Maaf, Tipo

Maaf, Tipo

--

Oleh Budi Rahmad, S.Pd.
Wartawan Babel Pos

Tulisan ini berawal dari kegusaran para praktisi bahasa. Mereka gelisah ketika membaca teks berita media massa. Pasalnya, masih banyak kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan. Baik itu salah tik maupun salah ejaan. Kesalahan ini biasanya dikenal dengan tipo. Ya, tipo, mulai dari kata kurang huruf, kelebihan huruf, hingga penempatan tanda baca.
    Tipo, tidak hanya terjadi pada wartawan baru dan media yang baru lahir, wartawan senior dan media-media besar yang masuk dalam media arus utama (mainstream) juga tak lepas dari tipo. Meski kadar tipo biasanya lebih sedikit, tetapi tetap saja tipo menjadi persoalan duri dalam daging, mengganggu. Tipo bisa melanda siapa saja, hanya jumlah yang berbeda.
    Sebenarnya tak perlu meminjam pernyataan praktisi bahasa, masyarakat awam saja, jika ditanya, mereka akan mengatakan bahwa pada teks berita yang disampaikan ke publik masih terdapat (banyak) tipo, baik tipo dalam pengetikan maupun tipo ejaan. Baik yang dilakukan secara tak sengaja maupun sengaja.

Tipo Tik
    Tipo yang satu ini biasanya terjadi tidak disengaja. Seperti kekurangan huruf atau kelebihan huruf. Namun, perilaku tidak sengaja ini akhirnya menjadi kebiasan dan menjadi penyakit. Menjadikan tipo sebagai hal biasa dan lumrah dan tak berniat secara serius untuk memperbaiki sikap.
    Tipo, sekecil apapun terjadi pada akhirnya mengganggu pembaca. Bahkan di lain kasus bisa mengubah makna. Pembaca menjadi sibuk menggerutu dan mengkritisi tipo daripada mengapresiasi keutuhan dan makna tulisan. Biasanya, tipo jenis ini dilakukan oleh penulis atau wartawan yang terburu-buru atau didesak menulis cepat. Tulisannya sudah ditunggu editor/redaktur sehingga asal cepat.
    Penyebab lainnya mungkin adalah penggunaan ponsel pintar sebagai media menulis. Kecilnya papan ketik (keyboard) pada ponsel dan besarnya jari dapat menyebabkan salah tik kerap terjadi. Ditambah dengan mata hanya tertuju pada keyboard. Wartawan lebih fokus pada sisi kebenaran berita daripada kebenaran kata yang ia pakai.
    Hal ini sesuai dengan jawaban dr. Tabita memberikan jawaban dalam blog alodokter.com ketika ada pertanyaan mengapa sering teradi tipo. Ia mengatakan bahwa tipo dapat disebabkan karena otak yang cenderung bekerja secara generalisasi, artinya memberi fokus tinggi ke tugas tingkat tinggi dan luas. Saat menulis, otak lebih fokus dalam menggabungkan kata demi kata, urutan lebih agak dikesampingkan.
    Kerap terjadinya tipo tidak selalu karena ceroboh, namun dalam tugas mengetik, memang penulis lebih mengutamakan penyampaian pesan atau makna dan terkesan mengabaikan hal lainnya yang ternyata juga penting, seperti kesesuaian dan kebenaran kata yang digunakan.
    Terkadang kesalahan dalam penulisan ini dapat mengubah makna. Contoh saja nabi dan babi. Keberadaan huruf n dan b yang bertetangga dekat ini bisa saja membuat terjadinya selip jari. Tentu saja akan ada pergeseran makna yang sangat jauh ketika n pada nabi tercetak b, dan huruf b pada babi tertulis n.
    Berdekatannya huruf yang sering dipakai ini perlu mendapat pengawasan tersendiri. Seperti huruf u, i, dan o. Ketiga vokal itu juga bertetangga. Sementara konsonan n dan m juga berada dalam satu lorong.

Tipo Ejaan
    Selain tipo tik, kerap juga terjadi tipo ejaan. Yakni kesalahan dalam penggunakan kata baku. Penguasaan bahasa penulis atau wartawan sangat mudah diketahui dari pilihan kata yang digunakan. Apakah mengandung tipo atau tidak.
    Contoh saja penulisan kata di- dan ke- sebagai awalan dan di sebagai imbuhan. Pada beberapa peristiwa, di- yang dipisah dan di- yang seharusnya digabung, malah tertukar. Padahal masalah penempatan di- ini merupakan pengetahuan dasar bagi seorang wartawan. Wartawan seyogianya sudah bisa membedakan di- yang harus dipisah dari kata mengikutinya dan di- yang harus dipisah dengan kata berikutnya.
    Contoh lainnya adalah penulisan kerja sama, tanggung jawab, dan terima kasih. Masih sering terjadi penulisannya dilakukan menjadi terimakasih, tanggungjawab, dan kerjasama. Padahal, sangat jelas bahwa penulisannya harus dipisah antara terima dan kasih. Begitu juga dangan penulisan tanggung jawab, dan kerja sama, mereka terpisah.
    Tipo ejaan lainnya adalah kelebihan huruf, seperti pada kata himbauan, hisap, hadang, himpit, hembus, dan mesrah. Sedianya kata-kata itu tanpa huruf h. Ada juga tipo ejaan yang diangap salah tik, seperti jerigen padahal yang benar adalah jeriken, personil yang semestinya personel, atau sumringah yang sedianya adalah semringah. Tipo ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan penulis akan kata baku.
    Ada lagi tipo dalam perubahan ketika kata mendapat imbuhan. Seperti memerkosa (bukan memperkosa), mencalonkan (bukan menyalonkan), atau memesona (bukan mempesona). Tipo ini juga berkaitan erat dengan pengetahuan kebahasaan.
    
