Kilauan Asa
--
Cerpen Marhami Wasyifa
Perempatan ini ramai, kendaraan-kendaraan dari segala arah berhenti sambil menunggu giliran lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Tak ada yang berbeda dari perempatan ini, suasananya masih padat, di tengah-tengah pusat perbelanjaan di ibukota. Hal ini cukup menjadi alasan bagi seorang pedagang koran kecil untuk singgah, menjajakan korannya tanpa lelah kepada pengendara-pengendara di sana.
Saat ini, sore menjelang malam, hanya ada 5 rangkap koran lagi yang belum anak itu jual. Kaki kecil nya melangkah menuju kendaraan yang satu ke kendaraan yang lainnya.
“Pak, korannya.” “Korannya Pak. Ibu, ini korannya. Koran kak.”
Semua orang ia tawari, entah mau entah tidak, yang anak itu pikirkan hanya bagaimana agar koran-koran ini segera habis, ia ingin cepat kembali pulang.
Dan sepertinya, ia sedang beruntung, seorang ibu-ibu, dalam mobil mengkilapnya, memborong habis sisa koran sore itu.
Tidak begitu peduli untuk apa semua koran yang ibu itu beli, anak itu dengan senang hati memberikan semuanya, memasang wajah cerah ketika ibu-ibu itu memberikannya uang dan buru-buru mengucapkan terima kasih.
Anak itu berlari menuju pinggir jalanan perempatan, tersenyum cerah sambil memegang uang hasil penjualan korannya hari ini. Ia akan menyetorkan hasilnya itu, dan mengambil upahnya, entah berapa, tetapi berapapun itu ia akan tetap mengambilnya dengan senang hati.
Berjalan dengan langkah ringan serta bibir yang merekah, ia tidak perduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya kala itu. Tubuhnya kurus, pendek dan terlihat kotor, ditambah celana pendek yang ia kenakan sedikit memiliki tampalan di bagian bawahnya, ia terlihat menyedihkan dan kumal. Tetapi yang anak itu tahu, ia cukup bahagia kali ini, sakunya berisikan beberapa lembar uang, cukup untuk ia berikan kepada ibunya pulang nanti.
Anak itu membayangkan, apa yang akan Ibunya lakukan dengan uang yang ia miliki ini, apa untuk membeli makanan atau malah lagi-lagi membayar sewa rumah kecilnya. Ia hanya berharap, Ibunya akan membeli sedikit beras, agar ia dapat menelan makanan barang sedikit saja, sebagai penambah energi.
Jika dilihat, kehidupan anak itu jauh dari kata layak, diusianya yang baru menginjak 10 tahun, ia sudah harus bekerja, membantu Ibunya. Merasakan kerasnya kehidupan, bertarung dengan waktu yang terus saja berputar tanpa ingin menunggu.
Tak tahu bagaimana rasanya bermain seperti anak-anak seumurannya, yang ia lakukan adalah bekerja, menjajakan koran di perempatan-perempatan jalan. Tak tahu rasanya mempunyai teman, hanya ada Ibu yang ia punya. Tidak pula tahu rasanya bersekolah, Ibunya tidak punya cukup uang untuk menyekolahkannya, bahkan untuk makan hari-hari pun mereka masih kesusahan.
Anak itu, tidak tahu bagaimana caranya mengadu, bercerita dan bercanda, ibunya tunarungu, tidak ada suara yang dapat ia dengar, tidak pula dapat berbicara dengan benar. Tapi ia tidak pernah memaksa, tidak pernah mengeluh dengan keadaan Ibunya, tidak juga berdumal-dumal karena harus bekerja. Umurnya masih sangat belia, tapi ia dituntut untuk menjadi dewasa.
Perjalanan pulang kali ini terasa begitu pajang menurutnya, perasaanya sedikit tidak tenang, di bawah langit senja yang kini mulai menggelap. Tapi, perasaan itu cepat ditepisnya jauh-jauh, karena ia sangat ingin bertemu dengan Ibu, ia ingin memamerkan upah yang telah di terimanya petang tadi.
Melewati jalan setapak yang cukup sepi kala itu, ia berniat memotong jalur menuju rumah kecilnya di pinggir kota, agar semakin cepat sampai pikirnya. Sayangnya, takdir berkata lain padanya, gang itu tidak sesepi biasanya, ada sekitar 4 orang laki-laki yang berdiri di sana. Dari celana yang mereka kenakan, sudah jelas mereka anak-anak sekolah menengah, entah apa yang sedang mereka lakukan.
Melewati mereka dengan menunduk, anak itu mengira ia akan di biarkan lewat begitu saja. Tapi kenyataannya, salah satu dari mereka menangkap tangan mungilnya dan membuatnya berhenti.
“Kulihat kau berjualan di perempatan tadi,” ucap lelaki yang menarik tangannya.
Tubuhnya tinggi tegap dan sedikit berotot, terbalut jaket jeans sobek dengan kaus hitam di dalamnya, serta rambut yang acak-acakan.
“Wih, rajin sekali kau, kecil-kecil sudah bekerja. Berapa hasil kerjamu hari ini, bocah kecil?” ucap temannya yang lain, yang kini berjalan ke arahnya.
Temannya itu mempunyai tubuh yang cukup tambun, dengan kepala botak dan wajah yang sengaja digarang-garangkan.
Tubuh anak itu sedikit bergetar, ia takut bercampur bingung dengan apa yag akan mereka lakukan padanya.
“Mana hasil kerjamu, bocah kecil,” ulang lelaki itu sambil mendorong tubuh kecilnya.
“A.., aku tidak punya,” kata anak itu.
Suaranya ikut bergetar.
“Kecil-kecil sudah pandai berbohong. Kau tidak pernah diajar oleh orang tuamu?” temannya yang lain ikut menimpal dengan nada yang cukup tinggi.
Tubuh anak itu bergetar, ketakutan serta keterkejutan mengukung dirinya, ia hampir saja menangis.
“Heh bocah! Kau tidak bisa berbicara apa bagaimana, kutanya kau sekali lagi, mana uangmu itu!”
Lelaki itu mengatakannya dengan penuh penekanan disertai nada yang tinggi. Anak itu menangis akhirnya, air mata turun melewati pipinya, ia bersikeras mengatakan bahwa ia tak punya, ia tak punya.
Tapi mereka tidak percaya, dan malah menertawakan anak itu, mengejek seberapa cengengnya dia, yang hanya dibentak sekali dan langsung menangis. Lelaki itu lalu melihat temannya dengan lirikan mata, memberi kode yang langsung ditangkap oleh kedua temannya, dan dengan gerakan cepat memegang kedua lengan anak itu.
Anak itu memberontak, tapi apa daya, tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan tenaga anak-anak tanggung ini. Lelaki itu pun mulai menggeledah seluruh pakaiannya. Hingga ia menemukan segumpal uang, di saku sebelah kiri anak itu.
“Ini yang kau sebut tidak punya? Dasar pembohong!” ucap lelaki itu, sambil mendorong kepala anak kecil yang sedari tadi menangis itu dengan jari telunjuknya keras. Anak itu mungkin akan tersungkur, jika saja lengannya saat itu tidak dipegang oleh teman lelaki itu. Ia menangis, perlakuan itu membuatnya tergugu.
“Kak kumohon, itu punya Ibuku, aku mendapatkannya dengan susah payah, tolong kembalikan padaku.,”
Anak itu memberontak, ia masih menangis. Tapi, tak ada rasa iba dari lelaki itu, ia malah tertawa merendahkan, diikuti oleh kedua orang temannya, entah apa yang lucu.
“Carilah lagi, anak-anak sepertimu, hanya duduk di pinggir jalan saja sudah mendapatkan uang, jangan merasa sok susah!” ucap lelaki itu sembari mendorong tubuh anak itu, tepat saat teman-temannya melepaskan pegangan mereka, seperti sudah direncanakan. Anak itu tersungkur, tubuhnya terjerembab menghantam jalanan berbatu.
Anak itu sempat tersentak, tubuhnya sakit mungkin sudah berdarah dan luka, kepalanya juga terasa pening. Ia mengepalkan tangan kecilnya, memaksakan tubuhnya untuk bangkit, menyusul lelaki tadi yang telah beranjak bersama teman-temannya.
Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus mengantarkan uang itu kepada Ibunya, setidaknya dengan itu ia dan Ibunya bisa makan. Ia berjalan tertatih, meraih ujung baju lelaki tersebut.
“Kak, aku mohon kembalikan uang itu, Ibuku belum makan di rumah, aku membutuhkannya,” ia memohon sekali lagi, derai air mata bercucuran mengalir di pipi tirusnya yang kotor.
Tangannya menggenggam erat ujung kaos lelaki itu, menggoyang-goyangkannya lemah, berharap lelaki itu bisa merasa sedikit iba kepadanya. Tapi yang diterimanya setelah itu sangat jauh dari apa yang ia perkira. Lelaki itu menyentakkan tangannya dan kembali mendorong anak itu.
“Berani sekali kau! Berani sekali bocah kumal macam dirimu menyentuhku!” lelaki itu membentak. Anak itu kembali tersungkur, tubuh kecilnya pasti lecet di sana sini akibat dorongan itu, ia menangis merasakan pedihnya.
Ternyata, tidak cukup sampai di sana, lelaki itu sekali lagi menendang tubuh ringkihnya, membuat tubuhnya kembali bergesekan dengan jalanan yang kasar.
“Kau pikir kau siapa heh! Menarik-narik bajuku begitu, dasar anak kurang ajar!” dengan segenap hati lelaki itu kembali menedang tubuh kecilnya bak orang tak waras.
Anak itu tergugu, ia tak sanggup untuk melawan, ia hanya dapat meringkukkan tubuh, berharap dapat melindungi kepala kecilnya. Lelaki itu melihat kearahnya, tatapannya berkilat-kilat sarat sekali kalau ia sedang geram setengah mati kepada anak itu. Ia kembali ingin melancarkan aksinya, jika saja teman-temannya tidak menarik dirinya menjauh.
“Kau gila? Dia bisa mati,” ucap si botak. “Sudahlah. Ayo pulang, sudah semakin gelap. Dan tinggalkan bocah itu, aku tak mau menjadi tersangka nantinya,” timpal yang lainnya sambil melirik ke arah anak kecil yang meringkuk itu.
Lelaki itu menatap tajam tubuh ringkih di sana, ia meludah tepat di sebelah kepala anak itu dan berucap, “Lain kali, tak usah bertingkah bocah tengik, cukup menurut lalu kembali pulang.” Lelaki itu lalu membalikkan tubuh melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, disusul teman-temannya.
Tetapi, salah satu dari mereka menghampiri anak itu, ia yang sedari tadi diam akhirnya turun tangan. “Bangun,” ucapnya sambil mengangkat tubuh kurus anak itu. Anak itu mengangkat wajahnya, lelaki itu mengenakan kacamata, dengan wajah dingin menatapnya.
“Pulanglah,” ucapnya lagi setelah anak itu bisa berdiri, ditelisiknya lebih jauh keadaan anak itu, kakinya luka-luka, kotor, dan masih menangis terseguk, setidaknya tidak ada yang serius dari luka-luka itu. Tak ada kata setelahnya, ia yang melangkah pergi, menyusul ketiga temannya yang telah jauh.
Anak itu bergeming, tubuhnya sakit, pedih dan nyeri menjadi satu. Ia masih menangis, apa sekarang? Uangnya habis diambil, apa yang akan ia bawa pulang kali ini? Apa yang harus ia lakukan setelah ini?
Ia pantang pulang sebelum mendapatkan apa-apa. Bukan tuntutan, hanya saja ia tak tega jika nanti Ibunya yang harus bekerja dua kali, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Anak itu meringis, mengusap air mata yang masih setia menuruni pipinya. Ia berjalan terseok-seok menyeret kakinya yang nyeri itu. Tuhan bukankah ini tidak adil? Bukankah jalannya terlalu pahit?
Anak itu sudah bekerja keras hari ini, tapi Kau rebut semua hasil jerih payahnya. Bukankah Tuhan ada untuk membantu umat-Nya yang sedang kesulitan? Di mana Kau saat ini Tuhan? Umat-Mu yang kecil itu tertatih berjalan di atas takdirnya, di mana belas kasih-Mu itu?
Kepala anak itu penuh akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Apa lagi yang harus ia kerjakan kali ini. Hari sudah mulai malam, tidak ada yang membuka pekerjaan di jam begini. Hingga terbesit di pikirannya untuk mencari jalan pintas, mungkin tak apa jika ia mencoba berbuat beberapa dosa.
Tapi tidak, ia tidak boleh, Ibunya tidak mengajarkannya untuk berbuat seperti itu, apa lagi merampas hak orang lain. Ia selalu diajarkan untuk bersyukur dan merasa cukup. Tuhan tahu apa yang ia perbuat, Tuhan akan menolongnya, ia yakin dan ia percaya.
Tuhan itu adil, Ibunya mengajarkannya hal itu, dengan segala keterbatasan yang Ibu miliki. Dan anak itu, ia percaya. Maka ia memantapkan langkah kakinya menuju rumah kecil yang ia tempati. Biarlah hari ini ia pulang dengan tangan kosongnya, karna ia yakin ini bukan rezekinya. Tuhan sedang merencanakan hal yang lebih baik padanya.
Anak itu menyekat air matanya, berjalan menyeret kakinya yang kini berdenyut-denyut menyakitkan, ia meringis setiap kali merasakannya. Tapi tak ada keluhan, bahkan dalam hatinya, anak itu tidak mengeluh. Ia tetap berjalan, menahan rasa sakit itu. Tuhan, kurang apa lagi anak itu, sampai Kau tega sekali kepadanya?
Tapi sepertinya, memang benar jika Tuhan itu tahu apa yang baik untuk umat-Nya.
Anak itu berbelok, lalu berhenti sebentar untuk menyebrang, menuju gang yang semakin kecil di sana, hanya muat untuk pejalan kaki saja. Siapa sangka, mobil hitam mengkilap berhenti di depannya. Ia terkejut dan kebingungan, menyeret kakinya kesamping, berniat menjauh dari mobil itu, sebelum ia melihat siapa yang keluar dari sana.
Seorang wanita, ibu-ibu lebih tepatnya berkisar 50 tahunan keatas, lebih tua dari Ibunya. Tubuhnya sedikit berisi, rambut pendeknya yang ditata rapi sudah memutih di beberapa sisi. Ia mengenakan pakaian yang sederhana tapi tampak berkelas. Anak itu rasa ia pernah melihat wanita ini, tapi di mana?
Wanita itu memandangnya, oh ia ingat sekarang.
“Oh kau!” wanita itu tekejut.
Anak itu buru-buru membungkuk hormat, memperlihatkan kesopanan yang Ibunya ajarkan. Wanita itu masih menatapnya saat ia menegakkan tubuhnya, disertai ringisan kecil dari bibirnya.
Wanita itu mengernyit, lalu menangkap bahunya, saat melihat keadaannya.
“Ya Tuhan, astaga. Apa yang terjadi padamu nak?” wanita itu berucap lembut dengan nada terkejut yang kentara.
Anak itu mengingatnya, wanita inilah yang memborong habis korannya sore tadi. Sungguh kebetulan kah ini? Anak itu menjawab pertanyaan wanita itu dengan berkata bahwa ia tidak apa-apa dan menceritakan kronologis kejadian tadi secara singkat.
“Kau ingin pulang nak?” ucap wania itu selesai ia bercerita. Anak itu mengangguk, “Di mana rumahmu? Biar Ibu antarkan pulang,” ucap wanita itu lagi.
Sia mengelus kepala anak itu lembut. Anak itu pun menunjuk jalan setapak di seberang mereka.
Mereka bersama-sama menyebrang, berjalan menuju rumah anak itu, dengan wanita itu menggandeng lengan kecilnya dan berjalan hati-hati di sebelahnya.
Sesampai di rumahnya, ia langsung membuka pintu, setelah mengetuknya sekali, walau ia tahu ibunya tidak akan bisa mendengar itu. Ia berjalan masuk mencari Ibunya, yang ternyata sedang ada di kamarnya.
Ibu anak itu terkejut saat melihat keadaan anaknya itu. Ia cepat-cepat menghampiri anak itu, dan menggerakkan tangannya, berbahasa isyarat, bertanya mengapa ia menjadi seperti ini. Anak itu menjawab ia tidak apa-apa dan ikut menggerakkan tangannya, mengatakan bahwa ada seseorang di luar yang menunggu mereka.
Saat keluar, betapa terkejutnya Ibu anak itu, melihat seorang wanita berdiri di teras rumah kumuhnya, ia membuka pintu lebar, menyilahkannya masuk kedalam, wanita itu tersenyum lembut dan ikut masuk.
“Aku tadi melihat anakmu di depan jalan sana. Ia sedang mengalami hal buruk, jadi aku putuskan untuk mengantarnya pulang,” ucap wanita itu.
Ibu anak itu menatapnya kebingungan, ia tidak bisa mendengar apa yang wanita itu sampaikan. Wanita itu ikut bingung melihat gerak gerik Ibu anak kecil itu, ada apa? Batinnya bertanya.
“Ibuku tidak bisa mendengar,” tepat sekali, anak itu datang menjawab kebingungannya, sambil meletakkan buku dan pena, beserta segelas air minum sebagai jamuan sederhana.
“Tidak pula bisa berbicara,” sambung anak itu.
Hati wanita itu mencelos, ternyata ini sebabnya, mengapa ia kebingungan saat dirinya berbicara tadi. Wanita itu tersenyum lagi, senyumnya selalu lembut, khas seorang Ibu. Ia meraih buku dan menceritakan siapa dirinya, serta apa yang membuatnya kemari, juga kronologi singkat kejadian yang di alami anak kecil itu.
Ibu anak itu melihat kearah anaknya, secepat setelah ia membaca tulisan itu.
Merengkuh tubuh kurus nan ringkih itu dengan erat. Mengusap kepala anaknya lembut juga mengelus punggungnya, seolah mengatakan tidak apa-apa semua akan baik-baik saja. Saat pelukan itu lepas, anak itu langsung menggerakkan tangannya, meminta maaf karena tidak membawa apa-apa, dengan air mata yang ikut mengalir.
Ibunya mengangguk, menjawab tidak apa-apa sambil menggelengkan kepalanya. Wanita paruh baya yang melihat itupun terenyuh. Menyadari betapa tidak beruntungnya hidup mereka. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas yang sedari tadi di bawanya.
Anak itu melepas pelukan Ibunya, mereka kembali menoleh kearah wanita itu. Dia mengeluarkan sebuah kartu dari tasnya, kartu nama. Wanita itu berucap sambil menulis hal yang ingin ia sampaikan pada sepasang Ibu dan anak itu.
“Itu kartu namaku, beserta alamat tokoku. Melihat ini, hatiku tersentuh, aku hanya ingin menolong karena aku pikir aku mampu melakukannya. Aku harap, kalian mau menerimanya. Ini hanya pertolongan kecil, jika ada sesuatu kalian bisa datang padaku, aku tidak keberatan sama sekali, aku malah akan senang jika bisa membantu.”
Wanita itu kembali membuka tasnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana, kembali menulis, “Ini sedikit tambahan, aku harap ini dapat membantu kalian. Tolong temui aku jika kalian butuh bantuan atau butuh pekerjaan. Aku akan membantu, aku bersungguh-sungguh, dan akan sangat senang untuk itu,” sambung wanita itu setelahnya.
Ibu anak itu tiba-tiba saja berdiri setelah membaca tulisan di kertas itu. Membungkukkan tubunya berkali-kali, hingga wanita itu kelimpungan sendiri menghentikannya. Ia menangis, ‘ya Tuhan, terima kasih. Terima kasih telah menghadirkan orang baik kepada kami’ ucapnya dalam hati.
Wanita itu memeluk ibu anak kecil itu, mengusap-usap punggungnya, menenangkannya.
‘Tuhan, terima kasih sekali lagi. Semoga Kau lancarkan rezeki Ibu ini selalu, semoga Kau memberikan kemudahan untuknya. Berkahi beliau ya Tuhan, berkahi kehidupan orang baik ini," pinta ibu anak itu di dalam hatinya, masih dalam rengkuhan wanita itu.
Karena begitulah, semuanya telah direncanakan, takdir sudah ditetapkan. Ia selalu memberi yang terbaik untuk umat-Nya walaupun bentuk atau jalannya tidak tampak baik di mata kita. Tapi sesungguhnya, itulah yang terbaik dalam penglihatan-Nya yang Maha Tahu itu. Entah sebagai sebuah kebetulan atau tidak, Tuhan tahu apa yang Ia perbuat pastinya.
Wanita itu yang awalnya hanya berniat singgah ke toko kelontong di pinggir jalan tadi, malah berakhir di sini. Bersama orang-orang kuat ini. Membuatnya tersadar, masih banyaknya orang-orang yang tidak beruntung. Orang-orang yang berjuang keras demi bertahan hidup, diingar bingarnya dunia saat ini.
Anak itu tersenyum, Ibu benar. Jika ia percaya, terus bersabar dan berusaha, Tuhan akan mengabulkan doa-doanya. Tuhan tahu dan Ia akan membantu. Semuanya terasa lega sekarang, perjalanan ini mengajarkannya banyak hal, membuatnya kuat dan menjadi dewasa.(**)
Marhami Wasyifa. Lahir di Sungailiat, 30 April 2005. Saat ini menmpuh pendidikan di SMA Negeri 1 Pemali, Kabupaten Bangka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: