Mangkeng Ngeringkeng
Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--
Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
“KITA sering merasa hidup, tapi pada sesungguhnya kita sudah mati!”
SUATU hari, seseorang bertanya kepada saya: “Ahmadi, apa bedanya orang hidup dengan orang mati”. Cukup lama saya terdiam. Pertanyaan itu sangat sederhana, tapi saya paham sosok ini membutuhkan jawaban singkat tapi harus memiliki makna bagi kehidupan. Saya paham betul, pertanyaan itu sengaja diberikan kepada saya bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban bak seorang akademisi.
Sebab kebodohan dan kedangkalan ilmu, saya tidak bisa menjawab seperti yang ia inginkan, akhirnya sang Pengusaha yang menjadi kawan karib saya ini pun menjawab sendiri pertanyaannya: “Tanda orang hidup itu adalah elastis, fleksibel, sedangkan tanda orang mati itu adalah kaku”. Dari jawaban ini saya paham bahwa ia memiliki makna yang mendalam, terutama untuk saya pribadi yang cukup “mangkeng” apalagi kalau soal prinsip.
Tuhan menciptakan makhluk, alam dan seisinya dengan keragaman bukan dengan keseragaman. Ini artinya Tuhan mengajari kita bahwa kita hidup tidak bisa “sekenek dirik” (semaunya). Ada pertimbangan, ada toleransi, ada perubahan, ada patokan dan sebagainya. kebebasan saya akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Misalnya, radio yang saya beli, walaupun dengan duit saya, lalu saya setel sekencang-kencangnya di kamar saya, kira-kira bagaimana dengan tetangga?
Semakin dewasa seseorang, maka harusnya semakin bijaksana memang kehidupan. Semakin bijaksana maka ia akan semakin fleksibel dengan kenyataan hidup. seorang ayah yang fleksibel, akan memudahkan anak-anaknya untuk kreatif dan inovatif. Seorang suami yang fleksibel, maka akan membuat isterinya tumbuh rasa nyaman dan tidak menegangkan. Seorang pimpinan yang fleksibel akan bersikap humble dan membuat bawahannya menjadi nyaman dalam bekerja. Begitulah seterusnya dan membuat dunia semakin indah.
Bukankah Tuhan saja yang serba Maha masih sangat fleksibel? Kalau kau tidak bisa sholat berdiri, maka dengan duduk, kalau tidak bisa duduk dengan berbaring, bahkan dengan kedipan mata pun bisa jika sudah tak bisa bergerak lagi. Begitu juga kala TUhan mengharamkan minuman keras dengan cara yang fleksibel, yakni diawali dengan kalimat “minuman keras ada manfaatnya, tapi mudhoratnya lebih besar dari manfaatnya”, selanjutnya baru dengan kalimat: “Jangan mendekati sholat kalau sedang mabuk” dan terakhir barulah dengan ketegasan: “Minuman keras itu “rijsun” (kotor menjijikkan/minuman syetan), maka jauhi”. Tuhan juga memberikan “ruhsoh” (keringanan) dalam banyak hal di kehidupan ini, terutama dalam hal ibadah kepada-Nya. Padahal Tuhan memiliki segalanya, bahkan ruh yang nempel di tubuh makhluk-Nya. Tuhan serba Maha dan bisa semau-Nya, namun ternyata Tuhan sangatlah fleksibel. Lantas mengapa kita “mangkeng” plus “ngeringkeng?”.
“Mangkeng” dalam bahasa Bangka adalah kaku sedangkan “ngeringkeng” adalah kata tambahan yang menggambarkan kaku dan tidak bisa dilembutkan lagi alias sudah paten atau tidak bisa dirubah. Manusia yang berperilaku “mangkeng” plus “ngeringkeng” pada umumnya karena kedewasaan belum menyapa jiwanya, sehingga sikap bijaksana tidak muncul dalam kehidupan sehari-harinya. Orang yang berperilaku “mangkeng ngeringkeng” ini umumnya memiliki pergaulan yang sangat terbatas. Bahkan keluarga sendiri kadangkala menjauh dan tidak ingin mendekat apalagi bermasalah.
Seorang pemimpin yang anti kritik adalah salah satu bentuk perilaku “mangkeng ngeringkeng” yang jauh dari kata dewasa apalagi bijaksana. Pemimpin yang hanya menerima puja dan puji adalah pemimpin bodoh yang sebetulnya adalah menjerumuskan kebodohan itu pada wilayah yang ia pimpin. Seorang pemimpin yang tidak menerima kritikan akan berusaha bermain citra “seakan-akan” dirinya adalah humble, padahal kaku, seakan-akan “tersenyum”, padahal “ngireng”. Umumnya “keringol” pemimpin seperti ini rada lucu dan “menggemaskan” untuk tidak dikatakan “menjijikkan”.
Seorang artis yang merasa dirinya populer dan besar, maka ia akan bersikap arogan (“mangkeng ngeringkeng”) dan merasa sedang berada diatas. Sikap yang tidak bijaksana serta perilaku sensasi akan dilakukan kala ingin menaikkan popularitas. Artis seperti ini umumnya tidak mengandalkan karya, namun lebih pada sensasi yang menjijikkan dan sangat tidak mendidik. Seorang pendidik yang “mangkeng ngeringkeng” akan menjadi cermin buruk bagi para muridnya dan tida akan menghasilkan ilmu yang melekat pada kehidupan masa depan sang murid. Guru yang fleksibel, humble dan mengerti psikologi murid, umumnya akan menjadi sangat dekat dan mampu menjadi pendidik yang bersahabat. “Guruku adalah sahabat terbaikku” atau “Guruku adalah tempat curhatku”, betapa asyiknya jika kalimat ini keluar dari para murid di sekolah?.
Bagaimana menjadi manusia yang fleksibel?
Pertama, Memahami keragaman dan sifat Ketuhanan yang benar adalah salah satu cara bagaimana menjadi manusia yang fleksibel. Mengapa ada kalimat “yang benar?” Sebab banyak orang yang “berhijrah” begitu gampang mengkafir-kafirkan orang lain dan bersikap mengecilkan pergaulan, bahkan seakan-akan orang-orang yang tidak sepahaman adalah orang-orang ahli neraka dan dipastikan dilaknat. Padahal selama manusia itu masih bernafas, maka ia akan mungkin untuk baik atau buruk. Khusnul khotimah ataukah su’ul khotimah.
Kedua, Selalu mempertimbangkan opsi alternatif. Jika kita merasa kurang fleksibel, maka bisa jadi kita adalah pribadi yang merasa selalu benar pada pilihan dan jalan yang ditempuh. Padahal ada banyak jalan dan solusi serta opsi yang seharusnya tidak membutakan mata kita, sebab memang keragaman dan pilihan itu adalah bagian dari cara kita untuk menjadi manusia fleksibel.
Ketiga, Berpikir positif. Siapapun kita, apalagi seorang pemimpin, berpikir positif terhadap semua orang adalah hal yang harus dilakukan. Bahkan pengkritik sekalipun kalau diselami dengan hati yang bijaksana, maka sebetulnya ia sedang menyayangi dengan caranya yang frontal. Menganggap pengkritik adalah musuh, tidak mendukung berarti ancaman dan harus dienyahkan, adalah tipikal pemimpin “ngireng” “mangkeng” dan “ngeringkeng”.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: