Asak Dak Beduit Ge Saro

Jumat 04-11-2022,07:33 WIB
Editor : Babelpos

Oleh: Ahamdi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

DARI zaman bahula hingga zaman medsos dengan berbagai fenomena, Duit (uang) pasti jadi perkara. Apalagi kalau sedang berperkara…

Ini zaman serba bayar bung! nggak ada makan siang gratis. Ada uang ada barang, ada uang ada fasilitas, ada uang ada penyelesaian, nggak ada uang selamat menderita. Masyarakat Pulau Bangka bilang: “asak dak beduit ge saro” (Kalau nggak punya uang pasti sengsara). Begitulah ungkapan yang sampai kini nampaknya belum berubah. Ternyata uang tetaplah menjadi perkara sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. 

Anda mau jadi apa? Dokter, artis, pengacara, hakim, pengusaha, wiraswasta, pejabat, PNS, bahkan di Jakarta, hanya untuk menjadi satpam, calo, tukang parkir, sopir angkot pun, pastinya semuanya berakhir dengan pertanyaan “punya duit berapa?”. Atau dalam istilah populer iklan di tivi dari salah satu produk rokok, “wani piro?”.

Tak jarang kita harus merogoh kocek dengan istilah “uang rokok”. Positifnya betapa “pemurah”-nya orang Indonesia. Pintu apapun di dunia ini kunci pembukanya adalah uang. bahkan pepatah lama orang Spanyol yang mengatakan: “uang membuka semua pintu”. 

“Nggak usah banyak bicara deh, kalo nggak ada duitnya” atau “nggak usah nyuruh-nyuruh deh kalo nggak ada duitnya” suka tak suka, setuju tak setuju, kalimat tersebut sudah sangat umum didengar oleh telinga kita, baik di tempat parkiran, terminal, jalanan, hingga di gedung-gedung mewah pemerintahan. Kalau dalam istilah obrolan orang Bangka “Jen banyek kenek mun dak beduit” (jangan banyak maunya kalau nggak ada uang).

Memang, di zaman yang serba bayar ini, bahkan untuk pipis (buang air kecil) pun harus membayar, sepertinya tak ada solusi lain untuk bikin hidup tenang kecuali dengan uang. Semuanya harus kembali ke UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Kiranya sudah saatnya kita menengok ke belakang sejarah masyarakat Indonesia (orangtua kita zaman dahulu) yang gemar bergotong royong, saling membantu bahu membahu sesama tanpa pamrih. Hati mereka menjadi puas dan lapang ketika bisa membantu tetangga, sahabat, kawan bahkan orang yang tak dikenal sekalipun yang membutuhkan pertolongan. Oleh karenanya mereka (orangtua kita) lebih mampu menikmati ketenangan bathin dalam keterbatasannya dibandingkan kita yang merasa hidup dalam era modern yang katanya serba ada ini. 

Masyarakat modern sepertinya dapat diterjemahkan sebagai masyarakat pasar, yang segala tindak tanduknya berangkat dari perhitungan untung rugi. Bahkan Michael Sandel seorang Professor dari Harvard University pernah mencemaskan hal ini dalam bukunya “What Money Can’t Buy: The Moral limits of Markets”. Michael Sandel mengkhawatirkan kalau ekonomi pasar yang sejatinya sebuah alat yang berguna dan efektif untuk mengatur aktivitas produksi telah teradopsi dan berubah wajah menjadi “masyarakat pasar” dimana relasi sosial dipengaruhi oleh nilai-nilai mekanisme pasar.

Uang (duit) memang bukan segalanya, tapi sekarang ini segala-galanya butuh uang. Nggak ada uang bukan hanya kening berkerut mengernyit, tapi segalanya menjadi sulit. Pragmatisme yang kian merebak dan mewabah yang membuat nilai-nilai luhur dan moralitas tergerus oleh arus kalkulasi sosok Jin dalam iklan produk rokok di tivi, yakni “wani piro”. Berani membela yang bayar, yang benar tak harus dibela. Wajar saja kalau dulu orangtua kita berpedoman “maju tak gentar membela yang benar” kini beralih rupa menjadi “maju tak gentar membela yang bayar”. 

Keris Empu Gandring pasti kalah sakti dengan benda yang bernama uang. Karena sakti mandragunanya uang, zaman sekarang orang tak perlu antri bisa dapat tiket bioskop. Tak perlu antri mengurus tetek bengek perijinan. Orang juga tak perlu repot antri di rumah sakit untuk pelayanan kesehatan. Bila sanggup membayar lebih, pasien bisa potong antrian. Tak perlu datang pertama untuk dapat pelayanan lebih cepat, karena yang dibutuhkan adalah seberapa tebal isi kocek Anda untuk dilayani lebih dulu. Di negeri ini, orang miskin dilarang sakit apalagi nonton bioskop, mengurus izin dan berperkara hukum.

Kesaktian uang sudah merambah kemana-mana dalam setiap denyut nadi kehidupan kita. Money politic, uang tempel, uang terima kasih, uang rokok, uang transport, uang bensin, uang akomodasi, uang tutup mulut, uang tutup mata, uang intertainment, uang makan siang, uang tanda tangan, uang lelah, uang pelicin, dan puluhan istilah lainnya. Saking seringnya ini terjadi, sudah dianggap biasa dan lumrah. Anehnya kalau tidak ada atau tidak melakukan itu malah dianggap aneh, pelit, picik, bodoh dan tersingkirkan. Akhirnya setiap ada hajat demokrasi, Pemilu dan Pemilukada, uang saweran berkeliaran dan berhamburan, berharap rakyat bisa digiring menentukan pilihan berdasarkan kemauan sang penyawer. Jadi Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Dirjen, Rektor, bahkan anggota DPR/DPRD pun butuh modal besar. Pada intinya berpolitik zaman sekarang hampir dipastikan mustahil kalau tanpa uang. So, setelah terpilih, jangan aneh kalau yang dibicarakan pun tak jauh-jauh soal uang. “persenan saya berapa?” atau “bagian kita gimana?” dan sebagainya.

Tak hanya di arena politik, kesaktian uang juga merambah di wilayah pendidikan, pelayanan pemerintahan, bahkan hukum. Kerapkali saya katakan bahwa dimana pun kita berada, selama masih tinggal di Indonesia, kita masih hidup di pasar, yakni ada tawar menawar. Setiap pojok kehidupan kita sudah seperti pasar yang berprinsip “ada uang ada barang ada barang ada harga”.  

 “Uang membuka semua pintu” termasuk pintu pelayanan di kantor-kantor pemerintahan, pintu pendidikan, pintu hukum, pintu rumah calon mertua. Gitu aja kok repot?! So, benar kan celotehan Urang Bangka: “asak de beduit ge saro!”

Salam Saro! (*)

Kategori :

Terkait

Kamis 12-10-2023,20:57 WIB

Istana & Senayan

Jumat 14-07-2023,01:00 WIB

Keruas

Jumat 23-06-2023,01:00 WIB

Anak Gadis dan Anak Ayam