Leader dan Dealer

Leader dan Dealer

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/ Pemerhati Sosial Budaya

ADA pemimpin yang merasa LEADER dalam suatu daerah, padahal tanpa ia sadari dirinya adalah DEALER, yang sibuk dengan pencitraan diri dengan berbagai bentuk, termasuk meng-endorse PLN alias listrik mati!!! Dikritik malah BAPER. 

Demokrasi kita masih dalam kategori menciptakan manusia menjadi pejabat, terlebih lagi pejabat kelas “ngerapik” dan “ngeleleng”, sekaligus mengorbankan orang-orang yang berkarakter pemimpin. Sebab, ada perbedaan yang sangat jauh antara “pejabat” dan “pemimpin”. Namun di era demokrasi yang kian bablas seperti sekarang ini, keduanya seperti tak lagi dibedakan. Semua orang bisa menjadi “pejabat”, tapi tidak semua orang bisa menjadi “pemimpin” apalagi sekelas leader. Seorang pejabat belum tentu berkarakter pemimpin dan seorang pemimpin juga belum tentu dia adalah seorang pejabat.

Namun tak sedikit pejabat yang merasa diri sudah menjadi pemimpin atau meminta diperlakukan sebagai pemimpin. Padahal kemampuan diri dan jabatan yang ia duduki nyatanya tak memiliki pengaruh positif apapun terhadap masyarakat. Jangankan ditengah masyarakat, di lingkungan intansinya sendiri belum tentu dia bisa diterima atau diakui sebagai seorang pemimpin. Keberadaannya dirinya sebagai pejabat hanya sekadar aji mumpung atau karena “kegilaannya” terhadap sebuah jabatan. 

Pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan mempengaruhi lingkungannya, diminta ataupun tidak, karena keberadaannya memang memberikan arti bagi lingkungan dimana ia berada. Sebaliknya, lingkungannya pun juga akan memberikan pengakuan dengan mengikuti arahan, bimbingan, tuntunan atau contoh teladannya tanpa diminta atau merasa diperintah.

Pemimpin adalah orang merdeka, tidak berkerja berdasarkan batasan uraian tugas, apalagi hanya sesuai dengan fasilitas yang diterimanya. Seorang pemimpin bekerja karena panggilan nuraninya untuk berbuat yang berarti bagi lingkungannya. Bahkan ia tidak mengharapkan imbalan atau siap menjadi tumbal bagi kepemimpinannya. 

Pemimpin tidak harus membutuhkan SK, sehingga tidak terbatas waktunya. Pengaruh orang yang bertipikal pemimpin jauh lebih luas dibandingkan pejabat.  Seorang pemimpin memiliki kemampuan horizontal yang cenderung juga tak terbatas. Dalam kepemimpinannya bertopang pada panutan sedangkan seorang pejabat tergantung suka dan tidak suka sang atasannya. Orang yang berkarakter pemimpin juga tidak memerlukan atribut, sedangkan pejabat adalah orang yang memimpin dengan atribut serta tetek bengek lainnya. 

Leader, Dealer & Baper

MENJADI pemimpin ditengah orang-orang yang cerdas, yang mengerti kepemimpinan, idealis dan kritis memang tidak mudah. Ia membutuhkan kekuatan bathin dan telinga serta hati yang peka. Kemampuan maksimal pada kepemimpinan yang tak butuh citra adalah salah satu cara melewati itu semua. seorang pemimpin yang hanya menerima puji tak mau dikritisi, gampang “merteng” kala ditentang adalah perilaku pemimpin sekelas Taman Kanak-Kanak (TK). Semoga murid TK tidak tersinggung dengan pernyataan ini.

Seorang pejabat yang belum dewasa dalam sikap dan perilaku serta ucap, maka belum layak disebut pemimpin apalagi leader. Ia hanya duduk dalam jabatan, namun belum berjiwa pemimpin apalagi leader. Kran demokrasi telah banyak melahirkan orang-orang yang hanya berebut jabatan dan duduk di jabatan yang diharapkan, tanpa menyadari bahwa ternyata dirinya tak berjiwa pemimpin apalagi leader. Ketidakdewasaan rakyat dalam memilih pemimpin adalah salah satu faktor banyaknya lahir badut-badut politik atau pejabat yang menjadi badut. Sayangnya, kaum penjilat paling senang mendekati pejabat kelas ini karena gampang dibodohi.

Kalau kaum idealis umumnya akan menghindar dan mentertawakan dari jauh. Sebab, berdekatan dengan pemimpin seperti ini, kalau bisa memuji, gampang memberi tempat agar sang pejabat populer, lalu dibuat citra seakan-akan paling hebat, pelopor, pertama kali terjadi, yang penting ramai dan kalimat-kalimat lainnya, biasanya cuan bakalan cair dan sang pejabat tersenyum lebar. Pejabat seperti ini yang saya sebut bermental “Dealer” bukan “Leader” dan gampang “Baper”. Dikritisi sedikit langsung “baper”. 

Delaer Dikira Leader

HIRUK PIKUK politik akhir-akhir ini menjadi cermin bagi kita semua, bahwa demokrasi yang terlalu liar kerapkali melahirkan manusia-manusia yang sibuk mendapatkan kursi tapi minim dalam prestasi. Tanpa mengukur kemampuan diri yang dalam istilah orang Bangka “dak ngukor bajuk di badan” namun syahwat menjadi pejabat terlalu besar untuk dibendung. Bangga duduk terdepan dalam setiap kegiatan, tapi diminta bicara saja tak mampu apalagi menelorkan konsep (ide brilian) dan mengaplikasikan konsep tersebut dalam kerja nyata. 

Akhirnya yang terjadi kita krisis kepemimpinan, baik ditingkat lokal maupun di skala nasional. Karena pada kenyataan hari ini, orang-orang yang kita sebut pemimpin ternyata hanyalah sekedar pejabat bahkan dalam politik sekarang dikenal sebagai petugas partai. Ini membuktikan bahwa seorang yang seharusnya kita sebut sebagai pemimpin hanyalah petugas partai yang harus tunduk, merunduk, meringkuk, bahkan kalau perlu sembah sujud kepada Ketua Umum Partai dimana ia dulu berada atau diusung. Hal ini hanya terjadi di negeri burung Garuda Pancasila. Orang yang seharusnya kita percaya sebagai pemimpin nyatanya hanya sekelas pejabat yang tidak memiliki kedaulatan pribadi, sehingga muncul pertanyaan ringan, bagaimana ia harus menjaga kedaulatan negeri jika kedaulatan pribadi saja ia tak punya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: