Tokoh-Tokoh Itu…
Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
KETIKA petani menjerit kala harga pupuk naik ke langit tinggi sehingga tak mampu dibeli, harga jual produksi terjun ke bumi, listrik sering padam setiap hari, anak-anak di pelosok tidak meraih pendidikan lagi, balita-balita kurang gizi, kemana suara tokoh-tokoh itu? berisik sih boleh, tapi berisi dong…
---------------
AKHIR-AKHIR ini, dari pundok kebun tepi sungai yang tak jauh dari kampung kelahiran saya, Kemuja, saya tetap mengikuti perkembangan riuh politik menjelang Pemilu 2024 kian pikuk dan ternyata semakin membuat saya tenang ditengah sunyi menepi di belantara. Ditahun-tahun seperti ini, memang bisa dipastikan bakal bermunculan tokoh-tokoh baru nongol dan langsung menjadikan diri dalam pemberitaan sebagai tokoh ini dan tokoh itu. apalagi media online yang kian bertebar, begitu mudah mengangkat dan melempar seeorang menjadi tokoh ini dan tokoh itu.
Salah satu alasan mengapa saya menepi meraih sunyi di pundok kebun tepi sungai selama kurang lebih 4 bulan ini adalah menghindari dari “ketokohan” tersebut, sebab sejak lahir sampai hari ini saya bukanlah tokoh apapun di negeri ini dan semoga tidak pernah sebab tak perlu menjadi tokoh untuk bersuara maupun berbuat. Bicara soal riuh tokoh dan ketokohan, saya teringat kata-kata budayawan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib): “Di zaman sekarang ini banyak tokoh, tapi nyuwun sewu, akhlak mereka tidak ada yang bisa diteladani”.
Pun demikian, tokoh-tokoh lama maupun yang ‘nempel” menjadi tokoh agar dianggap tokoh sebab masa muda tidak jadi tokoh, kembali bersuara lantang dan berusaha merapatkan barisan sebab ada kepentingan baik itu kelompok maupun perseorangan. Saat disambangi Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Fadillah Sabri, ke pundok kebun, saya ungkapkan bahwa keadaan hiruk pikuk saat ini saya nilainy adalah: “Berisik iya, berisi nggak”. Namun diamnya saya akibat tidak turut campur berbicara, menulis maupun berkomentar ternyata sempat dituduh: “orangnya ini, pro itu, sudah dibayar, sudah cair, sudah dapat” dan sebagainya. padahal saya sedang puasa, yakni mempuasakan diri dari riuh politik praktis karena kepentingan ini kepentingan itu serta sedang ingin menikmati kesunyian kebun ditepi sungai. Tapi sudahlah, tuduhan itu nggak usah dijawab, asyiknya ditertawakan saja sambil menikmati rebus ubi cecel belacin.
Tokoh DAMSIK
SUATU hari ada yang bertanya kepada saya: “Siapa tokoh itu?” saya menjawab dengan pengetahuan minimalis saya, bukan dari teori ini teori itu apalagi mbah Google. “Tokoh itu adalah orang yang didatangi banyak orang karena keteladannnya, inspirasinya, kemampuannya, kecerdasannya dan memiliki prinsip kedamaian alias merangkul semua.”. Kembali saya jelaskan bahwa seseorang yang masih memasang mukanya sepanjang jalan di baliho besar, itu bukan tokoh, tapi sedang menokohkan diri atau disebut tokoh baliho. Seseorang orang yang tidak pernah didatangi oleh orang-orang berpengaruh di wilayahnya, berarti dia bukan tokoh. sebenarnya sangat gampang untuk melihat seseorang itu apakah tokoh atau menokohkan diri, yakni cukup dilihat data di Kepolisian, Korem atau BIN. Pernah nggak mereka diundang saat pertemuan dengan Kapolda atau Danrem yang baru datang tugas ke wilayah tersebut. Atau ada nggak nama mereka di BIN (Badan Intelejen Indonesia) atau Intelejen Daerah yang menyatakan bahwa mereka adalah orang yang berpengaruh? Kalau nggak ada, segera pasang baliho dengan wajah Anda sebesar mungkin agar Anda dikenal dan setidaknya menjadi Tokoh Baliho.
Seorang tokoh itu ada masanya dan setiap masa ada tokohnya. Jangan pernah memaksakan diri atau ingin bangkit kembali agar tetap menjadi tokoh apalagi menokohkan diri. Biarlah masyarakat luas menilai apakah kita layak disebut tokoh atau tidak, walaupun ketokohan itu sebetulnya sangatlah TIDAK PENTING. Kembali saya jelaskan kepada kawan yang bertanya bahwa tokoh sejati itu jangankan masih hidup, sudah mati pun ia masih disebut keteladannnya, karyanya, prestasinya, kepemimpinannya, maupun akhlaknya, lantas kuburnya diziarahi. Selama masih hidup, seseorang masih belum bisa disebut tokoh sejati, kecuali ia sudah mati dan lihatlah bagaimana generasi setelahnya menilai.
Beberapa menit sebelum menulis ini di Pundok Kebun tepi sungai, sekitar 30-an kawan datang menyambangi saya guna bercerita dan bercanda ria di Pundok kayu berlantai papan, antara lain: Hidayat Arsani (Mantan Wakil Gubernur), Muhammad Sopian (Wakil Walikota Pangkalpinang), Rina Tarol (Mantan Anggota DPRD Provinsi Kep. Babel) dan masih banyak lagi yang lain. Hidayat Arsani yang biasa disapa masyarakat “Panglima” menyentil sebuah kalimat yang menurut saya menarik untuk menjadi inspirasi tulisan ini, yaitu DAMSIK (meredam jangan berisik).
Kalimat DAMSIK ini nampaknya sangat relevan untuk kita padukan pada keriuhan politik di Bangka Belitung khususnya dan di Indonesia umumnya. Situasi dan kondisi keriuhan hari ini, kita sangat membutuhkan keteladanan seseorang atau beberapa orang yang menjadi tokoh yang mampu meredam dan tidak berisik. Berbagai persoalan sosial, budaya, politik, keamanan, perseteruan, konflik, ekonomi, sang tokoh itu muncul sebagai air ditengah gurun pasir. Kalimatnya menyejukkan (bukan seperti saya yang memprovokasi atau keras), tangannya merangkul, kata-katanya menyentuh hati, matanya sejuk memandang dan penuh cinta kasih, keikhlasannya nampak sekali, jauh dari kepentingan pribadi atau kelompok, tapi tidak merasa diri berpengaruh apalagi menokohkan diri. Kira kira masih adakah orang seperti ini di negeri ini? Saya ingin mencium tangannya sebab inilah tokoh yang sangat kita rindukan.
Tokoh DAMSIK (meredam tidak berisik) bagi saya adalah tokoh yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya, sudah beres kehidupan duniawinya, tidak ada ingin menjadi ini dan itu, apalagi sekedar mencari nama, tidak juga soal ekonomi, apalagi soal unjuk gigi. Tapi juga jangan jadi tokoh damsik yang satunya, yakni “dendam lantas mengusik”. Nah, siapa itu? mau tahu aja apa mau tahu banget?? Beritahu nggak ya?!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: