati Amir kemudian mendekam di penjara Kupang selama Tiga bulan.
Setelah Tiga bulan di penjara, Amir kemudian dipindahkan ke perkampungan muslim Airmata Kupang dan masih dalam pengawasan polisi (sesuai diktum Kelima Keputusan Pemerintah Tanggal 4 Februari 1851 Nomor 3, bahwa Residen Timor diperintahkan untuk memberi penginapan dan makan kepada Amir dan upaya untuk keluar dengan diantar, jadi terlihat lebih baik dari penduduk biasa).
Kampung Airmata atau Aer-Mata adalah salah satu dari 12 kampung yang termasuk ibukota Kupang berdasarkan Pasal 7 dari Reglement voor de Schuttery te Koepang yang mengatur syarat-syarat pengangkatan perwir. Pasal 33 (Stbl. 1877 No. 105) menyatakan kampung-kampung yang termasuk dalam wilayah ibukota Kupang yakni: Aer-Mata, Fontein, Bonik, Mardika, Obah, Kampong Solor, Namsain, Bakoelnassi, Passer Panjang, Polla, Konino, dan Nonhila. Penduduk kampung Airmata pada awalnya berdomisili di pesisir pantai Batubesi yang sekarang disebut daerah Oeba.
Karena Pemerintah Hindia Belanda menghendaki daerah strategis tersebut untuk dijadikan kawasan civic centre, maka penduduk kampung Batubesi yang kebanyakan muslim, kemudian pindah ke sisi utara Kalidendeng dan kemudian pindah lagi menyeberang dan menempati sisi Selatan Kalidendeng.
Kampung Airmata tempat pengasingan Amir adalah daerah yang tertutup atau terisolir sehingga mudah diawasi oleh polisi dan pasukan Belanda karena terletak di seberang Kalidendeng dan berhadapan dengan kawasan civic centre yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda (jarak antara kantor residen, rumah residen dan penjara sekitar 200 meter dari kampung Airmata).
Kampung Airmata juga diapit atau dibatasi oleh dua suku penyangga yaitu oleh suku Rote yang beragama Protestan yang sampai saat ini selalu disebut dengan pagar Termanu, karena penduduk suku Rote ini berasal dari salah satu kampung yang namanya Termanu di pulau Rote. Kemudian pada sisi yang lain kampung Airmata merupakan tempat tinggal suku Sabu yang berasal dari pulau Sabu dan sampai sekarang tempat itu dinamakan pagar Sabu (Mustafa, 2009).
Pembentukan daerah penyangga oleh pemerintah Hindia Belanda adalah dalam kerangka kebijakan buffer policy yang dikenal dengan sebutan pagar Termanu dan pagar Sabu. Kebijakan ini dilakukan setelah kekuasaan VOC di Kupang diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda. Faktor ketakutan Pemerintah Hindia Belanda atas ancaman pasukan Tupasses dan sekutunya di Noemuti dan Lifao tetap menghantui para petinggi pemerintah Hindia Belanda di pulau Timor.
Residen pertama Timor, J.A Hazaart dalam mengantisipasi ancaman Tupasses dan sekutunya melahirkan gagasan membentuk daerah penyangga dalam kerangka kebijakan buffer policy. Ide ini dilakukan dengan memindahkan secara paksa penduduk asal pulau Rote secara besar-besaran dan ditempatkan di sepanjang pantai utara teluk Kupang dan dataran Oesao.
Ide ini direalisasikan tahun 1816 dengan memindahkan penduduk asal Hoeledo Termanu yang kemudian diikuti dengan pemindahan penduduk Rote lainnya. Kebijakan ini melahirkan desa kembar yakni desa Kembar Atoni/Rote dan Helong Rote (Seran, 2006:75).
Kebijakan buffer policy rupanya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda bukan saja karena faktor ketakutan atas ancaman pasukan Tupasses dan sekutunya di Noemuti dan Lifao akan tetapi dilakukan juga karena ketakutan akan ancaman komunitas muslim yang ada di Kupang yang umumnya berasal dari tokoh-tokoh dari berbagai kerajaan tradisional di nusantara yang dibuang dan diasingkan di Kupang.