BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Dua)

  BENTENG PENUTUK  DI PULAU LEPAR   (Bagian Dua)

--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

SULTAN Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin kemudian mengirimkan beberapa orang kerabat dekatnya yaitu Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah untuk mengamankan pangkal Toboali beserta perairannya di wilayah bagian Selatan pulau Bangka dari keganasan bajak laut (Belanda:zeerovers). 

-------------------

RADEN Keling kemudian menetap di pangkal Toboali sebagai kepala pemerintahan dan kepala rakyat di  pangkal Toboali dan puteranya Raden Ali menjadi kepala rakyat di Pulau Lepar atas nama Pangeran Adiwijaya. Sebagaimana penjelasan F. S. A. De Clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895 halaman 148-149: “Het duurde evenwel niet lang, of de Lanoen's kwamen in groot aantal terug om Bangka te bemachtigen. Zij verzamelden zich te Lepar en Billiton en overvielen van daaruit de mijnwerkers te Toboali en Koba, welken zij veel overlast veroorzaakten. De Soehoenan zond toen een Pangeran, met name Adi Widjaja , met vele prauwen naar de genoemde eilanden, om aldaar den arbeid in de mijnen te beschermen, en deze stelde tevens in al de mijndistricten Palembangsche mantri's aan, behalve in het district Muntok, vanaf de rivier Kampa tot aan Tempilang”. Maksudnya adalah : “ Namun, tak lama kemudian para Lanoon kembali dalam jumlah besar untuk mendapatkan Bangka. Mereka berkumpul di Lepar dan Billiton dan dari sana menyerang para penambang di Toboali dan Koba, menimbulkan banyak masalah bagi mereka. Sang Soehoenan kemudian mengutus seorang Pangeran bernama Adi Widjaja dengan banyak kano/ kapal ke pulau-pulau tersebut untuk melindungi pekerja di tambang-tambang di sana, dan Dia juga mengangkat Mantri dari Palembang di semua distrik pertambangan, kecuali di distrik Muntok, dari sungai Kampa ke Tempilang”.

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Satu)

Untuk mengamankan wilayah dari serangan Bajak Laut, maka dibangunlah benteng benteng tanah dan dengan pengaman pagar kayu serta meriam. Pembangunan benteng dilaksanakan pada lokasi lokasi yang strategis di Pulau Bangka. “Maka tempoh ini baginda susuhunan memerintahkan membuat kota benteng tanah atau kayu di pangkal-pangkal tanah Bangka” …. (Wieringa, 1990:111). Tidaklah mengherankan jika saat ini kita masih menjumpai keberadaan benteng-benteng terbuat dari tanah dengan memanfaatkan kondisi topografi wilayah perbukitan dan berada dekat tanjung atau teluk di pesisir pantai yang strategis dan terlindung oleh bebatuan karang yang curam dan terjal sehingga sulit untuk dijangkau, sementara sebagian meriam yang ada di benteng biasanya diletakkan pada bastion atau serleka benteng sebagai bagian dari sistem persenjataan, ada yang masih tersisa dan dapat dilihat keberadaannya dan kebanyakan telah hilang atau dipindahkan lokasinya ke tempat lain, kemudian pengaman pagar kayu pada benteng juga sudah musnah atau sudah hancur dimakan usia. Beberapa benteng tanah tersebut masih kita jumpai misalnya di benteng Kota Seribu Mentok, benteng Tanah di Kotawaringin, benteng Tanah di Toboali dan benteng Penutuk di Pulau Lepar yang terletak di Bukit Penyengat.

BACA JUGA:Sejarah Perkembangan Agama Protestan di Pulau Bangka

Benteng di Bukit Penyengat, Kampung Penutuk, Pulau Lepar menjadi benteng yang legendaris di masyarakat karena benteng berada di perbukitan yang curam dan terjal menghadap ke Selat Lepar dan benteng dipersenjatai dengan Tiga meriam yaitu Si Kumbang, Si Perling dan Si Penyengat. Benteng dan meriam dibangun dan dibuat sebagai pertahanan bagi Pulau Lepar terutama dari serangan bajak laut. Salah seorang ahli dalam pembuatan meriam adalah Raden Keling yang menjadi kepala pemerintahan di Toboali. Sementara itu Raden Ali Putera Raden Keling menjadi Kepala di pulau Lepar. Raden Keling atau sering disebut Raden Muhammad Keling bin Raden Prabu Jaya bin Pangeran Adipati Peninjauan bin Sultan Muhammad Mansur adalah seseorang yang ahli (kepandean) dalam membuat meriam dengan hasil berupa meriam yang berkualitas baik. Buktinya namanya ditoreh pada meriam yang ditemukan di Thailand yang jauh dari Palembang Darussalam bertarikh 1225 H atau 1811 Masehi {alamat Raden Keling ibnu Raden Prabu Jaya fi Baladi Palembang Darussalam sanad 1225 (1811)}. Meriam dan pelurunya dibuat dengan Besi berkualitas yang diperoleh dari daerah Paku di pulau Bangka dan Besi dari pulau Belitung. 

BACA JUGA: SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA PROTESTAN DI PULAU BANGKA (Bagian Dua)

Para pangeran dari Palembang, Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah yang merupakan kerabat dekat sultan, tidak hanya diutus ke wilayah Bangka Selatan untuk mengatasi serangan bajak laut dan menjadi kepala-kepala rakyat di Bangka Selatan akan tetapi, mereka juga berperan dalam mempertahankan wilayah Bangka Selatan dari kekuasaan Inggris. Walaupun pada Tanggal 27 April 1812 telah ditandatangani perjanjian antara Jenderal Robert Rollo Gillespie dengan Ahmad Najamuddin (Pangeran Dipati) yang isinya antara lain, bahwa pulau Bangka dan pulau Belitung menjadi milik Inggris sebagai ganti 24 orang Belanda yang dibunuh, kemudian perjanjian tentang pengaturan eksploitasi terhadap penambangan Timah di pulau Bangka dan pulau Belitung yang akan dilakukan oleh wakil dari Inggris yang berkedudukan di Palembang (Elvian, 2012:63), serta sebagian daerah di pulau Bangka dan pulau Belitung telah berhasil ditundukkan, namun Inggris belum dapat menguasai sepenuhnya Kota Waringin (Kota Beringin), Bangka Kota, Toboali, Lepar, dan Belitung. Hal ini karena pangeran-pangeran Palembang masih bercokol di daerah-daerah tersebut (Wieringa, 1990:12).

BACA JUGA:Sejarah Perkembangan Agama Katolik di Pulau Bangka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: