Perhatikan “Keringol” (calon) Pemimpin-mu

Perhatikan “Keringol” (calon) Pemimpin-mu

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

PERSOALAN “keringol” itu bukan persoalan kecil, karena ia menyangkut perilaku dan perilaku menyangkut pola pikir dan pola pikir mempengaruhi perbuatan & keputusan. “Keringol” pemimpin hari ini banyak yang tidak sesuai fakta antara ucapan, slogan dan nasehat yang diberikan.

Menyaksikan serta menilai kepemimpinan yang ada di daerah kita saat ini, saya teringat dengan sebuah nasehat bijak yang mengatakan: “Dibawah pemimpin yang baik dan pintar, anak buah bodoh pun ada gunanya, tapi dibawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik dan anak buah pintar pun bisa kocar-kacir…..”. Apalagi dibawah kepemimpinan seorang pemimpin yang penuh kepalsuan dan kemunafikan. Antara ucapan, slogan dan nasehat dihadapan bawahan tidak sesuai dengan kenyataan. Semoga kita semua dihindari dapat, dekat, apalagi akrab dengan pemimpin seperti ini. 

Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan berbagai konsep kepemimpinan ideal, tapi hanya masalah ringan yang insya Allah dapat dipahami oleh semua kalangan, yakni persoalan “keringol” atau dalam bahasa lainnya dapat diartikan yakni gaya/watak/gestur tubuh/perilaku sehari-hari. Sebenarnya persoalan “keringol” (ucapan khas orang Bangka), ini bukanlah persoalan ringan atau kecil, karena ia menyangkut pola perilaku dan perilaku itu sendiri mempengaruhi pola pikir dan pola pikir pasti mempengaruhi perbuatan dan keputusan. 

Menjelang tahun Politik, banyak hal yang harus diperhatikan oleh rakyat pemilih dalam memutuskan pemimpin daerahnya 5 tahun mendatang maupun Wakil-nya baik di Pusat maupun di tingkat Kota/Kabupaten dan Provinsi. Tapi ingat, menjelang Tahun Politik seperti sekarang ini banyak “keringol-keringol” palsu yang ber-“keringak keringol” ditengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya untuk urusan “keringol” saja, membutuhkan ilmu kecermatan guna menilainya, apakah “keringol” sang calon itu asli atau sekedar polesan (pencitraan). Bukankah sudah kita saksikan betapa banyak pemimpin di negeri ini antara ucapan, slogan dan nasehat-nasehatnya didepan bawahan serta omongannya di berbagai media tidak sesuai dengan kenyataan diri? 

Apalagi kalau kita menelisik lebih jauh misalnya, persoalan pemahaman mereka soal kepemimpinan, wawasan kedaerahan, wawasan nusantara, Pancasila, demokrasi, jaringan (networking)-nya ke pusat, pendidikan, pengalaman, kehidupan rumah tangga, masa lalu, karyanya, mentalnya, IQ-nya, spritualnya, motivasinya dan lain sebagainya lebih membutuhkan perhatian bagi rakyat pemilih, dan semua itu akan nampak dari “keringol” sang pemimpin kala ia berhadapan langsung dengan masyarakat. Makanya rakyat harus benar-benar jeli dan seksama memperhatikan setiap langkah, gaya dan isi bicara serta “keringol”nya sang (calon) pemimpin.

Dongeng “Keringol” Babi

DALAM sebuah hikayat (dongeng), suatu masa di zaman dahulu terjadi banjir besar di seluruh dunia. Lantas orang-orang pun membuat sebuah kapal berukuran maha besar agar seluruh umat manusia dan binatang bisa selamat dari banjir. Ketika kapal sudah selesai, semua manusia menaiki kapal tersebut termasuk semua jenis binatang. Dengan masuknya seluruh jenis binatang membuat kapal menjadi penuh sesak sehingga diperkirakan tidak mampu mengangkut beban dan dipastikan karam ditengah banjir yang akan melanda. 

Menyadari kenyataan tersebut, sang Nakhoda pun mengambil inisiatif menurunkan seluruh binatang. Dihadapan para binatang, sang Nakhoda mengambil keputusan: “Hanya binatang yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi saja yang boleh naik ke atas kapal”. Para binatang pun bertanya: “Bagaimana mengetahui binatang memiliki kecerdasan tinggi?”. Sang Nakhoda pun berpikir sejenak, lantas ia menjawab dan langsung memutuskan: “Salah satu ciri kecerdasan itu adalah memiliki sense of humor atau bisa membuat orang tertawa. Oleh karenanya, saya putuskan setiap binatang wajib bercerita dihadapan binatang lainnya. Barangsiapa yang bisa membuat seluruh binatang tertawa, maka ia berhak naik ke atas kapal. Tapi jika ada satu saja binatang yang tidak tertawa, maka ia tidak berhak dan akan diceburin ke laut sampai mati”. Karena tidak ada pilihan lain, para binatang pun menyetujui keputusan yang diambil oleh sang Nakhoda.

Diawali dari binatang yang bertubuh besar, yaitu Dinosaurus, untuk menyampaikan cerita lucu bagaikan stand up comedy yang tayang di televisi. Dihadapan seluruh binatang, Dinosaurus berceloteh menceritakan hal-hal yang lucu. Di akhir cerita, seluruh binatang tertawa ngakak bahkan ada yang guling-guling. Sang Nakhoda pun memperhatikan satu persatu, ternyata ada satu binatang yang diam membisu tanpa ada reaksi apalagi tertawa ngakak seperti binatang lainnya, yaitu BABI. Hanya babi yang “laen keringol e” sehingga Dinosaurus pun masuk dalam kategori gagal cerdas dan tak berhak naik kapal. Sesuai dengan keputusan yang sudah disepakati, Dinosaurus pun ramai-ramai diceburin ke laut hingga tewas. 

Selanjutnya giliran Gajah ber-stand up comedy dihadapan seluruh binatang. Dari awal berceloteh sampai akhir cerita, tidak ada satu pun binatang yang tertawa mendengar ocehan tidak lucu si Gajah. Semua binatang terdiam membisu dan mengernyitkan dahi karena apa yang disampaikan oleh si Gajah tidak ada kelucuan sama sekali untuk memancing tawa binatang yang mendengarkannya. Namun disaat semua hening, tiba-tiba Babi tertawa ngakak bahkan hingga guling-guling. Melihat perilaku Babi tersebut, seluruh binatang pun heran, termasuk Nakhoda. Karena penasaran, Nakhoda pun bertanya: “Hei Babi, mengapa kamu tertawa hingga ngakak? Bukankah cerita si Gajah tidak lucu sama sekali sehingga tidak ada satu pun binatang yang tertawa, tapi kamu malah ngakak hingga terguling-guling?”.

Setelah menyelesaikan tawa ngakaknya, si Babi pun menjawab: “Saya bukan tertawa dengan cerita si Gajah, tapi saya baru nyambung dan baru sadar akan cerita si Dinosaurus tadi. Setelah lama berpikir, saya baru menyadari bahwa ceritanya Dinosaurus tadi sangat lucu sekali”. Mendengar jawaban Babi yang lugu itu, para binatang melongo, begitupula dengan sang Nakhoda. Tapi apa lacur, Dinosaurus sudah menjadi mayat dan terapung ditengah lautan. Jadi kalau ada pertanyaan, mengapa Dinosaurus punah hingga sekarang? Jawabannya: “Karena Babi telat tertawa”. Akhirnya kacaulah uji kecerdasan tersebut akibat “keringol” sang Babi yang lain dari binatang lainnya.

Nah, pelajaran yang kita ambil dari dongeng ini adalah sifat bodoh, telat mikir (telmi), malas mikir, lambat nyambung, sinyalnya dak bagus, kurang wawasan, minim pengalaman dan pengetahuan ternyata dapat mengorbankan orang lain bahkan orang besar sekalipun. Apalagi dirinya adalah seorang pemimpin. Oleh karenanya, jangan pernah memilih pemimpin yang bertipikal Babi, karena pasti banyak yang dikorbankan akibat kebodohannya, termasuk sesuatu yang besar sebesar Dinosaurus.

Oleh karenanya, moment tahun politik yang kian dekat ini, gunakan hak pilih dengan baik dan benar dalam memilih pemimpin. Seorang pemimpin yang dipilih benar-benar harus pintar, berpendidikan tinggi, memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, memahami sejarah daerah yang dipimpin, budaya dan kearifan lokal, paham persoalan rakyat dan memiliki ide cemerlang dalam penyelesaiannya, serta tidak telmi (telat mikir) dan malas mikir. Orang-orang yang “budu” (bodoh) tapi berambisi menjadi pemimpin bisa dilihat perilaku dan kemampuan bicaranya, diskusinya, idenya, pencapaian (karya) dalam kehidupan pribadinya, bahan ceritanya, bahkan gaya alias “keringol”-nya pun bisa kita nilai apakah ia layak menjadi pemimpin atau tidak, apakah ia cerdas atau bodoh tapi merasa pintar dan merasa bisa menjadi pemimpin (Kepala Daerah) maupun Wakil Rakyat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: