Gayung Bersambut

Gayung Bersambut

--

oleh Kristia Ningsih

Pemerhati Bahasa, Penerjemahan dan Kesastraan

 

Ada sebuah rumah produksi tahu. Letaknya tidak di pinggir jalan. Rumah itu dibelakangi oleh dua rumah tetangganya. Suatu malam, datanglah seorang pembeli. Setelah selesai bertransaksi, sang produsen berujar, “Bisa lewat sini juga pulangnya.” Ia menunjuk jalan setapak yang gelap. Sang pembeli menolaknya dengan halus. Ia memilih melewati halaman tetangga sang produsen tahu. Ada penerangan di sana sehingga lebih nyaman dan aman.

 

Pada malam yang berbeda, pembeli tadi kembali melewati rute yang sama.  Selesai melayani, sambil menunjuk jalan yang gelap, kembali sang produsen berkata, “Bisa lewat sini juga pulangnya.”

 

Beralih pada situasi yang berbeda. Ada seorang laki-laki paruh baya. Ia hidup di perantauan. Kali itu ia sedang pulang kampung. Saling melepas rindu dengan keluarganya, mereka bercerita. Ia memandang sekeliling rumah saudaranya. Terhenti matanya pada suatu benda. Ia tampak tertarik pada benda tersebut. Waktu berlalu. Ia pun kembali pulang.

 

Pada minggu yang sama, putrinya yang sedang di luar pulau pun mengunjungi keluarga itu.  Tiba-tiba, sang bibi memindahtangankan sebuah tas. Tas itu terbuat dari rotan. Kain satin coklat melapisi dalamnya. Ada hiasan dari rajutan benang. Tas itu dapat dipakai untuk membawa belanjaan pasar. Bibinya berkata, “Kalau nanti pulang, bawa tas ini ya. Bapakmu bilang bagus.”

 

Pada situasi pertama, kira-kira apakah alasan sang produsen tahu mengulang sarannya? Pertama-tama, membeli tahu memang durasinya tidak lama. Pembeli pun hanya menunggu di luar rumah. Hal ini tetap tergolong sebagai berkunjung ke rumah orang lain.

 

Kaidah berikut patut dicermati. “Perhatikan adab ini ketika bertamu! Jika salah seorang di antara kalian masuk ke sebuah rumah (bertamu), di mana saja pemilik rumah memilihkan tempat untuk duduk, hendaklah ia duduk (di tempat tersebut). Sebab, mereka lebih mengetahui aurat rumahnya.” (Mushaf Ibnu Abi Syaibah, No. 25593 dari Facebook Shahihfiqih).

 

Dalam kutipan, pemilik rumah memilihkan tempat duduk kepada tamunya sedangkan produsen tahu menunjukan jalan pulang kepada tamunya. Dua kali hal ini disebutkan. Jelas ada penekanan makna. Ada yang penting.

 

"Ia lebih mengetahui aurat rumahnya." Ia tak mau pelanggannya melewati halaman tetangganya. Tidak semestinya halaman itu dijadikan jalan karena itu tanah pribadi. Kalau sebaliknya tidak mengapa, pelanggan tahu pamit terlebih dahulu? Apalagi jika harus menuju halaman belakang rumah mereka.

 

Bayangkan sudah berapa pembeli yang nyelonong di halaman rumah tetangganya. Bila saat itu kira-kira pukul tujuh malam. Di halaman sempit, volume suara motor yang kecil sekalipun dapat sangat mengganggu. Terlebih bila ada yang sakit atau bayi di rumah tersebut. Hak mereka untuk tidak diganggu.

 

Secara tidak langsung, ia menjadi penyebab ketidaksantunan tersebut karena membeli tahu padanya, tetangganya terganggu. Hal ini tidak mengenakkan. Bahkan, wajar bila tetangganya menyampaikan keluhan atas ketidaknyamanan.  Sang produsen tahu pun hanya bisa mengulangi saran pemilihan jalan alternatif pada pelanggannya. Betapa dalam arti penekanan makna itu.

 

Berbeda pada situasi kedua. Seorang perempuan tahu saudaranya tertarik pada sebuah benda di rumahnya. Meski tak dikatakan, ia peka. Ia kenal bahasa hati saudaranya. Ia menerkanya hanya dengan  mendengar, “Apik yo tas e.” (Bagus ya tasnya).  Sehingga menghadiahkan tas tersebut pada saudaranya bukan hal sulit sama sekali.

 

Situasi sederhana bisa saja tidak sesederhana tampaknya. Ada hal yang lebih dalam dari sekadar percakapan. Pesan yang dikirim pembicara pun mendapat umpan balik yang berbeda. Ada yang cukup dengan mendengar sehingga pesan tak sampai. Ada yang halus daya tangkap bahasanya sehingga gayung bersambut komunikasinya.

 

Jangan sampai karena tak ada untung untuk kita, kita enggan menjadi peka. Lihat saja pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini saat berkunjung ke Lampung. “Karena (jalan) mulus sampai (-sampai) di mobil (saya) tidur.” Gaya bahasa menyindir ini sangat dalam. Jalanan rusak parah menyiratkan kinerja sang gubernur dalam memfasilitasi warganya. Akhirnya, tanggung jawab Gubernur Lampung diambil alih oleh Menteri Pekerjaan Umum atas instruksi presiden. Yang mestinya dapat otonomi provinsi selesaikan, hal itu sampai menjadi urusan negara. Tak tanggung-tanggung, hal ini telah tersiar di media. Jauh lebih tak mengenakkan bukan?

 

Seseorang bisa saja tak cukup cakap berbicara. Akan tetapi, setidaknya ia perlu cakap dalam mendengar. Kecakapan ini dapat diasah dengan empati, simpati, dan kerendahan hati. Lihatlah sekitar kita. Definisi sosok yang elok pribadinya, umumnya tak beriak airnya; emas pada diamnya. Ia mendengar lawan bicaranya hingga tuntas. Pada gilirannya, ia menimpali dengan jelas.(**)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: