Kalapiteng

Kalapiteng

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya-babelpos.id-

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

DI negeri ini terlalu banyak Tokoh, sampai kita tak tahu, mana yang bisa dijadikan contoh. Di negeri ini terlalu banyak pejabat, sehingga mereka pun berbaur dan bekerjasama dengan penjahat.

Orangtua kita dulu tak mengenyam pendidikan tinggi, sebab sekolah belum menjadi bisnis sehingga tidak menjamur seperti sekarang ini. Kalau sudah memiliki kemampuan membaca dan menulis, orangtua kita dulu sudah merasa cukup. Mereka tak butuh titel didepan atau dibelakang namanya, apalagi harus dengan membeli titel agar dianggap berpendidikan. Namun, para orangtua kita dulu begitu dewasa dan bijaksana dalam kehidupan sosial dan bernegara. Mereka merasa cukup dengan rasa syukur dan tidak “Kalapiteng” apalagi serakah dengan alam.

Pengetahuan kehidupan mereka dapatkan dari lingkungan, alam dan pekerjaan yang mereka geluti seperti bercocok tanam yang berhubungan langsung dengan tanah dan air. Mereka buta soal teori sastra, tapi wallahi, ucapan atau tutur lisan mereka mengandung sastra yang luar biasa. Sehingga sampai hari ini kita masih merasakan bagaimana keindahan Pantun, Gurindam, Dongeng, Syair Lagu tempo doeloe, bekisah, ungkapan tradisional dan lain sebagainya.

Ternyata, mereka yang kita anggap buta teori sastra, buta aksara, buta angka atau buta huruf latin, namun tak buta mata hati. Sehingga kehidupan sosial dan rumah tangga mereka adem, ayem dan tidak mudah “Kalapiteng” menghadapi kehidupan dan perubahan.

Kedewasaan yang berbuah kebijaksanaan dari perilaku sehari-hari para orangtua kita dulu kian hari kian lentur bahkan luntur bak sarung murahan ditengah kehidupan serba modern dan instan seperti sekarang ini. Orang tua kita dulu tak sekolah, tapi berperilaku pendidik, tak banyak bicara, tapi memberikan teladan dalam kehidupan nyata. Bahkan mereka tak banyak maunya karena begitu perasa. Mereka lebih pintar merasa bukan merasa pintar atau bisa merasa bukan merasa bisa. Mereka santai menghadapi kehidupan, tidak grusa-grusu apalagi “Kalapiteng”.

Petuah-petuah orangtua begitu berisi dan penuh makna dalam kehidupan, seperti jauh berbeda dengan petuah-petuah orang pintar di era modern seperti sekarang ini. Karena petuah yang mereka sampaikan dari bibirnya adalah kata hati mereka sendiri, bukan sekedar mengumbar atau mengutip rangkaian kata-kata indah bak sastrawan atau budayawan kenamaan.

Para orangtua kita dulu tidak pintar secara akademisi, namun mereka mengajar sekaligus mendidik diri, anak dan cucu serta lingkungannya di balik kelembutannya dalam kata dan sindirian yang terungkap secara lisan.  

Orangtua kita dulu di kampung-kampung adalah manusia bijaksana yang perilaku dan ucapannya penuh dengan makna dan nilai-nilai kehidupan. Jika melihat seseorang yang berlagak pintar dan banyak bicara (koar-koar), menyombongkan diri dan selalu menjelek-jelekkan orang, memiliki pendidikan tinggi, namun tak banyak bermanfaat bagi orang lain, maka para orangtua zaman dulu cukup nyeletuk dengan kalimat sindiran singkat: “Pintar dak ngajar budu dak belajar” (pintar nggak ngajar, bodoh nggak belajar).

Tokoh “Kalapiteng”

“INI baru namanya “Tokoh Kalapiteng”, Jok. Yang bikin e kalapiteng, yang ningok gambar dan nama e kalapiteng dan yang bikin e Kalapiteng. Banyak nama dan gambar ne dirik dak tau aben ape pengaruh e. jangan-jangan mereka ini baru kali ini wajah dan namanya masuk media. Padahal salah satu syarat disebut “Tokoh” adalah dikenal. Cem mane nek berpengaruh mun dak dikenal? Hahahaha……” ungkap senior saya Ahsan Rais yang saya sebut Kepala Suku Pulau Nangka di warung kopi di tengah kota Pangkalpinang ketika mengomentari gambar dan nama-nama tokoh dari sebuah media. 

Saya hanya tersenyum dan berucap: “Hahahaha… harusnya kepala suku Pulau Nangka ini harus masuk, karena siapa yang dak tahu pengaruh tokoh lama seperti Bang Ahsan Rais ne. oya, izin senior, Kalapiteng ini sudah lama dak dengar, kelak nek ko jadikan judul tulisan di Babel Pos”. 

“Kalapiteng” adalah tutur lisan masyarakat perkampungan di Pulau Bangka yang bermakan “bingung, susah, kewalahan”. Jika diibaratkan kebingungan, kesusahan dan kewalahannya bagaikan orang yang nggak minum alkhol tapi mabok. “Kalapiteng” ini bermakna bahwa ada kelucuan namun bercampur tragedi akibat kebodohan ataukah dibodohi. Makanya sejak ratusan tahun silam, orangtua kita dulu sudah bertutur dengan kalimat indah penuh sindiran, yakni: “Pintar dak ngajar, budu dak belajar”. 

Di zaman lembaga pendidikan kian menjamur, perguruan tinggi berdempetan bahkan kekurangan lahan, pesantren dimana-mana dan berbagai pengajian dan khutbah semarak di lakukan, lembaga dakwah menjamur dibentuk oleh berbagai kalangan, namun rohani dan perilaku kita dalam menyikapi kehidupan sosial masih saja keliru bahkan parahnya mengkambing hitamkan kekeliruan tersebut kepada orang lain dan mencari dalil pembenaran diri sendiri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: