Tarik Aker Gunung Berringgut

Tarik Aker Gunung Berringgut

Ahmadi Sofyan--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial

TAHUN Politik 2024 masih lama, tapi sudah mulai nampak “keringol” para Bacaleg dan bakal calon peserta Pilkada yang menampakkan diri. Sudah mulai bertebaran spanduk dan baliho yang kemaren masih sepi. Begitulah negeri ini…….

Sudah beberapa bulan terakhir ini, hampir setiap hari saya menerima pesan WhatsApp maupun telpon yang menanyakan apakah nyalon atau tidak. Hampir setiap bertemu kawan lama atau orang baru saya kenal, selalu menanyakan hal yang sama. Kadangkala saya malas menanggapi, tapi tidak dijawab nanti bagaimana pula dikira kita “taipau begereng”. Akibat terlalu sering ditanyakan ini, tiba-tiba muncul rasa muak pada diri saya terhadap politik. Bahkan berulangkali Partai meminta persyaratan untuk caleg tidak pernah saya gubris. Capek dan jadi jenuh rasanya. Sebab, mengapa kekuasaan itu harus selalu dikejar? Harusnya adalah karya atau prestasi yang menjadi ukuran, bukan nampang muka dipinggir jalan bak iklan.

“Yak, kabar e ayak nek nyaleg. Bahkan kami dengar nek nyalon Bupati?” hujan gerimis sore kemaren saya berada di pondok kebun pinggir sungai bersama para pekerja yang sedang menyelesaikan pembangunan pondok kebun saya. “Dengar darimana?” saya tanya balik. “Banyak omongan orang di kampong” jawabnya. Saya menjawab diplomatis dan memang itulah jawaban dari hati. “Begini, ada hal yang tidak usah terlalu kita kejar dalam hidup ini, kegilaan yang bisa membawa kita pada perilaku “ngiret kaleng”. Gila jabatan, gila harta dan gila mentinak. Jadi, pointnya dak de lom kerenyek nek jadi itu ini. Kalau sudah digariskan Tuhan, jangankan cuma jadi Anggota Dewan atau Bupati, jadi Presiden ge ko siap. Tapi jen gile igak kenek e, dak kawa ngiret kaleng” jawab saya singkat yang disambut tawa ngakak 3 orang pekerja sambil ngopi bersama saya ditengah kebun.

Melihat perkembangan tahun politik 2024, rasa persaudaraan dan persahabatan dalam perbedaan jauh lebih penting dikuatkan daripada menguatkan ambisi. Wallahi, itu yang saya rasakan saat ini. Siapapun orang yang mau nyalon jadi ini dan itu, kita rakyat tetap harus perhatikan “keringol”-nya, apa visi misi-nya dan bagaimana latar belakang kehidupan pribadi dan keluarganya, intelektual dan spiritualnya, serta sejauh mana kemungkinan ia akan mampu membawa daerah (Bangka Belitung) menjadi lebih baik. Nah, barulah kita tentukan siapa yang harus kita dukung dan kita pilih. 

Politik & Istilah Urang Kampong

WALAUPUN sama sekali bukan untuk kepentingan menjelang politik 2024, beberapa bulan terakhir ini saya memang agak sering keluar masuk kampung di beberapa Kabupaten di Pulau Bangka, terutama di Kabupaten Bangka. Ngobrol dan bercanda ria dengan para orangtua dan kawan-kawan di kampung-kampung seringkali saya mendapatkan ilmu yang tak terduga, terutama dalam hal penggunaan istilah dan bermain kata penuh makna. Duduk bersama anak muda dipinggiran lapagan bola sambil menonton sepakbola dan bercanda ria. Inilah salah satu yang membuat saya mencintai bahasa daerah, local wisdom dan hal-hal yang berkaitan dengan daerah atau kampung. Modernisasi tak bisa kita hindari, canggihnya teknologi harus kita ketahui, tapi untuk tahu dan belajar tentang kekayaan budaya sendiri adalah sebuah keharusan bagi generasi muda agar mereka tidak lupa identitas diri. 

Dulu para orangtua di kampung-kampung di Pulau Bangka seringkali mengistilahkan perilaku menipu kawan, membuat masalah, memancing keributan dengan kalimat “tarik aker gunung beringgut”. Makna harfiahnya adalah seseorang yang sedang berada dikaki gunung (dibawah) menarik salah satu ujung akar yang ujung satunya berada di puncak gunung. Karena tarikannya itu, sehingga pohon-pohon yang berada di atas gunung menjadi bergerak seperti bergoyang-goyang seakan-akan ada sesuatu diatas gunung. Lantas sang penarik mengatakan bahwa ada hantu diatas sehingga “gunung beringgut” (bergerak) dan kawan-kawan pun berlari kocar-kacir karena ketakutan. 

Ketika pertarungan politik perebutan kekuasaan Kepala Daerah, kerapkali istilah lokal (tarik akar gunung beringgut) ini saya dengar. Tidak hanya dalam istilah, tapi ilmu/strategi ini pun dilakukan oleh banyak orang dalam mengatur strategi untuk mencapai sesuatu, terutama dalam politik kekuasaan. 

Namun hal yang paling sering dilakukan untuk masyarakat kampung sebagai objek politik kekuasaan adalah strategi “Tiga lilit sembilan lingker” (Tiga lilitan sembilan ikatan). Yakni mengikat seseorang atau sekelompok orang dengan ikatan yang susah dibuka, seperti pemberian berbentuk materi, bantuan pengobatan, janji pekerjaan yang dijadikan sebagai pengikat. Percaya atau tidak, pengikat atau pemberian yang terakhir (menjelang pemilihan) itulah yang bakalan diingat dan umumnya jadi pilihan para pemilih. Oleh karenanya, para calon yang terlalu cepat menghambur-hamburkan pemberian, bakalan “ngiret kaleng” akan kehabisan “modal” dan menjelang finish rakyat baru menentukan pilihan seraya menunggu pemberian di detik-detik hari pemilihan oleh Timses.  

Karena ilmu “tanggok-menanggok” disaat Pemilu dan Pilkada langsung adalah ilmu yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat kita. Bahkan ada bagi sebagian orang dan kelompok menjadikan “tanggok-menanggok” itu sebuah pekerjaan. Jangan heran jika setiap ada Pilkada, mereka ini selalu muncul dan bersikap seperti orang penting, memiliki massa, dan biasanya menggunakan mobil operasional Tim. 

Ibarat “nanggok” ikan di dalam air, saat pekerjaan itu dilakukan tidak hanya ikan saja yang didapatkan. Karena bisa jadi niatnya “menanggok” ikan, namun yang didapatkan adalah sampah, berudu, katak, bahkan ular. Oleh karenanya kepada mereka-mereka yang menjadi Timses yang kebagian posisi sebagai penanggok maupun yang ditanggok, hendaknya hati-hati sebagaimana istilah orangtua di kampung-kampung, jangan sampai “Nanggok kelik dapat sabak”(Memburu lele dapatnya ular Sabak/Sanca). 

***

TAHUN politik 2024, semoga benar-benar pesta demokrasi dan mampu mendidik masyarakat kampung dalam hal berpolitik. Bagi saya, orang kampung adalah rakyat yang sangat memahami kehidupan bersama alam. Kejujuran dan budaya mereka tak boleh tergerus oleh politik-politik yang sangat tidak mendidik. Mereka terlalu jujur untuk kita tipu daya hanya karena kekuasaan. Mereka terlalu santun untuk kita ajak urakan sebagaimana kebiasaan dan budaya kebanyakan orang-orang kota. Mereka sudah sangat berbudaya untuk kita ajak berbudaya ala kebarat-baratan. Politik mereka adalah politik hati nurani, budaya mereka berlandaskan kejujuran. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: