Yatim Etika Kepada Anak Yatim

Yatim Etika Kepada Anak Yatim

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya-babelpos.id-

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

SEDARI dulu, bathin saya sedih banget ketika acara buka Puasa Bersama, ada puluhan anak yatim diminta berdiri di depan, lalu diberikan amplop atau hadiah. Kita masih yatim etika kepada anak yatim.

Anak Yatim dan Piatu adalah mereka yang telah kehilangan kasih sayang dari salah satu atau kedua orangtua kandungnya. Mereka adalah anak-anak negeri, anak-anak kita semua. Watak dasar anak-anak adalah keceriaan dan kebahagiaan. Hari-harinya adalah bermain dan mengolah diri untuk trampil dalam segala hal yang menceriakan.

Anak-anak membutuhkan kasih sayang, bukan dijadikan objek bagi  orang dewasa untuk mengangkat diri, berkegiatan apalagi pencitraan. Orang-orang dewasa yang tidak memahami kejiwaan anak-anak akan mudah menjadikan sosok anak-anak sekedar objek, terlebih anak-anak yatim piatu.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana saya seringkali membathin dan protes yang berkaitan dengan perilaku orang dewasa terhadap anak-anak Yatim atau Piatu dari berbagai Panti Asuhan. Saya sering “menangis” dalam bathin ketika melihat dalam sebuah kegiatan yang dihadiri banyak orang, anak-anak yatim itu berjejer berdiri diatas panggung. Lantas “Sang Pahlawan” berwujud orang dewasa dengan gagah berani membagikan amplop dan anak-anak itu mencium tangannya. Begitulah “peragaan” yang paling sering saya saksikan dan hampir kadangkala saya ingin teriak perlakukan seperti itu. Ini terus berulang, baik dikalangan pejabat, hartawan, BUMN, tokoh yang memiliki kelebihan rezeki, bahkan kadangkala dengan bangganya Sang Ustadz berkoar-koar didalamnya memuji “sang pemberi rezeki” kepada anak yatim berwujud orang dewasa yang angkuh.

Niat baik, pastinya harus diiringi dengan cara dan adab yang baik. Apalagi berkaitan dengan sisi kemanusiaan terlebih lagi adalah anak-anak dan terlebih lagi adalah anak-anak yatim. Anak-anak adalah peniru dan pengenang yang paling hebat dan kuat. Jadi, jangan pernah main-main sama anak-anak. bahkan berbuat baik saja kepada anak-anak, maka oleh mereka kita dididik untuk istiqomah. Bagaimana itu? Kalau kita terbiasa memberikan mainan atau permen kepada anak-anak, maka suatu hari ada saatnya kita lupa memberi, maka pasti akan ditagih. Begitulah sifat anak-anak, mereka sesungguhnya adalah pendidik kita orang dewasa, bukan hanya kita orang dewasa yang mendidik anak-anak.

Kisah nyata, Allahuyarham K.H. Ahmad Hijazi, memiliki kebiasaan memberi permen kepada anak-anak. Setiap pagi dan sore hari, selesai memberikan makan ayam-ayam di kandang samping rumahnya di area Pesantren, Pak Kiyai duduk didepan teras sambil menggendong 1 buah toples yang berisi aneka ragam permen. Selanjutnya anak-anak seusia Ibtidaiyah (SD) dan Diniyah yang lewat hendak sekolah dipanggil satu persatu lalu antri. Kepada anak-anak itu, beliau bagikan permen sambil satu persatu kepala anak-anak itu dielus. Tidak hanya itu, pun ketika beliau bertemu anak-anak dijalan, jika ada permen di kantong baju atau celananya, pasti disedekahkan permen kepada anak yang ia temui. 

Berbagi (sedekah) permen kepada anak-anak ini menjadi rutinitas atau kebiasaan K.H. Ahmad Hijazi. Yang namanya kebiasaan atau rutinitas kepada anak-anak, pasti akan melekat pada diri mereka sampai kapan pun. Jika suatu hari kita lupa atau tidak ada, mereka anak-anak ini pasti menunggu atau menagih. Makanya ada kalimat “jangan pernah berjanji pada anak-anak, karena akan pasti ditagih”. 

Pun demikian yang dialami oleh Kiyai Ahmad Hijazi. Karena rutinitas yang menjadi kebiasaan ini, suatu sore beliau kecapean dan tertidur karena mungkin badan juga lagi kurang sehat. Tapi yang namanya anak-anak sudah menunggu dan “menagih”. Lalu Pak Kiyai Hijazi yang tertidur dikamarnya diteriakan oleh anak-anak: “Pak Ustadz Kiyai…. permennya mana?”. Mendengar teriakan berupa “tagihan” itu, Pak Kiyai pun bangun dan mengambil permen yang memang selalu tersedia dan segera menemui “rombongan debt collector” lucu dan polos ini. Walau badan lelah dan kurang sehat, namun senyuman tetaplah ramah seraya tangan membagikan dan mengelus kepala anak-anak itu.   

***

RAMADHAN disebut sebagai bulan tarbiyah atau pendidikan sebab didalam ibadah Ramadhan penuh dengan nilai pendidikan yang tidak didapatkan pada bulan-bulan lainnya. Tapi justru dibulan pendidikan ini, seringkali kita abai mendidik diri kita terhadap anak-anak yatim. Adab dan etika kita dalam memberi kepada anak yatim justru kita orang dewasa yatim terhadap etika dan adab.

Ketika anak-anak itu diundang ke sebuah acara para pembesar, mereka dikesampingkan saat acara berlangsung. Pada acara berikutnya, mereka dijejerin didepan, diberikan santunan dan mencium tangan sang pemberi. Bayangkan itu adalah diri anda, bayangkan itu adalah anak-anak anda, bayangkan itu adalah keluarga anda. Berhargakah kala dijejerin dan menerima sedekah dengan cara demikian? Bukankah lebih baik santunan tersebut cukup kepada pengurusnya, sedangkan anak-anak yatim itu diberi kebahagiaan dalam kegiatan ala mereka saja? Bukankah harusnya yang kita berikan adalah kebahagiaan bathin dan keceriaan sesuai kebutuhan mereka?

Suatu hari, saya ngobrol dengan anak-anak yatim di sebuah Panti Asuhan dipinggiran Kota Pangkalpinang. Sumpah, saya tidak membawa apa-apa, apalagi santunan seperi para hartawan. Saya datang hanya sekedar ingin kumpul-kumpul sama mereka. Saat ngumpul itulah saya tanya: “Kalau ada orang datang kesini, kalian itu sukanya dikasih apa sih?” mereka menjawab beraneka macam. Ada yang menjawab dikasih coklat dengan menyebut merek, ada yang menjawab dikasih permen, dikasih peralatan sekolah, mainan dan sebagainya. Ternyata tidak ada yang kepengen dikasih duit atau makanan wah. Ada yang menjawab juga “bakso” dan “Siomay”. 

Sepulang dari Panti tersebut, saya ceritakan pada isteri pengalaman saya bersama anak-anak yatim di Panti tersebut. Akhirnya ketika ada sedikit rezeki, isteri saya sibuk membelikan permen, coklat, cemilan dan lain sebagainya. Lantas barang-barang murah meriah itu dibungkusin kado ala anak-anak sesuai dengan jumlah anak-anak di Panti Asuhan. Selanjutnya, kami bersama ke Panti Asuhan. Tak lupa sebelum ke Panti Asuhan, saya menemui penjual Bakso dan Siomay yang membawa gerobaknya dengan sepeda motor. Kepada mereka saya minta datang ke Panti Asuhan yang saya sebutkan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: