Sistem Kun/Kong Atau Dagtaak
Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
BERDASARKAN data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mencatat indikator tingkat ketimpangan kesenjangan pendapatan dan kekayaan serta pengeluaran secara menyeluruh atau Rasio Gini di Bangka Belitung pada September 2022 terendah se-Indonesia yaitu 0,255.
Salah satu faktor yang menyebabkan Rasio Gini Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan analisa historis adalah karena masyarakat sudah terbiasa bekerja dengan standar yang disebut dengan sistem Kung/Kong atau Dagtaak. Masyarakat Kepulauan Bangka Belitung sudah terbiasa bekerja dengan standarisasi tertentu. Koefisien Gini atau Rasio Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilità e mutabilità. Koefisien Gini digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Koefisien Gini memiliki indeks yang memiliki rentang nilai antara 0 sampai dengan 1. Nilai 0 berarti tidak ada kesenjangan ekonomi, atau perekonomian merata pada daerah tersebut. Sementara itu, nilai 1 menunjukkan nilai kesenjangan maksimal. Nilai Koefisien < menunjukkan Tingkat ketimpangan rendah, 0,4-0,5 menunjukkan Tingkat ketimpangan sedang dan > 0,5 menunjukkan Tingkat ketimpangan Tinggi
Sistem Kung atau Kong atau Dagtaak adalah Sistem Kerja dan pengupahan atau penggajian di pulau Bangka yang masih berlaku sejak masa Pemerintah Kolonial Belanda hingga sekarang adalah sistem Kong atau Kung dan dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan sistem Dagtaak. Sistem kerja dan upah kerja Kung atau Kong sangat populer di pulau Bangka sehingga arti Kung atau Kong kemudian meluas artinya kepada penyebutan jenis pekerjaan tertentu yang menerima upah harian dengan sebutan kerja “Ngelangkung”, kemudian dikenal juga istilah “Makan Kung”, yang berarti pekerja dalam menyelesaikan satu pekerjaan tidak efektif dan efisien, sehingga hasil kerja tidak memuaskan dan biasanya pekerja yang makan kung langsung diberhentikan.
Sistem Kung dan Kong awalnya diberlakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda terhadap pekerja-pekerja tambang di parit-parit penambangan Timah. Sistem kerja dan pembayaran upah didasarkan atas lamanya waktu bekerja menyelesaikan satu pekerjaan berdasarkan perhitungan waktu kerja sehari, biasanya berkisar 8 hingga 9 jam. Waktu kerja tersebut disebut dihitung “satu Kung” atau bisa separuh dari waktu kerja dan dihitung dengan ukuran “setengah Kung”. Perhitungan Kung juga ditentukan berdasarkan kualitas dan kuantitas kerja seperti jumlah tanah yang digali, jumlah tanah yang diangkat serta jumlah pasir Timah yang diperoleh di Parit penambangan. Upah pekerja biasanya dibayar setiap Tiga hari yaitu hari Rabu atau hari Sabtu berdasarkan jumlah Kung yang dicapai oleh seorang pekerja tambang, tergantung pada kontrak kerja yang ditandatangani ketika menjadi pekerja.
Umumnya para pekerja tambang Timah, bekerja sekitar 360 hari dalam setahun, waktu libur hanya diberikan selama Lima atau Enam hari, biasanya bertepatan pada saat perayaan Imlek atau pesta pernikahan atau hari hari tertentu yang harus memperoleh izin dari kepala tambang atau kepala parit. Sistem perhitungan Kung atau Kong penggunaannya sekarang tidak hanya pada pekerjaan di tambang saja, misalnya dalam pekerjaan fisik bangunan, sistem Kung atau Kong diterapkan dengan perhitungan, dalam sehari pekerja harus menyelesaikan penyusunan batu pondasi (batu gunung) dengan standar berapa meter, penyusunan batu bata merah dengan standar berapa meter, penyusunan keramik dan plesteran dinding dengan standar berapa meter. Dalam pekerjaan lainnya seperti memetik Lada sistem ini juga digunakan dengan hitungan, berapa karung atau kaleng dalam sehari Lada yang harus dipetik. Dengan adanya standar upah dan standar kwantitas/kwalitas kerja serta adanya standar waktu kerja yang berlaku dalam sistem Kung atau Kong dapat diasumsikan bahwa tingkat gini rasio masyarakat pulau Bangka sangat kecil. Kesenjangan pendapatan yang kecil antar penduduk karena adanya standarisasi dalam cara bekerja dan upah bekerja serta waktu bekerja.
Sistem Kung dan Kong juga mengatur tentang waktu istirahat, dan pihak yang bertanggungjawab menanggung makan dan minum pekerja termasuk tempat tinggal pekerja. Waktu istirahat ditandai dengan minum kopi Panchok. Pada masa lalu para pekerja tambang mendapatkan jatah Beras sekitar 65 pikul sebulan. Beras tersebut di samping untuk dikonsumsi juga digunakan untuk membuat minuman keras yang disebut arak atau ciu. Arak atau ciu biasanya dikonsumsi para pekerja dan mabuk-mabukan adalah hal yang biasa dalam lingkungan pekerja tambang. Ciu atau arak yang baik kualitasnya adalah yang dibuat oleh pribadi bukan ciu atau arak yang diproduksi secara massal. Pada masa Kolonial, pekerja tambang Timah umumnya tinggal di barak-barak sederhana atau dalam bahasa Melayu Bangka disebut dengan Bedeng atau rumah Kepung (rumah kongsi), untuk membedakan dengan rumah Panggung (rumah keluarga Batih pribumi Bangka) dan rumah Gedung atau gedong, yaitu rumah besar milik marga atau milik kepala-kepala parit penambangan Timah (paritheew).