Pembaca Mengerti
    Ada kalimat yang dilontarkan penulis atau wartawan saat tipo ditemukan dalam tulisannya: pembaca mengerti maksudnya atau pembaca tahu maksudnya. Ya, memang pembaca tahu dan pembaca mengerti. Apa hanya sampai di sana? Apa akan lepas tanggung jawab jika masih ada pembaca terpaksa mengulang beberpa kali bacaannya dan berpikir keras maksud kata itu? Bahkan mungkin ada pembaca yang awam yang sama sekali tidak mengerti?
    Kalimat sakti --pembaca mengerti maksudnya-- ternyata masih sangat laku dipakai wartawan maupun media sebagai tameng. Namun, di balik itu semua kualitas sang wartawan dan madia massa juga menjadi taruhan. Artinya tipo dapat menunjukkan jati diri media itu sendiri.
    Selain alasan pembaca mengerti, terkadang wartawan mengatakan apa gunanya redaktur. Makan gaji buta jika redaktur tak mengoreksi tulisan wartawan. Ya, argumen yang tak salah. Redaktur ikut bertanggung jawab atas tulisan wartawan yang dipublikasi. Kesalahan semestinya berkurang, bahkan sejatinya lenyap setelah naskah dibidani oleh redaktur.
    Pertanyaannya, apakah wartawan tidak mau mencoba menyerahkan tulisan yang sudah baik? Baik dari segi isi, fakta, struktur, dan juga bahasa. Apakah wartawan tidak berniat meningkatkan kualitas tulisan sendiri? Jika alasan ini terus dikemukakan, maka sampai kapan akan terus seperti itu? Selalu dililit tipo.
    Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk menggurui, tetapi lebih mengajak untuk mengurangi peristiwa tipo, baik itu tipo tik maupun tipo ejaan. Mengajak untuk menghasilkan tulisan yang dapat memberi kenyamanan pada pembaca saat melahap tulisan yang disajikan. Lebih dari itu, agar tulisan yang diproduksi memang benar dan baik secara kaidah bahasa Indonesia, serta tetap dalam ragam jurnalistik.   
    Pada dasarnya, tipo dapat diatasi. Salah satunya adalah dengan membuang jauh-jauh sikap malas. Yakni malas membaca ulang naskah dan malas membuka kamus.
    Membaca kembali naskah yang sudah ditulis akan melahirkan sikap lebih mawas. Bukan tidak mungkin dengan membaca ulang naskah akan melahirkan tulisan menjadi lebih tajam. Membaca ulang naskah untuk melihat kesalahan huruf, kejanggalan kata, atau keutuhan kalimat.
    Ada baiknya untuk memeriksa tipo dengan membaca ulang naskah pada media yang berbeda. Misalnya dengan mencetak naskah tersebut. Membaca naskah cetak akan lebih memberi ruang pada mata untuk lebih jeli dan memudahkan menemukan tipo.
    Hal seperti ini biasanya dilakukan di dapur redaksi koran. Sebelum dikirim ke percetakan, naskah dibaca ulang. Ya, meski terkadang masih juga ditemukan tipo setelah mesin berhenti berputar dan ayam jago berkokok. Namun, upaya mengagalkan menyusupnya tipo sudah dilakukan dengan perjuangan keras. Jika masih terjadi bolehlah dikatakan bahwa tipo ini merupakan musibah yang tak diharapkan. Usaha sudah maksimal, namun ternyata ada takdir yang menyembunyikan tipo dari pengawasan mata. 
    Membaca ulang naskah memang tidak mudah. Sebab, perasaan bahwa naskah yang ditulis sudah benar dan baik, lebih mendominasi suasana hati. Perasan merasa sudah betul inilah sering diakui sebagian wartawan. Sehingga dengan penuh keyakinan mengirim naskah ke kantor. Sementara di kantor, redaktur merasa bahwa koreksi yang dilakukan sudah mencapai paripurna. Langsung oke saja, tanpa terlebih dahulu mau membaca kembali.
    Tipo juga dapat dihindari --terutama ejaan-- dengan membiasakan diri untuk membuka kamus. Yakni, menggunakan kalimat baku, bukan menggunakan kalimat yang biasa didengar dan disebut oleh lidah. Sebab apa yang familiar belum tentu baku. Apa yang didengar dan disebut belum tentu sama dengan apa yang harus ditulis.
    Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah satu-satunya rujukan. Tak perlu berpayah-payah membawa kamus yang tebal, karena saat ini sudah ada KBBI online yang bisa disimpan di ponsel pintar. Tinggal unduh saja, cara kerja tak berbeda banyak dengan melihat KBBI cetak. Jadi, jika ada keraguan tinggal klik, tersedia kata yang benar dan kata yang salah.
    Beberapa artikel menyarankan penggunaan fitur koreksi otomatis. Biasanya penulis sudah merekam kata yang sering dipakai. Hanya saja mengetik dengan menggunakan fitur koreksi belum menjamin seratus persen terhindar dari tipo.
    Tipo adalah momok, hantu, bahkan bisa jadi penyakit. Karena itu tipo harus dilawan. Berbagai cara dapat dilakukan oleh wartawan, tinggal pilih. Mulai kapan? Ya, mulai sekarang. Tak perlu menunggu momentum untuk berubah dan mengubah diri.
    Mari berhenti mengatakan, maaf tipo, tetapi mulailah dengan kalimat, awas jangan sampai tipo. Setiap orang pernah tipo, setiap orang juga bisa menghindari tipo. Pun tulisan ini, penulis berusaha jangan sampai kena tipo. jika ada, Maaf, tipo.(**)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: