TKD ANJLOK DAN SKEMA TATA KELOLA PAD DI DAERAH

TKD ANJLOK DAN SKEMA TATA KELOLA PAD DI DAERAH

Riswardi --Foto: ist

Oleh Riswardi, M. Pd.

Kabag Persidangan Perundangan Sekretariat DPRD Babel

___________________________________________

Belum juga sirna dalam diskursus masyarakat Babel di berbagai level, baik birokrasi, organisasi kemasyarakatan, akademisi, hingga masyarakat awam yang saat ini masih larut dalam persoalan terkait anjloknya Transfer Ke Daerah atau yang lebih keren disebut TKD ke daerah. Istilah TKD sendiri pertama kali diperkenalkan tahun 2022 setelah disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah atau HKPD. Adapun  sebelum tahun 2022, dana yang dialokasikan dari APBN ke daerah dan desa dikenal dengan istilah Transfer Ke Daerah dan Dana Desa atau TKDD. Mulai tahun 2022 UU HKPD mengganti sebutan TKDD menjadi TKDyang mencakup berbagai jenis alokasi dana darim pusat ke daerah untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Adapun realisasi penyaluran TKD pertama kalinya dimulai awal Januari 2024 sebagai konsekuensi atas implementasi UU HKPD di atas.

Masih belum dinginnya sorotan atas turunnya TKD 2025 ke daerah, publik kembali terkaget-kaget dengan pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut 15 Pemda dengan simpanan tertinggi berdasarkan data Kementerian Keuangan, dimana Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada di urutan ke 13 dengan dana simpanan sebesar 2,1 Triliun, jumlah yang sangat besar dan sangat berarti bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang saat ini sedang tidak baik-baik saja kondisi keuangannya. Belakangan sudah diklarifikasi oleh para pengambil kebijakan di Babel bahwa data tersebut tidak benar dan penyebabnya masalah teknis.

Terlepas dari polemik TKD anjlok dan dana parkir 2,1 T ini, tentu saja fokus yang harus dikelola oleh seluruh jajaran pemerintah daerah di Babel, baik pemprov maupun pemerintah kabupaten dan kota adalah bagaimana menyiasati fakta turunnya AKD ini agar tata kelola keuangan di daerah tetap stabil dan tidak terlalu berdampak buruk terhadap kualitas dan kuantitas pembangunan yang nota bene untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Saat menjadi satu-satunya peserta yang mewakili Pemprov Kepulauan Bangka Belitung di ajang Rapat Koordinasi Nasional Produk Hukum Daerah di Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 27—30 Agustus 2025 yang sejatinya dihadiri Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ketua DPRD Babel, Ketua Bapemperda Babel yang berhalangan hadir karena waktunya bertepatan dengan pelaksanaan Pemilukada Ulang di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, penulis menyimak secara langsung arahan Mendagri Tito Karnavian terkait turunnya TKD ke daerah di tahun 2026. Bahkan dalam salah satu forum nonformal bersama Dirjen Otda Prof Akmal Malik bersama jajaran Pengurus Asosiasi  DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia, penulis mengikuti diskusi yang berlangsung 1 jam lebih dan menghasilkan rekomendasi untuk menyikapi rencana turunnya alokasi TKD dimaksud, yakni penyelesaian secara politis, yakni melalui pimpinan-pimpinan partai untuk melobi eksekutif agar meninjau ulang atau menunda  kebijakan turunnya TKD tersebut. Namun, seiring waktu tampaknya tidak ada satu kekuatan apa pun yang mampu meredam lajunya kebijakan penurunan TKD ke daerah dan terjadilah kondisi sekarang.

Apa pun yang sudah diputuskan pemerintah pusat sudah barang tentu sudah diperhitungkan dengan matang dari berbagai aspeknya. Sekarang bolanya ada di jajaran pemerintah daerah, baik jajaran eksekutif (Gubernur, Bupati, Walikota) maupun jajaran legislatif (DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota) apakah bola ini mau digiring bersama atau saling meng-over alias saling lempar bola. Tentunya solusi adalah duduk barengnya antara eksekutif dan legislatif di daerah untuk mencari solusi penanganan terbaik agar di balik turunnya TKD ini, pembangunan di daerah tetap berjalan tanpa mengorbankan kualitas dan kuantitas pelayanan publik tentunya.

BACA JUGA:ISLAH (POLITIK) PPP

BACA JUGA:Mimpi Hijau Anak Negeri Timah

Skema Klasik Tata Kelola PAD

Item utama yang mencuat di tengah turunnya TKD adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tidaklah berlebihan disimpulkan di awal bahwa indikator keberhasilan daerah dalam membangun di era otonomi daerah saat ini adalah pencapain PAD. Tematik ini kemudian memunculkan prevalensi lanjutan yakni adanya penyebutan istilah Pemda yang kaya karena PAD-nya tinggi seperti DKJ Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan beberapa Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia, serta istilah pemda miskin yang lebih mengandalkan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari Pemerintah Pusat. 

Adapun skema klasik kedua yang hingga kini masih terjadi di daerah adalah adanya beban tanggung jawab untuk mengejar pemasukan PAD kepada organisasi perangkat daera (OPD) bernama Badan atau Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah yang lazim disebut Bakuda atau Dispenda. 

Skema klasik terakhir adalah pola Struktur Organisasi Tata Kelola (SOTK) organsasi di daerah yang cenderung meng-copy paste SOTK di Pusat sehingga pemda terkesan menyamakan besaran dan jumlah OPD dengan besaran dan jumlah Kementerian di Pusat, padahal sejatinya yang menjadi subjek hukumnya adalah urusannya, yakni urusan wajib dan urusan konkuren dan bukannya lembaganya. Artinya dan semestinya, pemerintah daerah tidak wajib untuk membentuk OPD sama persis dengan jumlah kementerian di Pusat dan urusan-urusan di Pusat bisa diintegrasikan dalam urusan sub-subbagian di OPD yang dibentuk di daerah. Akibat skema klasik terakhir inilah, maka terjadi biaya birokrasi yang boros karena APBD terpaksa dikeluarkan untuk membayar kebutuhan-kebutuhan yang kurang urgen dan bisa dihemat bahkan dieliminasi seperti biaya runtin untuk membayar tagihan listrik, jaringan internet, PAM, dan kebutuhan-kebutuhan komplementer seperti ATK, dan jasa-jasa lainnya.

Skema Alternatif Solutif Tata Kelola PAD

Ada empat alternatif untuk menatakelola keuangan daerah yang diindikasikan dengan progress peningkatan PAD yang dapat dilakukan di daerah untuk menyikapi anjloknya TKD ke pemeritah provinsi, kabupaten, dan kota. Tentu saja paradigma wajib yang harus disepakati pihak eksekutif dan legislatif adalah EA atau efisiensi anggaran dan TP atau Tingkatkan Pendapatan. EA dan TP ini wajib seiring sejalan agar hasilnya efektif. Adapun skema pertama adalah penyederhanaan SOTK, yakni dengan merampingkan OPD sesuai postur APBD. Konkretnya adalah adanya Perda Perampingan OPD. OPD-OPD yang tadinya gemuk dan terkesan hanya melaksanakan tupoksi rutin, bukan urusan wajib dan bersifat menunjang ada baiknya dihilangkan dan tupoksinya dimasukkan ke OPD baru hasil penggabungan agar terjadi efisiensi anggaran dan efisiensi SDM. Semakin sedikit jabatan maka akan semakin sedikit anggaran yang dikeluarkan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: