Ure-Ure, Nasihat Adat Yang Terlupakan
--
Oleh Adi Guna (Pemerhati Sejarah dan Budaya Belitung Timur)
Melayu Belitung memiliki nilai-nilai kemelayuan yang terkandung dalam adat istiadat. Meskipun tidak tertulis, nilai-nilai tersebut cenderung ditaati masyarakat adat sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan. Adat menjadi nilai kebaikan yang telah berlangsung sejak lama secara turun temurun. Adat tidak hanya bicara tentang pantang larang atau apa yang dilakukan dan ditinggalkan, tetapi juga nilai-nilai tentang nasihat dan moralitas yang disebut dengan ure-ure atau andik-andik.
Keberadaan ure-ure adalah sesuatu yang adati dan berperan memandu seseorang untuk mengerti hal yang baik dan buruk serta sikap yang harus dilakukan dan ditinggalkan. Implementasinya berperan dalam transmisi pesan-pesan kebaikan dari orang ke orang lainnya sehingga dapat mendukung terbentuknya komunitas adat yang ideal. Hal tersebut ditandai dengan ekosistem kebudayaan yang mencerminkan keataan kepada Tuhan, harmonis dalam hubungan sosial, dan peduli pada alam sekitar.
Bentuk ure-ure kian beragam yang berupa peribahasa, pantun, ungkapan, cerita rakyat, dan petuah. Praktik tradisi lisan ini dilisankan secara langsung dengan menggunakan bahasa kiasan dan halus sehingga orang tidak tersinggung atau marah ketika diberi nasihat. Siapa pun boleh melakukannya, mulai dari tokoh adat, orang tua, hingga dari satu orang ke orang lainnya. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
Ure-Ure dalam Peribahasa
Ure-ure dapat ditemui dalam peribahasa batak lema batak dititi, batak lemak batak de suduk, yang berarti ‘sudah tahu kayunya lemah. masih saja dibuat titian, sudah tau hanya lemak (bukan daging), masih saja disendok untuk dimakan’. Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang melakukan perbuatan salah atau keliru meskipun sudah diberitahu berulang kali. Peribahasa ini mengajari kita agar meninggalkan perbuatan yang salah apalagi sudah diberi nasihat oleh orang lain.
Ure-ure juga dapat ditemui dalam peribahasa irau madu, irau kumbang, madu berai, kumbang betaik, yang artinya ‘riuh suara lebah madu, riuh pula suara kumbang, lebah madu menghasilkan air madu, sedangkan kumbang hanya menghasilkan kotoran’. Peribahasa ini mengajak kita untuk tidak ikut-ikutan dalam melakukan sesuatu sebab bisa saja orang lain mendapat untung sedangkan kita mendapat rugi. Peribahasa ini mengajak kita untuk lebih memahami kondisi dan kemampuan kita agar tidak perlu ikut-ikutan dalam melakukan pekerjaan, tetapi sesuaikanlah dengan kemampuan kita sehingga tidak merugi, misalnya dalam keuangan.
Ure-Ure dalam Ungkapan
Sebagian ungkapan menggambarkan perilaku binatang. Hal ini berangkat dari pengetahuan empiris masyarakat. Contohnya terdapat pada ungkapan kai ngambin bejawak idup, yang berarti ‘seperti mengendong biawak yang masih hidup’. Kita bisa membayangkan jika kita menggendong biawak yang besar dan memiliki cakar yang panjang dan gigi yang tajam dan penuh bakteri. Hal itu pasti akan menyebabkan kesulitan, bahkan mungkin menggigit, mencakar, hingga membunuh kita. Begitulah makna ungkapan ini. Akan sangat menyulitkan jika kita berteman dengan seseorang yang tidak tahu diri, bahkan dapat menyengsarajan kita. Tentunya, kita perlu menjauhi orang seperti itu dan juga tidak bersikap seperti biawak yang dimaksud.
Seseorang sepatutnya tidak melakukan hal yang sia-sia. Hal tersebut juga dapat dilihat pada ungkapan kai nulakek aik ke ulu, yang artinya ‘seperti mendorong air ke arah hulu’. Maksud ungkapan ini adalah melakukan perbuatan yang tidak mungkin karena hanya akan membuat diri menjadi lelah dan tidak ada hasilnya sama sekali. Ungkapan ini mengajari kita agar meninggalkan perbuatan yang sia-sia atau tidak berguna karena tidak ada manfaatnya sama sekali.
Ure-Ure dalam Petuah
Dalam sebuah petuah disebutkan jan najamek duri bang utan, yang bermakna ‘jangan menajamkan duri tumbuhan di hutan’. Arti petuah ini ialah janganlah kita menajamkan duri tumbuhan di hutan karena tanpa ditajamkan pun ia sudah tajam dan dapat melukai. Petuah ini mengandung makna bahwa kita tidak boleh memperkeruh masalah akibat pertengkaran seseorang, sebab akan menambah masalah itu menjadi lebih besar. Dengan kata lain, kita sebaiknya tidak ikut campur dalam masalah orang lain jika tidak dapat memberi solusi dan hanya akan menambah masalah baru.
Memaknai kembali Ure-Ure
Sedemikian besar makna adati ure-ure, sayangnya tidak menjamin keberadaannya tetap mengakar kuat di tengah komunitas Melayu Belitung hari ini. Perlahan nasihat ini semakin ditinggalkan, bahkan semakin sedikit generasi muda yang mengerti maknanya. Di sinilah arti pentingnya tulisan ini, yaitu untuk mengajak kembali masyarakat melakukan reposisi atas makna dan eksistensi ure-ure. Dengan menjaga keberadaannya, kita tidak hanya menjaga nilai-nilainya, tetapi juga menjaga kosakata lama yang semakin pupus digerus zaman. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi para pembaca.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: