Permen & Minyak Wangi Kiai Hijazi

Permen & Minyak Wangi Kiai Hijazi

--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

SELALU ngantongin minyak wangi dan dibagikan kepada orang yang ditemui, bahkan kantong baju Koko saat menghembuskan nafas terakhir, masih menyimpan 2 botol minyak wangi. Membagikan permen kepada anak-anak adalah kebiasaan unik Sang Kiyai Hijazi. “Pak Ustadz Kiyai, Permennya Mana?!” teriak rombongan anak-anak kala beliau tidur dikamarnya.

BARU 5 hari lalu (Senin/13/2023) Bangka Belitung dirundung kabut duka yang mendalam. Sosok Kiyai Kharismatik yang meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang telah pergi menghadap Sang Khalik. Ribuan jama’ah menyolatkan dan mengantar Sang Kiyai Kharismatik ini ke peristirahatan terakhirnya di Desa Kemuja. Hari itu, suasana Desa Kemuja bagaikan sedang tumpah ruah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, sebab begitu ramai dan jalanan macet total. Suasana mendung dan gerimis mengiringi ribuan umat yang memenuhi jalanan.

Beberapa hari lalu, ketika tulisan saya tentang wafatnya beliau di harian Babel Pos dimuat di halaman depan, serta beberapa video kenangan tentang beliau yang saya upload di media sosial, ternyata banyak tokoh, sahabat dan alumni, meminta saya segera menuliskan biografi dan merekam kembali jejak serta amalan, juga kebiasaan-kebiasaan (unik namun bermakna) Kiyai Kharismatik yang baru saja meninggalkan kita semua, K.H. Ahmad Hijazi bin Jemain. Setuju! saya pun meminta izin kepada putra pertama beliau yang sekaligus sahabat karib, Muammar dan isteri tercinta Sang Kiyai, Ibu Nyai Hj. Maimunah, bahwa saya ingin menulis buku biografi Sang Kiyai serta 1 buah buku lagi yang berisi testimoni orang-orang yang pernah mengenal dekat beliau serta para alumni/murid-murid beliau di Pesantren Al-Islam Kemuja. Kepada Pengurus Pesantren Al-Islam Kemuja dan keluarga, saya katakan jika buku ini nanti benar-benar ada, maka ia sebagai hadiah dari para murid Sang Kiyai yang kita cintai bersama.

“Pak Ustadz Kiyai, Permennya Mana?”

KALAU diantara pembaca tulisan ini hadir pada acara pemakaman K.H.Ahmad Hijazi atau melihat video-video dan fhoto pemakaman beliau, maka terlihat banyak sekali anak-anak. Tidak hanya orangtua, laki-laki atau perempuan, pejabat maupun rakyat, santri ataukah kiyai, kelompok alim maupun kelompok awam, tapi ternyata ada ratusan anak-anak turut menghadiri pemakaman Sang Kiyai ini. Apakah anak-anak ini sekedar ikut-ikutan atau memang sosok Sang Kiyai melekat pada diri mereka? Mengapa anak-anak itu berlari-larian mengikuti orang-orang dewasa yang menggotong keranda? Mengapa anak-anak itu yang umumnya berwajah ceria, pada hari itu juga nampak turut berduka? Saya melihat langkah kecil dari kaki anak-anak yang berlarian dengan wajah nampak turut berduka. Entahlah… tapi yang pasti saya ingin menuliskan bahwa ada sesuatu yang membuat sosok Sang Kiyai ini melekat pada diri anak-anak. Ringan namun berkesan, singkat namun melekat. 

Setiap pagi dan sore hari, selesai memberikan makan ayam-ayam di kandang samping rumahnya di area Pesantren, Pak Kiyai duduk didepan teras sambil menggendong 1 buah toples yang berisi aneka ragam permen. Selanjutnya anak-anak seusia Ibtidaiyah (SD) dan Diniyah yang lewat hendak sekolah dipanggil satu persatu lalu antri. Kepada anak-anak itu, beliau bagikan permen sambil satu persatu kepala anak-anak itu dielus. Tidak hanya itu, pun ketika beliau bertemu anak-anak dijalan, jika ada permen di kantong baju atau celananya, pasti disedekahkan permen kepada anak yang ia temui. Jika orangtua seperti saya misalnya, datang silaturrahim ke kediaman beliau membawa anak, pasti ada oleh-oleh untuk anak kita, minimal permen. Bahkan kalau tidak ada permen kadang dikasih uang entah itu Rp. 5.000,- atau Rp. 10.000,-. 

Berbagi (sedekah) permen kepada anak-anak ini menjadi rutinitas atau kebiasaan K.H. Ahmad Hijazi. Yang namanya kebiasaan atau rutinitas kepada anak-anak, pasti akan melekat pada diri mereka sampai kapan pun. Jika suatu hari kita lupa atau tidak ada, mereka anak-anak ini pasti menunggu atau menagih. Makanya ada kalimat “jangan pernah berjanji pada anak-anak, karena akan pasti ditagih”. Tidak percaya, bolehlah dicoba. Dalam peristiwa yang berbeda pernah berulangkali terjadi pada saya, yakni “pasti ditagih”.

Pun demikian yang dialami oleh Kiyai Ahmad Hijazi. Karena rutinitas yang menjadi kebiasaan ini, suatu sore beliau kecapean dan tertidur karena mungkin badan juga lagi kurang sehat. Tapi yang namanya anak-anak sudah menunggu dan “menagih”. Lalu Pak Kiyai Hijazi yang tertidur dikamarnya diteriakan oleh anak-anak: “Pak Ustadz Kiyai…. permennya mana?”. Mendengar teriakan berupa “tagihan” itu, Pak Kiyai pun bangun dan mengambil permen yang memang selalu tersedia dan segera menemui “rombongan debt collector” lucu dan polos ini. Walau badan lelah dan kurang sehat, namun senyuman tetaplah ramah seraya tangan membagikan dan mengelus kepala anak-anak itu.   

Sejak 5 hari lalu, tak ada lagi anak-anak mendapatkan permen dari “Pak Ustadz Kiyai”, tak ada lagi elusan lembut dari tangan Ulama Kharismatik yang tegas namun humoris yang menunjukkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak-anak melalui permen. Sejak 5 hari lalu, anak-anak itu kehilangan orangtua yang baik dan ramah anak, kehilangan permen dari tangan “Pak Ustadz Kiyai”, kehilangan cinta dan kasih sayang yang selama ini selalu mereka dapatkan. Ringan namun berkesan, singkat namun melekat. Sang kiyai Hijazi mendidik melalui cinta dan kasih sayang yang sederhana, melalui “permen”. Tak ada lagi antrian dan teriakan lucu dan polos: “Pak Ustadz Kiyai, mana permennya….”. Melalui permen dan elusan tangannya, dibuktikan dengan kedekatan serta kerinduan anak-anak polos itu pada sosok beliau, K.H. Ahmad Hijazi layak disebut sebagai KRA (Kiyai Ramah Anak).

Filosofi Minyak Wangi Sang Kiyai

Siapa yang pernah mendapatkan minyak wangi dari Sang Kiyai Hijazi? Saya yakin sudah ratusan orang bahkan jangan-jangan lebih. Tak perlu dihitung karena itu tidak penting, sebab memberi (sedekah) tak boleh ada hitungan. Yang pasti, melalui minyak wangi, itulah salah satu cara beliau mengakrabkan diri kepada orang yang beliau temui. Siapapun itu, mau pejabat, rakyat biasa, remaja, santri, ustadz, kiyai, ulama, kenalan, tukang kayu, petani, pedagang dipasar, penjual ikan, dokter, murid, guru, polisi, tentara, jaksa, pokoknya tanpa memandang siapa dan apa profesinya, minyak wangi dibagi. Biasanya diselipin ditangan saat bersalaman. 

Minyak wangi dengan botol kecil ini selalu Pak Kiyai pesan entah dari mana (yang pasti bukan dari Bangka Belitung), biasanya beliau membeli dengan jumlah yang sangat banyak yang memang untuk dibagikan sebab menjadi sebuah kebiasaan. Isteri dan anak-anak beliau tak pernah protes dan malah menyukai kebiasaan Sang Kiyai Kharismatik ini.  

Kiyai Hijazi mungkin tak pernah mendengar kalimat yang pernah berbunyi: “Minyak wangi adalah seni yang membuat ingatan berbicara”. Tapi ternyata apa yang telah beliau lakukan terbukti bahwa banyak orang yang kita temui berbicara tentang minyak wangi sang kiyai. Di Masjid Rahmatuddin Desa Kemuja, di Pemakaman, di Warung-Warung Desa Kemuja setelah pemakaman, saya sendiri mendengar bagaimana orang-orang mengisahkan bahkan memperlihatkan botol kecil minyak wangi pemberian Sang Kiyai. Nampak sekali wajah kebanggaan dari wajah masing-masing dari pemilik botol kecil minyak wangi yang pernah diselipkan Pak Kiyai ditangan mereka. Penulis pun demikian, sangat-sangat sering mendapatkan minyak wangi, bahkan kadangkala kalau sudah habis melalui putranya, Muammar, atau saat beliau nelpon, saya minta minyak wangi itu lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: