Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
KEBERADAAN Lembaga Adat Negeri Serumpun Sebalai (LAM NSS) harusnya menjadi jalan raya, namun kalaulah tak mampu cukuplah menjadi jalan kecil yang menyejukkan guna menuju mata air budaya. Jangan justru menjadi semak belukar yang menghalang rintang.
Sebenarnya enggan banget menulis soal ini, sebab semua yang ada dalam Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai adalah para guru saya dan kawan-kawan.
Begitupula dengan Dato’ Sardi adalah kawan lama yang kini selaku Datuk-nya Setana Jerieng yang dijadikan polemik. Keengganan saya itu akhirnya “terpaksa” saya tulis via WA dan saya kirim ke beberapa kawan.
Hal ini dimulai dari beberapa kawan bahkan orangtua yang peduli adat dan budaya sempat meminta pendapat saya, bahkan 2 hari lalu Dato’ H. Ramli Sutanegara memanggil saya ke kediamannya khusus membicarakan polemik ini.
Entah sebagai apa sehingga saya diminati pendapat, padahal kenyataannya saya tidak pernah ada dalam kepengurusan lembaga mana pun di dunia ini, jangankan Lembaga Adat, organisasi dan komunitas pun saya hindari untuk menjadi pengurus. Jangankan jadi pengurus, jadi Panitia sebuah kegiatan pun saya tak berminat.
So, beberapa tahun silam, Ketika Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM), guru saya Prof. Bustami Rahman sebanyak 2 kali meminta kesediaan saya untuk menjadi Pengurus Lembaga Adat Melayu, saya menolak sebab saya merasa pribadi saya belum mampu, baik secara lisan maupun pergaulan, belum beradat dan belum berbudaya. saya masih senang dengan kehidupan saya saat ini, tak mau diatur sana sini.
Itu alasan saya kemukan sejujurnya. Saya hanya tukang merhatiin budaya dan sosial, itu pun sambil begagil alias bercanda alias jauh dari keseriusan, termasuk sebetulnya menulis ini.
Polemik anugerah gelar ini dan itu di Negeri Serumpun Sebalai ini sebetulnya bukanlah hal baru. Bahkan banyak orang-orang yang jauh dari adat dan budaya pun mendapat gelar ini dan itu. Kesimpangsiuran dan ketidakberaturan inilah salah satu yang melandasi berdiri Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai (LAM NSS).
Kebetulan saya “ndilalah” dulunya diundang dalam rapat pembentukan LAM NSS di Kantor Gubernur Kep. Bangka Belitung beberapa tahun silam. Hampir 1 periode keberadaan LAM NSS nampaknya belum banyak yang diperbuat, termasuk kita belum melihat AD/ART serta hal-hal urgent yang harus dipersiapkan demi keberlangsungan sebuah Lembaga Adat yang teratur agar tak simpang siur.
Kita juga belum melihat sejauh mana kiprah LAM NSS di tengah masyarakat Melayu di Pedesaan dengan misalnya mendirikan Balai Adat secara gotong royong bersama masyarakat, mengokohkan kembali musyawarah adat serta hal-hal lain diluar kepemerintahan.
Padahal jika diseriusi dan langsung kerja, keberadaan LAM NSS ini sangatlah membantu, terutama Kamtibmas (Keamanan dan ketertiban Masyarakat) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Polemik penganugerahan gelar serta keberadaan Setana Jerieng yang memang sangat aktif baik di tingat lokal maupun nasional, sepertinya dalam pengamatan saya cukup membuat “gerah” para petinggi LAM NSS.
Menurut saya, justru hal seperti ini justru diberdayakan oleh LAM NSS, bahkan jangankan Setana Jerieng-nya Dato’ Sardi, bahkan balai-balai Adat diperkampungan Melayu kedepannya harus dikokohkan.
Balai adat bukan berarti “kerajaan” atau “kesultanan” lho ya, tapi adalah balai musyawarah bagi masyarakat dengan adat dan budaya setempat.