PENYIDIK Bareskrim Polri menduga Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak terbuka dalam penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) dari Boeing kepada 68 ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610.
Dana CSR ini seharusnya bernilai Rp 2 miliar untuk setiap korban, atau total seluruhnya Rp 138 miliar.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, ACT diduga tidak transparan dalam realisasi dari uang CSR tersebut. Uang tersebut diduga tidak dipakai sebagaimana peruntukannya.
“Yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana CSR yang diterimanya dari pihak Boeing ke ahli waris korban, termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola oleh yayasan ACT,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (11/7).
Seperti diketahui, tragedi jatuhnya pesawat Lion Air Boing JT-610 rute Jakarta-Pangkalpinang terjadi Oktober 2018. Luka itu akhirnya kembali mencuat, karena munculnya dugaan penyelewengan dana yang dilakukan oleh Yayasan Filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Pihak Boeing mengeluarkan dana sosial atau CSR kepada para korban sebesar Rp 138 Miliar dan dana tersebut dikelola oleh ACT.
"Dalam aktivitasnya Yayasan ACT juga menyalurkan dana sosial kemanusiaan berupa dana sosial dari beberapa perusahaan atau lembaga, dimana salah satunya penyaluran dana sosial kepada ahli waris dari korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT-610. Total dana sosial sebesar Rp 138 miliar," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, Sabtu (9/7/2022).
“Diduga pihak yayasan ACT tidak merealisasikan seluruh dana CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua pengurus, pembina serta staf pada yayasan ACT,” imbuhnya.
Selain itu, uang juga diduga dipakai untuk kepentingan pribadi petinggi ACT. “Digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan atau kepentingan pribadi ketua pengurs atau Presiden saudara A dan Wakil Ketua Pengurus atau Vice President saudara IK,” pungkas Ramadhan.
Sebelumnya, muncul dugaan penyelewengan dana oleh ACT. Dalam laporan yang diterbitkan majalah nasional, menyebutkan jika pendiri ACT, Ahyudin mendapat gaji sampai dengan rp 250 juta per bulan.
Selain itu, Ahyudin juga mendapat fasilitas operasional berupa 1 unit Toyota Alphard, Mitsubishi Pajero, dan Honda C-RV.
Sedangkan untuk jabatan di bawah Ahyudin juga mendapat gaji yang fasilitas yang tak kalah mewah. Para petinggi ACT juga disebut-sebut mendulang cuan dari anak perusahaan ACT.
Uang miliaran rupiah diduga mengalir ke keluarga Ahyudin untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian rumah, pembelian perabot rumah.
Selain itu, Ahyudin bersama istri dan anaknya juga disebut mendapat gaji dari anak perusahaan ACT. Kondisi ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Dugaan penyelewengan dana juga dilaporkan terjadi di luar Jakarta. Misalnya, dugaan penggelapan lumbung ternak wakaf di Blora, Jawa Tengah.