Pada awalnya sistem Kung (Kong) atau Dagtaak diberlakukan kepada Sinkeh (pekerja tambang Timah yang masih terikat kepada kontrak pertambangan) maupun kepada Laukeh (pekerja tambang yang tidak terikat lagi pada kontrak pertambangan). Untuk mengikat para pekerja tambang agar tidak pulang ke negeri asalnya banyak cara yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda, misalnya dengan menaikkan upah kerja satu Kung berdasarkan tahun kontrak, membayar upah dengan uang tembaga Belanda yang tidak berlaku di daratan Cina, atau membayar gaji pekerja tambang dengan uang pitis atau picis yang hanya berlaku dalam lingkungan kongsi atau distrik saja. Sejak masa Susuhunan sultan Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803) masing masing kongsi penambangan Timah diberikan kesempatan untuk mencetak uang sendiri dari Timah. Dengan pembayaran seperti itu, para pekerja tambang terikat dan tidak dapat mengirimkan gajinya kepada keluarga dari tempat asalnya. Di samping itu pemerintah Belanda juga mendirikan beberapa tempat hiburan seperti rumah judi, rumah candu dan rumah tempat pelacuran. Biasanya tempat-tempat hiburan seperti rumah candu, rumah judi dan tempat pelacuran sangat ramai dikunjungi setelah para pekerja tambang menerima gaji dan upah. Akibat upah atau gaji yang diperoleh banyak dihambur-hamburkan untuk bersenang-senang, maka mayoritas pekerja tambang tidak dapat kembali pulang ke negeri asalnya dan banyak juga yang terlibat hutang kepada kongsi-kongsi penambangan. Hutang ini terjadi karena madat atau candu serta kehidupan di tambang yang susah, para pekerja tambang hanya memilki waktu luang yang sedikit, tidak memiliki tabungan (tin potje), dan hilangnya kebebasan karena harus minta izin bila meninggalkan tambang karena terikat pada kontrak, serta pekerja tambangpun harus memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya yang lain seperti, belanjaan kebutuhan kecil, teh, tembakau, daging serta kebutuhan lainnya termasuk pakaian, sementara gaji atau upah yang diperoleh harus dipotong untuk angsuran kontrak kerja dan biaya ongkos kedatangan ke Bangka dari tempat berasal. Kondisi para pekerja tambang Timah di Bangka digambarkan oleh ahli geologi Posewitz, pada tahun 1886, sebagaimana dikutip oleh Heidhues (2008:75): “Kebanyakan Singkeh dipaksa, karena mereka tidak punya kredit dan uang tunai untuk membeli barang kebutuhan mereka, pakaian, tembakau, teh dan sebagainya dari kongsi dengan harga tinggi,oleh karena itu mereka biasanya masih berhutang pada akhir tahun pertama mereka..., selanjutnya dikatakan keadaan para pekerja tidak membuat orang iri, pekerjaan mereka berat, waktu luang sedikit, dan mereka harus membeli seluruh kebutuhan sehari hari dari kongsi, yang membeli tembakau, teh dan sebagainya secara grosir dari pedagang Tionghoa dan menjual kembali barang-barang ini kepada pekerja tambang. Sering dengan keuntungan 100-300 persen. Pekerja yang baik yang memiliki kredit dapat membeli barang-barang tersebut langsung dari para pedagang, tetapi ini pengecualian”.
Berdasarkan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851, nomor 42, pemerintah Kolonial Belanda memperoleh penghasilan resmi yang cukup besar dari rumah Candu yaitu sekitar 53.000 gulden, dari rumah Judi sekitar 4.305 gulden dan dari Po dan Topho sekitar 9.200 gulden pada tahun 1851 Masehi. Dalam peta Resident Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen dienst in 1928-1929 Blad 34/XXV d, atau pada saat peta ini dibuat Tahun 1928, masih tercatat dengan jelas letak atau lokasi Opiumregie (Gudang Opium) di Kota Pangkalpinang. Perjudian secara khusus dan sangat ramai dilakukan terutama pada saat perayaan Imlek, ketika para pekerja tambang mendapatkan bonus bekerja selama satu tahun. Kalah berjudi menyebabkan seorang pekerja akan terikat hutang dan akan tetap bekerja di pertambangan. Untuk menutup kekalahan berjudi biasanya pekerja meminjam uang kepada kepala kongsi dengan bunga yang tinggi sekitar 50 persen pertahun. Meskipun rumah judi tidak tersedia lagi akan tetapi tradisi berjudi terus berlanjut setelah masa kemerdekaan sebelum perjudian dilarang secara resmi oleh Negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: