CERPEN: Nostalgia di Terminal

CERPEN: Nostalgia di Terminal

--

Karya Derry Nodyanto

Pusat perbelanjaan plaza Pangkalpinang tampak ramai pengunjung hari itu. Sesak jumlah kendaraan di pelataran parkir hingga padatnya jumlah pengunjung dari lantai dasar hingga lantai atas semakin menggeliat.  

Bergeser di tangga plaza, pengunjung tak sedikit pula duduk melepas penat sembari menunggu sanak saudara yang masih asyik berburu produk belanja. Bulan suci ramadhan tak menjadi penghalang. Aneka paras rupa menghiasi setiap sudut galeri perlengkapan baju, sandal, sepatu maupun jenis kebutuhan lainnya.

Tak terkecuali para orang tua yang sibuk memilih baju dan celana serta perlengkapan lainnya, lalu antri membayar di kasir. Semua tampak percaya diri menegaskan bahwa inilah cara menebus perjuangan kristalisasi keringat semata-mata demi membahagiakan para buah hati.

Begitulah suasana di daerah kami khususnya di Pulau Bangka, pemandangan khas yang selalu sama setiap kali menyambut hari kemenangan. Seolah tradisi, pusat perbelanjaan menjadi sangat ramai dikunjungi dari berbagai kalangan menjelang perayaan lebaran idul fitri atau hari besar keagamaan lainnya.

Dan Plaza Pangkalpinang atau lebih dikenal dengan Ramayana Departement Store masih menjadi primadona di samping pusat perbelanjaan lainnya yang terdapat di ibukota provinsi kami. Ada semacam magnet yang selalu menarik daya pikat pengunjung selalu lebih ramai di plaza ini. Terjebak potongan diskon atau harga pas di kantong, hanya para pengunjung yang mengetahui dan memiliki alasan tersendiri.

Aku sendiri merasa ada nostalgia yang hinggap membingkai kenangan tiap kali menginjakkan kaki di area pusat perbelanjaan ini. Sebelum menjelma menjadi pusat perbelanjaan, Plaza Ramayana merupakan eks terminal induk terbesar di Pulau Bangka kala itu.

Terminal ini menjadi bagian kisah perjalanan Bak (panggilan Ayah) dalam menafkahi keluarga kami. Ya, Bak adalah supir bus angkutan umum rute Belinyu-Pangkalpinang. Satu dari sekian banyak rute lain yang mangkal di terminal penuh kenangan.

Kami anak-anak Bak memiliki kisah masa kecil di terminal ini, terutama aku dan abangku. Aku sendiri ingat betul nostalgia indah itu, khususnya ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Memang tak rutin, biasanya tepat satu hari setelah pembagian hasil rapor semester, Bak akan menyertakan anak Bak untuk ikut ke Pangkalpinang apabila kami menjadi peringkat di kelas.

Tak ada hadiah lain yang dapat Bak berikan kepada kami, entah itu mainan atau barang istimewa sejenisnya yang biasa diminta oleh anak seumuran kami. Kami pun tak menuntut dibelikan hadiah, dapat bersama dengan Bak ke Pangkalpinang sudah cukup membuat kami bahagia. Itulah sesunguhnya hadiah bagi kami, untukku dan abangku.

Menikmati semangkok bakso dan menyeruput sajian es campur di sekitar area terminal sudah sangat menggembirakan bagi kami. Lalu, Bak memanjakan kami dengan membeli cokelat dan makanan ringan lainnya sebagai pelengkap. Sungguh, momen ini penuh kenangan dan dirindukan sembari mendengarkan berbagai jenis genre musik yang diputar pada setiap kios yang menjual kaset dan VCD di sepanjang area terminal.

Sebagai anak, kami sadar dan tahu diri apalagi Bak bekerja dengan orang lain bukan milik kendaraan pribadi. Menuntut Bak untuk membeli mainan sama halnya dengan kami tidak menghargai jerih payah Bak bekerja untuk menafkahi keluarga.

Berangkat kerja pagi dan kembali ke rumah malam hari. Terkadang, sangat wajar seraya menunggu jam keberangkatan sesuai jadwal yang telah ditentukan, Bak memanfaatkan waktu tidur barang sejenak. Bak letih, namun ia tak pernah mengeluh. Hari-hari Bak diisi dengan bekerja dan bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk membiayai pendidikan kami.  

Di terminal itu pun kami ingat, Bak selalu menunjukkan piagam juara kelas kami yang telah dilaminating ke rekannya sesama supir. Bak dengan bangga memproklamirkan ke semua orang bahwa anaknya meraih prestasi di sekolah. Apabila ada rekan Bak yang berkomentar nanti ikut jejak bapakmu menjadi supir, maka Bak segera memberitahu kepada kami.

“Jangan ikut Bak, sekolah tinggi-tinggi’’beritahu Bak mantap.

“Ya, Bak.”sahut aku dan abangku.

Sederhana namun memiliki makna mendalam. Bak secara lembut tetapi tegas berhasil memberi penekanan sekaligus isyarat kepada kami untuk tidak mengikuti jejaknya. Bak memberikan gambaran pekerjaannya untuk menjadi kacamata bagi kami ke depannya.

Bak tidak ingin kami merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Membanting tulang, memaksa terus bekerja walaupun terkadang badan meminta haknya untuk beristirahat.  Bak memang hanya tamatan Sekolah Dasar, tapi Bak ingin anak-anaknya sekolah setinggi-tingginya.  

Bak adalah panutan kami, sosok pekerja keras. Dulu, Bak adalah perokok berat.  Namun, ketika abangku akan melanjutkan kuliah, Bak memantapkan hati untuk berhenti merokok dan juga mengurangi kebiasaan mengonsumsi minuman dingin. Bak sadar tanggung jawabnya makin besar dan Bak harus selalu sehat agar tidak terkendala membiayai pendidikan kami.

Bahkan, kala itu Bak merelakan waktu istirahat tidurnya berkurang dimalam hari, karena pada pukul 02.00 malam ia harus meletakkan terlebih dahulu mobil di pelataran parkir di stasiun pengisian bahan bakar minyak untuk mengantri minyak solar dan kemudian menjual kembali minyak solar itu sebagai tambahan penghasilan. Demi keluarga, asalkan halal Bak rela membanting tulang.

Bak niatkan itu semua untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anaknya dan demi masa depan kami yang lebih baik. Bak percaya ikhtiar yang ia lakukan akan membuahkan hasil terbaik tepat pada waktunya.

Kami empat bersaudara. Namun, yang memiliki kisah tersendiri di eks terminal lama yang telah menjadi Plaza Ramayana adalah aku dan abangku. Sedangkan dua adikku tak begitu kental merasakan nostalgia yang sama.

Bak tidak pernah berbicara kasar apalagi menggunakan fisik memukul kami. Sekalipun tak pernah. Bahkan sampai saat ini, ketika kami anak Bak telah memberikan cucu baginya.  Bak hanya akan sedih manakala peringkat kelas kami menurun.

Ada raut kecewa yang ia tunjukkan dan memberi isyarat setidaknya kami menghargai perjuangan keras beliau melalui torehan prestasi. Itu saja permintaan Bak, secara tak langsung memberikan pemahaman kepada kami arti penting pendidikan sebagai kendaraan utama untuk hidup lebih layak.

Ketika menempuh ujian semester, Bak akan membangunkan kami lebih awal dan menunggu kami belajar sampai waktu subuh. Satu harapan Bak, agar kami membiasakan berproses dengan baik, lalu mempersembahkan nilai terbaik dan dapat meningkatkan derajat keluarga. Ikhtiar dilakukan, doa ke langit senantiasa Bak dan Mak lantunkan kepada sang pencipta untuk kemudahan dan keberhasilan anak-anaknya.

“Belajar rajin-rajin dan pintar Nak ya” ujar Bak.

“Ya, bukan untuk Mak dan Bak. Untuk kalian lah” giliran Mak menimpali.

“Ya, Bak. Ya, Mak” demikian kami menjawab.

Bak adalah tipikal orang tua yang tidak banyak bicara. Namun, kata “Nak” yang selalu ia utarakan terbukti ampuh menghunjam batin kami untuk berpikir secara berulang-ulang apabila ingin melakukan perilaku negatif yang merugikan diri sendiri dan nama baik keluarga.

Redaksi kata itu akan selalu terngiang dalam pikiran. Diperkuat pula petuah-petuah dari Mak yang selalu membekas sekaligus menjadi bekal berguna bagi kami dalam melakoni kehidupan. Untuk itu, Bak tidak akan pernah khawatir sekaligus tidak akan percaya kami melakukan tindakan aneh diluar batas koridor, karena melalui penjagaan ketat Mak di rumah. Sungguh, perpaduan ideal yang saling melengkapi dalam kehidupan keluarga.

Kini, Bak tak lagi menjalankan aktivitasnya sebagai supir bus Belinyu-Pangkalpinang. Namun, labelnya sebagai seorang supir terus melekat di hati masyarakat di daerah kami. Kami pun selalu bangga memperkenalkan diri kami sebagai anak Bak, anak supir bus Belinyu-Pangkalpinang. Kami tak pernah malu mengakui diri sebagai anak supir. Dari pekerjaannya mengantarkan kami anak-anak Bak mendapatkan profesi masing-masing saat ini.

Aktivitas Bak saat ini lebih disibukkan dengan mengantar-jemput cucunya di sekolah. Sesekali, termasuk hari ini Bak juga mengantarkan kami dengan mobilnya ke Plaza Pangkalpinang.

“Atok, sudah selesai belanjanya, ayo kita pulang” ajak anak tertuaku.

“Sudah selesai ya, banyak ya belanja?”tanya Bak sambil menggandeng tangan cucunya.

Sehat selalu Bak dan Mak semoga senantiasa selalu dalam penjagaan sebaik-baiknya dari Allah Swt.(**)

 

Derry Nodyanto, merupakan guru PPKn SMAN 1 Pemali kelahiran Belinyu, 8 November 1983. Saat ini tinggal di Karya Makmur Pemali, Kabupaten Bangka

 

 

 

 

 

<!-- [if gte mso 9]> <w:LsdException Locked

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: