Demang di Pulau Bangka (Bagian Empat)

Demang di Pulau Bangka (Bagian Empat)

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

DEMANG Suramenggala yang turut serta membantu Depati Amir dalam berperang melawan pasukan Belanda kemudian mendapat hukuman diberhentikan dari jabatannya sebagai demang dan ditahan di Mentok beserta dengan keluarganya di bawah pengawasan polisi (Dua orang puteranya dan cucunya yang bernama Mengkadi). 

Begitu pula dengan para batin dan orang Tionghoa yang ikut membantu Depati Amir dalam perlawanan menghadapi pasukan Belanda turut mendapatkan hukuman. Rincian hukuman diketahui dalam surat dari pejabat sementara Residen Bangka yang ditujukan kepada Menteri Negara Gubernur Jenderal, tertanggal, Muntok, 4 April 1851, Nomor 811/A (ANRI Bt.22 April 1851, Nomor 21) T29.ag 11055/1895, ditetapkan hukuman bagi pemberontak yang membantu Amir. Dijelaskan Dalam laporan saya, tanggal 31 Maret 1851 Nomor 714/A, dan telah ditandatangani, bahwa menurut ukuran penyelidikan mengenai kesalahan orang-orang yang ambil bagian dalam pemberontakan, mereka dianggap begitu, perlu diusulkan akan diajukan tuntutan. 

Penyelidikan itu sekarang telah selesai, yang utama mengenai pemberitahuan persetujuan, pemberontakan yang telah dilakukan dan telah diberitahukan dalam surat saya tanggal 26 Januari 1851 Nomor XIV/A. Disebabkan oleh itu dalam Besluit saya tanggal 3 April 1851, Nomor 53 dan 54, bersama ini disampaikan salinannya bahwa; (a). Demang Suramenggala karena berteman dengan pemberontak Amir, melalaikan kewajibannya, melakukan pemerasan uang kepada penduduk, untuk itu diberhentikan sementara dari jabatannya dengan ketentuan, bahwa Ia dan keluarganya harus tinggal di Mentok dan dalam pengawasan polisi, (b). Batin Ampang, Batin Nyalau, Batin Ketapi dan Batin Sekka diberhentikan dari jabatannya dengan ketentuan, kecuali nama yang pertama (maksudnya Batin Ampang) di samping diberhentikan dari jabatannya akan tinggal dan ditahan di Mentok dalam pengawasan polisi, (c) Letnan Cina di distrik Merawang Oen Beng Hee oleh karena melalaikan kewajiban tidak dapat memisahkan fungsi jabatannya, diberhentikan sementara dengan ketentuan Ia akan tinggal di Mentok dan dalam pengawasan polisi. Hukuman juga diberikan kepada orang-orang Cina: bahwa orang Cina Mingtjoe, Mimpo, Trandjin, Ngo Kotjing, Ngoy Kie Djan, Ho Akie dan Ko So Soei oleh karena berkomplot dengan Amir, ambil bagian dalam pemberontakan akan dikirim ke Batavia dan kemudian ditetapkan akan diasingkan ke Ambon, Banda atau Ternate, dalam waktu 7 tahun, untuk orang Cina Mimpo, Mintjoe, Tian Djien, Ngo Kotjing, Ngoy Kie Djan dan Ho Akie, sedangkan untuk Ko So Soei diasingkan ke Ambon, Banda atau Ternate karena kesalahannya yang berat dan ditetapkan untuk diasingkan seumur hidup. Isi dari besluit ini saya uraikan dengan jelas dan telah diberlakukan dan memohon kepada anda yang terhormat untuk mendapat persetujuan. 

Di antara demang-demang yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda, umumnya bekerja membantu Pemerintah dan pasukan Belanda dalam peperangan, serta mereka menjadi petugas pribumi yang ampuh untuk menghadapi masyarakatnya sendiri sesama pribumi. Misalnya tindakan yang dilakukan Demang Abdul Sukur di distrik Sungailiat yang menangkap pejuang bernama Roesin.

Setelah Depati Amir ditangkap, perlawanan rakyat Bangka masih diteruskan oleh beberapa pengikut Depati Amir, misalnya yang terjadi di distrik Belinju dan di distrik Sungailiat, hal ini dapat diketahui berdasarkan Laporan Residen Bangka, Mentok, tanggal 22 Januari 1868 (ANRI:BT15 Mei 1868, Nomor 18): Kabar dari Residen Bangka, Dua orang terakhir pengikut ataupun para pengikut Amir bernama Oemang dan Roesin, kembali melakukan kejahatan terhadap penduduk Blinjoe dan Soengai Liat, ketakutan dan memanas, yang pertama (maksudnya Oemang) ditangkap oleh Administratur distrik Blinjoe, Vosmaer, pada tanggal 12 Agustus 1864, dan yang terakhir (maksudnya Roesin) ditangkap oleh Demang Soengai Liat, demang Abdul Sukur pada tanggal 15 Agustus 1864, keduanya kemudian di penjara di distrik tersebut. Oemang kemudian meninggal 2 bulan setelah ditahan akibat sakit perut, sedang Roesin karena selalu berkeliaran oleh Landraad Bangka diperintahkan menjadi “Orang Rantean” dan kerja paksa dikirim ke Padang, pada tanggal 11 November 1867, berdasar Besluit pemerintah tanggal 24 Agustus 1867, Nomor 10. 

Para demang di pulau Bangka di samping membantu administrator distrik dalam pemerintahan, juga bertugas mengatur kewajiban Kerja paksa atau kerja rodi (herendients atau corvee) yang selama ini wajib dilakukan oleh penduduk pribumi Bangka. Herendients atau corvee yang dilakukan oleh pribumi Bangka tanpa digaji dan sangat memberatkan penduduk.

Setelah perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir selesai Tahun 1851, kebijakan kerja paksa mulai diubah dengan memberikan penduduk sedikit jatah beras dan garam sebagai upah. Secara bertahap kewajiban kerja paksa kemudian dihapuskan pemerintah Kolonial Belanda. Pada Tahun 1921 kewajiban kerja paksa hanya diwajibkan pada hal praktis seperti pada saat bencana alam.

Di pulau Bangka setelah kewajiban kerja paksa dihapuskan, diganti dengan pajak kepala bagi laki-laki dewasa sebesar f 3 setahun. Pekerjaan yang dibebankan kepada penduduk pulau Bangka mulai diseleksi, terutama diwajibkan pada pekerjaan yang juga menyentuh kepentingan penduduk, seperti memperbaiki dan merawat jalan serta jembatan yang rusak. Jalan dan jembatan yang dibangun pemerintah Kolonial Belanda di pulau Bangka banyak mengalami kerusakan terutama pada bulan Oktober hingga bulan April, hal ini terjadi akibat arus air yang begitu kuat karena curah hujan yang relatif lebat di pulau Bangka pada bulan-bulan priode tersebut.

Kerja paksa dalam bentuk pengiriman surat yang selama ini dilakukan dengan cara berjalan kaki dari satu distrik ke distrik lainnya di pulau Bangka oleh penduduk yang direkrut dari kampung dan dusun dengan cara kerja wajib tanpa upah sudah dilarang dan ditinggalkan. Untuk pekerjaan pengiriman surat, pemerintah Belanda mulai menggunakan kereta pos.

Keadaan di pulau Bangka setelah Depati Amir dihukum buang ke Keresidenan Timor, banyak mengalami perbaikan, terutama di kalangan pegawai pribumi termasuklah untuk jabatan demang. Sesuai dengan publikasi tanggal 1 Agustus 1854 (STBL Nomor 59/1854) telah ditertibkan sehingga kejahatan tak mudah akan muncul, dan menggangu ketenangan. Salah satu kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang penting dan agak menyimpang dari kebiasaan, dalam upaya pemerintah Hindia Belanda menekan perlawanan rakyat jangan sampai terulang kembali seperti yang dilakukan oleh pejuang-pejuang dari pulau Bangka adalah dengan mulai memberikan gaji kepada kepala-kepala pribumi Bangka, mulai dari jabatan Demang, Batin, Gegading dan Lengan.

Kebijakan pemberian gaji kepada kepala pribumi Bangka tertuang dalam Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda, tanggal 28 November 1850, Nomor 3. Dengan pemberian gaji ini diharapkan para demang, batin, gegading dan lengan (kepala- kepala kampung dan kepala-kepala dusun) memiliki keterikatan dan kesetiaan kepada pemerintah serta dapat mendorong mereka untuk melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah Kolonial Belanda dengan baik.

Pemberian gaji oleh Pemerintah Kolonial Belanda dinilai lebih efektif dibandingkan apa yang telah biasa dilakukan oleh pemerintah selama ini yang hanya memberikan kompensasi kepada mereka yang berjasa kepada Belanda, tanpa harus memberikan gaji yang tetap (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: