Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Mitigasi Konflik Dengan Satwa Liat di Babel
Aji Kurbiyanto --
Oleh: Aji Kurbiyanto
Mahasiswa Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
KONFLIK masyarakat dengan satwa liar adalah permasalahan yang banyak mmempengaruhi tatanan dalam kehidupan baik dari sisi masyarakat itu sendiri dan bahkan bagi keberlangsungan hidup satwa liar. Dalam beberapa literatur menyatakan, konflik adalah segala pertentangan yang didasari banyak kepentingan, tindakan atau perilaku yang sudah terbentuk dan menyatu dari awal kehidupan. Dimana konflik merupakan wujud konkrit dalam cara pandang diantara banyak pihak pada satu sasaran yang sama. Dengan kata lain, konflik terjadi akibat perebutan ruang gerak dalam satu wilayah yang sama. Konflik masyarakat dengan satwa liar terjadi apabila adanya perilaku satwa liar yang menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Konflik masyarakat dengan satwa liar terjadi apabila adanya perilaku satwa liar yang menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Adanya konflik tersebut juga berimbas negatif pula terhadap kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya.
Menurut para ahli, satwa liar adalah hewan ataupun binatang yang memiliki tulang belakang (vertebrata) yang berinteraksi dan menyatu dengan lingkungannya. Satwa liar membutuhkan tempat bernaung sebagai habitatnya yang luas merupakan hal yang mutlak, karena dengan luasnya habitat satwa liar keseimbangan ekosistem akan terjaga. Di alam liarnya perilaku satwa liar tidak terusik oleh aktifitas manusia, namun seiring waktu dan perkembangan teknologi serta pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan keadaan habibat satwa liar ikut terimbas.
Dalam Bella dan Rahayu (2021) aktifitas masyarakat yang mengubah habitat satwa liar menjadi kawasan usaha, misalnya pemukiman, pertanian dan perkebunan, pertambangan bahkan industri mengakibatkan semakin mempersempit ruang jelajah daripada satwa liar sehingga menjadi pemicu konflik itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi di wilayah Pulau Bangka. Hal ini sangat sesaui yang tertuang didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.306/MENLHK/PDASHL/DAS.0/7/2018 tentang Penetapan Lahan Kritis Nasional, dimana Propinsi Kepulauan Belitung terdata luasan lahan kritisnya mencapai 20.687 Ha yang didominasii kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Adanya degredasi fungsi lahan yang mulanya adalah habitat satwa liar menjadi stimulus adanya ekspansi satwa untuk mencari daerah jelajah lain, dengan melakukan manuver tersebut satwa liar dapat beradaptasi dan memanfaatkan keadaan lingkunganya untuk bertahan hidup dan memperbanyak jumlah populasi secara alami. Dengan kata lain, adanya satwaliar ke perkebunan masyarakat adalah sifat alamiah satwaliar untuk bertahan hidup dari perubahan habitatnya yang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan, Halimah (2022).
Dalam Harahap et al (2013), menyebutkan Tingkat Kesukaan (palatability) satwaliar kepada suatu jenis tanaman adalah termasuk dalam indikator yang memicu konflik satwaliar dengan petani. Sebab tanaman merupakan bahan priorits yang berperan sebagai sumber nutrisi bagi satwaliar untuk bertahan hidup.
Konflik masyarakat dengan satwa liar di Pulau Bangka juga terjadi didaerah yang berbatasan langsung dengan habitat satwa liar. Di beberapa wilayah Pulau Bangka, konflik masyarakat dengan satwa liar sangat sering terdengar dan terjadi yaitu di desa-desa yang memiliki letak berbatasan dengan habitat satwa liar, misalnya konflik petani dengan satwa liar (primata) di Desa Balunijuk, Jada Bahrin, dan Air Duren, serta Desa Kemuja. Maka sangat diperlukan upaya yang terintegrasi dalam penataan dan pengelolaan habitat satwa liar.
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki areal perkebunan yang sangat banyak dan luas. Dalam Badan Pusat Statistik Propinsi Kepulauan Bangka Belitung (2019), kawasan perkebunan yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan memiliki luas kurang lebih 283,7 Ha atau sekitar 17,24% kawasan, yang mana didalam luasan tersebut termasuk didalamnya adalah Desa Air Duren dan Kemuja. Selain itu, konflik masyarakat dengan satwa liar (buaya) juga terjadi di Desa Kayu Besi dan Bukit Layang, sama halnya dengan konflik yang terjadi Desa Pasir Putih dan Semabung Lama Pangkalpinang.
Terpaut konflik antara masyarakat dengan satwa liar dalam hal ini buaya di wilayah Pulau Bangka, dalam penanganannya sudah diatur dalam SK Mentan Nomor : 761/ Kpts/ Um/ 105/ 1980 yang menyatakan melindungi kelestarian populasi daripada buaya muara. Adanya konflik tersebut juga berimbas negatif pula terhadap kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya.
Dampak konflik yang terjadi biasanya hanya menimbulkan kerusakan terhadap budidaya tanaman dilahan pertanian dan perkebunan masyarakat, serta hilang atau matinya binatang ternak masyarakat akibat dimangsa satwa liar. Selain dampak tersebut, konflik yang terjadi antara masyarakat dan satwa liar yang mulanya hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi masyarakat, dalam berapa dekade semakin memprihatinkan karena mengancam keselamatan jiwa masyarakat, juga mengancam keberlangsungan hidup satwa liar itu sendiri. Tak jarang akibat konflik yang terjadi mengakibatkan korban jiwa dari masyarakat, akibat hal itu satwa liarpun menjadi sasaran ditangkap dan akhirnya berakhir dangan kematian satwa liar. Dengan adanya konflik yang ngakibatkan korban jiwa semakin memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap satwa liar sehingga upaya dalam konservasi mengalami banyak hambatan.
Berkaca dari konflik antara masyarakat dengan satwa liar bisa kita simpulkan bahwa memang masih sangat minimnya informasi serta edukasi kepada masyarakat dalam hal penangan yang tepat atau mitigasi (pencegahan, penanggulangan) konflik antara masyarakat dengan satwa liar. Maka dari itu perlu peningkatan kapasitas masyarakat oleh mahasiswa terhadap mitigasi konflik masyarakat dengan satwa liar tersebut sehingga pemahaman dan metode dalam pencegahan konflik masyarakat dan satwa liar tidak selalu dengan memburu yang berujung pada berkurangnya populasi dan hilangnya keberadaan satwa liar yang menjadi penyeimbang alami ekosistem.
Beberapa literatur menjelaskan serta memberikan banyak metode, strategi serta cara dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang mitigasi konflik antara masyarakat dengan satwa liar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitigasi adalah kata benda yang memilikI dua makna tergantung konteks penggunaannya. Dimana mitigasi adalah upaya menjadi berkurang kekasan atau kesuburannya (tentang tanah dan sebagainya). Sedangkan makna kedua, mitigasi adalah tindakan mengurangi dampak bencana. Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan yaitu mengadakan sosialisasi, dan penyuluhan, edukasi terkait mitigasi konflik masyarakat dengan satwa liar. Oleh karena itu, salah satu cara dan strategi mahasiswa dalam upaya meningkatkan kapasitas pemahaman masyarakat terhadap mitigasi konflik dengan satwa liar melalui kegiatan sosialisasi ke desa-desa terdampak konflik dengan satwa liar.
Kegiatan sosialisasi tersebut memberikan edukasi mendasar dengan menjelaskan beberapa ciri khas dari bermacam jenis satwa liar yang menjadi subjek di beberapa daerah dan desa secara jelas, detail dan benar dalam penanganan konflik dengan satwa liar. Selanjutnya penyampaian informasi yang tertuang dalam bentuk materi tentang jenis satwa liar beserta tempat satwa liar melangsungkan hidup, setelah rangkaian diatas selesai kemudian memberikan arahan kepada masyarakat terkait pencegahan konflik agar tidak berlanjut tanpa harus menghilangkan nyawa dari satwa liar itu sendiri demi keberlangsungan serta mendukung pelestarian satwa liar yang merupakan rantai dari siklus yang menopang ekosistem alami. Dalam pelaksanaan mitigasi konflik masyarakat dengan satwa liar harus adanya dukungan dari semua elemen lapisan masyarakat, pemerintah desa setempat, juga didukung oleh lembaga-lembaga yang besingungan langsung terhadap penyelamatan dan pelestarian satwa liar akibat terjadinya konflik masyarakat dan satwa liar yang menyebabkan kematian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: