CERPEN: Gol yang Hitam

CERPEN: Gol yang Hitam

--

Oleh Rusmin Sopian

 

"SUDAH berapa kali Ayah katakan kepadamu bahwa Ayah tidak suka melihat kamu bermain sepak bola. Ayah tidak suka kamu bermain sepak bola.” teriak sang ayah kepada anaknya,

“Apakah kamu tidak mau mendengar nasihat Ayah sebagai orang tuamu? tanya Ayah lagi dengan nada suara meninggi.

Sang anak yang bernama Anjas terdiam. Mematung di sudut ruang tamu rumah mereka. 

“Sabar, Pak. Sabar. Suatu waktu juga Anjas tidak akan bermain sepakbola lagi. Sekarang kan lagi liburan. Wajarlah dia memanfaatkan waktu liburnya dengan berolahraga bersama teman-temannya,bela sang istri.

“Namun, olahraga itu bukan hanya sepak bola saja, Bu. Lari juga olahraga dan menyehatkan badan,” jawab Sukri.

Mendengar jawaban sang suami, sang istri hanya terdiam tanpa kata. Tak ada lagi kata yang dapat dikatakannya. Tak ada narasi yang harus diucapkannya. Tak ada lagi. 

Senja makin menghitam. Para warga mulai ramai menuju masjid. Waktu salat Magrib akan tiba.

Ketidaksenangan Sukri dengan hobi anaknya bermain sepak bola bukan tanpa alasan. Masa lalu yang kelam membuatnya harus melupakan masa-masa kejayaannya sebagai pesepak bola andal dan ternama.

Siapa di negeri ini yang tak mengenal Sukri saat era 80-an saat sepak bola menjadi olahraga yang bukan hanya populer, tetapi juga menjadi sarana pencitraan bangsa.

Sukri adalah seorang striker hebat yang dimiliki bangsa ini. Kepiawaiannya mengolah si kulit bundar bukan hanya memopulerkan namanya sebagai pesepak bola hebat, tetapi membuat lawan menjadi kecut. Tak ada pemain belakang lawan yang mampu menghadangnya untuk mencetak gol.

Setiap pertandingan, Sukri selalu mencetak gol. Tak heran pemain belakang lawan selalu ekstra keras menjaganya sebagaimana bangsa ini esktra keras menghantam para koruptor yang menggerogoti hajat hidup orang banyak di negeri ini.

Kegagalannya mengeksekusi tendangan penalti saat timnya melawan tim negara asia dalam babak  final adalah awal kehancurannya dalam dunia sepakbola. 

Dirinya bukan hanya dihujat penonton seantero dunia, tetapi dianggap sebagai bagian dari mafia bola sebagai pengatur skor pertandingan.

“Tidak ada alasan bagi kamu untuk beralasan dan tidak ada alasan bagi kami untuk memaaafkanmu. Di negeri ini tidak ada yang percaya kalau kamu tidak bisa mencetak gol lewat penalti. Tidak ada yang percaya. Kamu harus menyadari itu, Sukri. Kamu itu pemain nasional. Pemain berkostum merah putih. Bukan pemain kampung,teriak tim manager klub dengan nada keras.

 Sukri terdiam.

 “Kamu kini dianggap bagian dari mafia bola, sebagai pengatur skor pertandingan! Kamu harus pahami itu!” sambung manajer klubnya sambil meninggalkan Sukri yang masih membisu di ruang ganti pemain.

Sementara beberapa kawan satu klubnya beruasaha menenangkan dirinya.

“Sudah Sukri nggak usah diambil hati omongan Pak Manager.” Ujar kawannya.

“Iya. Dalam setiap pertandingan selalu ada yang menang dan kalah. Sebuah kewajaran.” Kata sang pelatihnya dengan nada bijak.

Perbincangan Manager dengan beberapa orang bertubuh tambun di sebuah kafe adalah awal dari bencana ini. 

Saat itu Sukri sedang melepaskan kepenatannya usai berlatih dengan mendatangi kafe yang terletak di pusat kota. 

Tanpa disadari, dia mendengar pembicaraan antara manajer klubnya dengan para cukong itu.

“Kalau tim Bapak bisa mengalah dengan tim lawan, kami akan beri hadiah untuk Bapak,ujar salah seorang dari pria berbadan tambun itu.

“Ini masalah martabat klub, Bos. Kami tak bisa mengalah. Ketua klub sudah memerintahkan semua pemain untuk all out dalam pertandingan final nanti,” Sanggah manajer klub Sukri.

“Kami hanya minta pemain Anda hanya mencetak satu gol saja ke gawang tim lawan. Hanya satu gol saja. Tak lebih dan tak kurang. Namun, jangan sampai tidak mencetak gol. Bangkrut kami W.O (walkover atau menang tanpa bertanding),sela yang lainnya.

“Kami beri hadiah tiga kali lipat dari hadiah juara turnamen itu dan ini uang mukanya,ujar seorang dari pria bertubuh tambun itu sambil menyerahkan beberapa bungkusan tebal.

Manajer klub Sukri terdiam saat melihat uang itu. Pikiran kotor mulai menyinggahi otak kanannya.

“Hadiah ini bisa mencukupi kebutuhan hidupmu selama bertahun-tahun. Kamu tidak perlu kerja!” sambung yang lainnya sambil tertawa. 

Malam makin menghitam. Sukri pun meninggalkan kafe itu dengan sejuta tanya. Sejuta kegundahan melanda pikirannya.

Beberapa jam menjelang pertandingan, Sukri dipanggil pelatihnya. Atas perintah manajer klub, Sukri tidak dimainkan sebagai line up utama.

“Kamu bermain pada babak kedua saja. Ini kesepakatan antara ketua dan manajer klub,ujar sang pelatih.

“Saya sudah paham, Coach. Saya sudah paham. Kita sengaja mengalah kan?” Jawab Sukri.  

Sang pelatih kaget mendengar jawaban anak asuhnya.

“Kok kamu tahu?” Tanya sang pelatih.

Sukri tak menjawab.

Dalam final yang bergengsi itu, Sukri memang hanya diturunkan pada saat pertandingan hanya menyisakan 15 menit saja. Padahal, timnya sudah tertinggal 3-0.

Saat sebuah kesempatan mencetak gol diperoleh timnya lewat penalti, Sukri sebagai algojo gagal mengeksekusi bola dalam titik putih itu.

Tendangan Sukri melayang di atas gawang. Sebagaimana melayangnya pikiran Sukri dan itu awal dari kariernya sebagai pesepak bola. Dirinya merasa terhina. 

Martabatnya sebagai pemain sepak bola tak berharga.

Usai pertandingan itu, Sukri memutuskan untuk berhenti bermain dan berhenti hidup dari sepak bola. 

Segala atribut kebanggaanya, mulai dari sepatu, kostum, emblem, dan lainnya yang berbau sepak bola dibuangnya. Ditinggalkannya.

Nonton sepak bola pun tak pernah lagi. Sukri fokus menata hidupnya sebagai petani di sebuah desa yang jauh dari kota.

Kini kenangan hitam itu seakan-akan dibangkitkan kembali oleh putra semata wayangnya, Anjas.

Darah yang mengalir di tubuh Anjas adalah darah sepak bola yang dilimpahkannya lewat gen dirinya dalam kolaborasi lewat sebuah rahim sang istri. 

Semua orang mengisyaratkan Anjas sebagai reinkarnasi dirinya saat masih aktif sebagai pesepak bola.

Lincah dan gesit. Mencetak gol adalah ciri khas Anjas sebagaimana ayahnya dulu saat masih aktif bermain sepak bola. 

Tak heran bila Anjas kini dipanggil timnas junior untuk berlatih di luar negeri.

“Pak Sukri tidak bisa menghalangi talenta Anjas. Dia pemain sepak bola hebat. Sekarang dipanggil timnas junior untuk membela bangsa. Membela martabat bangsa di arena olahraga. Hanya martabat bangsa yang masih kita punyai, Pak,ujar pelatih Anjas saat mareka meminta izin dari Sukri untuk membawa Anjas, putranya, bertanding ke luar negeri.

“Saya tidak ingin nasib saya menimpa Anjas, Coach. Saya tidak mau, sebagai pesepak bola, dia tidak bermartabat. Tidak dihargai,jawab Sukri

Insya Allah, Pak. Kami berusaha membina mareka agar memiliki ciri khas sebagai pesepak bola yang berharga diri dan bermartabat,kata Pelatih Anjas.

Sore yang teduh menghantarkan Anjas meninggalkan rumah mareka di sebuah kampung. Sukri melepaskan kepergian Anjas bersama timnas dan para coach-nya dengan doa.

“Semoga kamu jadi pemain sepak bola yang berharga diri, Nak,bisik Sukri di telinga Anjas sesaat sebelum putranya memasuki mobil jemputan. 

Anjas mengangguk. 

Dan mobil jemputan Anjas pun meninggalkan jalan kampung menuju pentas dunia untuk memartabatkan nama bangsa di gelanggang olahraga. 

Ya, hanya untuk martabat bangsa dengan kostum merah-putih, dengan garuda di dadanya sebagai anak bangsa.

 

Toboali, Senin, 21 Mei 2023

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: