CERPEN: Kolak Pisang

CERPEN: Kolak Pisang

--

Cerpen Indrayati, S.Pd.


"Beli ... beli ... murah … hanya lima ribu." Seorang anak kecil berbadan kurus terlihat menawarkan kolak pisang dagangannya ke orang-orang yang lewat.

Beberapa lapak penjual makanan dan minuman khas bulan suci Ramadan memenuhi lapangan desa, tempat tinggal Suci. Tahun ini, gadis kecil itu ikut berjualan di sana.

Gadis kecil itu bersama kakaknya, Amir memang anak yang rajin. Setelah ayah mereka meninggal dunia, Suci dan kakaknya tidak pernah malu membantu Bu Minah berjualan. Kadang jualan kue, sering juga jualan es. Apa saja asal halal.

***

Pagi sekali, Suci dan Bu Minah sudah bersiap memasak kolak pisang untuk dijual. Bahan-bahannya sudah lengkap. Dua sisir pisang merupakan pemberian adik Bu Minah. Bahan lain seperti kelapa dan daun pandan diambil dari kebun mereka. Gula merah untuk menambah rasa manis didapat Bu Minah dari utang di warung Bu Seli.

"Bu, kalau kolak pisang kita habis, belikan Suci nasi padang, ya, Bu!" pinta Suci ketika membantu ibunya mengupas kulit pisang.

"Iya, Ibu beli dua, buat Suci satu bungkus, buat Amir satu," jawab Bu Minah.

Amir yang mendengar itu langsung semangat memarut kelapa tua. Dia membayangkan alangkah nikmatnya nasi padang lauk rendang yang akan dibelikan Bu Minah.

"Kak Amir, nanti kita jaga lapak agak siang, ya, biar cepat habis."

Amir mengacungkan jempol ke wajah Suci.

"Alhamdulillah, anak-anak Ibu rajin semua." Terlihat kekaguman di wajah Bu Minah. "Sudah, Amir?"

"Sudah, Bu." Amir memberikan baskom berisi kelapa parut ke Bu Minah. Anak laki-laki itu pemalu dan jarang bicara. Sejak ayahnya meninggal, Amir tambah pelit bicara.

“Terima kasih, Nak."

Setelah kolak pisang selesai dimasak, Bu Minah menaruhnya ke dalam plastik. Suci menghitung jumlah plastik yang sudah terisi. Amirlah yang memasukkan plastik berisi kolak pisang itu ke dalam kardus bekas minuman mineral.

"Bu, dapat dua puluh." Suci girang setelah hitungannya selesai.

"Alhamdulillah! Jadi, nanti kita dapat uang berapa, Amir?"

Amir memutar matanya. Dia terlihat menggerakkan jari-jarinya. "Seratus ribu, Bu."

"Alhamdulillah! Seratus ribu dikurang uang sewa lapak sepuluh ribu, jadi berapa, Suci?"

"Seratus ribu ambil sepuluh ribu, jadi kita dapat sembilan puluh ribu, Bu. Banyak Bu, kalau dibeli nasi padang, jadi .... Harga nasi padang berapa, Bu?" tanyanya ke ibunya.

"Ibu juga belum tau, Suci. Nanti kita beli sama-sama, ya, Nak."

"Hore!” Suci berjingkrak senang.

Setelah salat Zuhur berjemaah, Suci dan Amir segera ke lapangan. Mereka sangat bersemangat berjualan kolak pisang hari ini.

***
Hari sudah hampir magrib, waktu berbuka semakin dekat. Masih terdengar teriakan Suci di lapangan itu.

"Kolak ... kolak pisang … lima ribu saja … enak dan murah.”

Namun, belum ada yang membeli kolak pisang mereka.

Suci terlihat kelelahan. Semangatnya mulai turun, apalagi setelah Suci melihat lapak yang tepat di samping mereka yang berjualan kolak pisang juga, hampir habis terjual. Mata Suci mulai berembun. Dia mundur lalu duduk di belakang lapaknya.

Amir yang dari tadi hanya diam, memperhatikan adik berjualan, sekarang bangun.  Anak laki-laki itu mengusap kepala Suci pelan.

"Sabar, Dek. Rezeki kita hari ini sudah diatur Allah."

Dia berdiri di samping meja lapak mereka. Anak sulung Bu Minah itu menoleh ke belakang lalu tersenyum ke adik perempuannya.

"Kolak ... kolak pisang Bu Minah … lima ribu saja," teriak Amir berulang kali dengan suara lantang.

Beberapa orang menoleh. lalu menghampiri lapak mereka. Calon pembeli itu melihat sebentar lalu pergi ke lapak lain. Tidak membeli.

Hingga datang seorang wanita muda yang mereka kenal menghampiri lapak. "O ... anak Bu Minah, ya! Amir sama Suci." Bu Retno, salah satu langganan kue Bu Minah mengambil enam bungkus kolak pisang dan menyerahkan ke Amir.

"Iya, Bu," jawab Amir pelan sambil memasukkan enam bungkus kolak pisang itu ke dalam plastik hitam berukuran sedang.

"Ibu kalian mana?" tanya Bu Retno.

"Sebentar lagi datang, Bu," jawab Suci.

Gadis kecil itu mulai semangat lagi. Tahu-tahu sudah berdiri di samping kakaknya.

"Oh, gitu ... nih uangnya tiga puluh ribu." Bu Retno memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

"Terima kasih, Bu!"

"Sama-sama, Suci!"

Bu Retno berlalu, tampak memburu menu berbuka puasa lainnya.

Suci menggenggam erat uang Bu Retno tadi.

"Alhamdulillah, Kak! Dapat tiga puluh ribu."

"Ayo, Dek! Semangat, yuk!"

"Iya, Kak,” jawabnya senang.

Setelah itu, Bu Minah datang, memperhatikan meja lapak sebentar dan tersenyum.

"Anak-anak, sudah mau magrib. Ayo, kita pulang!" Bu Minah memasukkan kolak pisang itu ke kardus dan merapikan lapak. Suci dan Amir diam, duduk bersila di tanah.

"Tapi, Bu, kolak pisang kita kan belum ...."

"Nggak apa-apa, Suci. Alhamdulillah, hari ini rezeki kita banyak diberi Allah."

"Kenapa, ya, Kak, azan Magrib cepat banget hari ini?" wajahnya kecewa. Amir diam.

Bu Minah jongkok lalu memeluk erat kedua anaknya.

"Ayo, kita beli nasi Padang untuk kalian!"

Suci dan Amir masih menunduk lemas lalu menatap wajah Ibunya yang seterang matahari.

"Nggak usah, Bu. Kita buka puasa pakai kolak pisang aja," usul Amir.

"Iya, Bu. Suci juga mau."

Pandangan Bu Minah mulai buram lalu satu bulir panas turun ke pipi tuanya.

"Anak-anak Ibu … terima kasih!" ucapnya sedih. (**)

 Indrayati. Penulis Berdomisili di Sungailiat Bangka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: