Merasa Pintar & Pintar Merasa?

Merasa Pintar & Pintar Merasa?

Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup--

FRASA yang terdiri dari 2 kata itu sudah amat sering kita dengar karena kandungan maknanya demikian dalam.  Dan ternyata masih berlaku di masa kekinian?

Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup

TERLEBIH lagi ketika memasuki masa reformasi, dimana para pemimpin mulai dari Presiden, wakil rakyat dengan segala tingkatannya, hingga ke pemilihan para kepala daerah, semua dilakukan langsung.  

Semangat pemimpin dipilih langsung itu pula yang membuat pemilihan kepala daerah (Pilkada) termasuk pemilihan wakil rakyat --termasuk untuk DPR RI dan DPD -- selalu diiringi dengan semangat agar yang terpilih adalah putra daerah.  

Apa tujuan dari semangat lahirnya istilah putra daerah itu?  Tak lain tentunya bertolak dari pemikiran karena putra daerahlah yang tahu soal budaya, kehidupan, dan segala hal tentang daerah yang dipimpinnya.  

Namun faktanya, semangat itu ternyata tak seperti yang diduga.  Harapan sang putra daerah adalah orang yang 'pintar merasa', malah yang terpilih justru putra daerah yang 'merasa pintar'.  Dan ini juga tak hanya mewarnai untuk kalangan putra daerah, tapi juga untuk di pemilihan wakil rakyat.

***

TAHUN lalu --dan hingga 2024 mendatang-- seiring dengan perubahan aturan serta semangat untuk Pemilu dan Pilkada Serentak, banyak Bupati/Walikota hingga Gubernur yang habis masa jabatan sebelum Pilkada dan Pemilu 2024 digelar.  Untuk ini diambil kebijakan, diangkat penjabat kepala daerah dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan syarat tertentu.

Dan, meski posisinya hanya 'penjabat', namun karena posisi itu akan dipangku cukup lama, maka daerah tetap berkepentingan agar yang diangkat sebagai 'penjabat' itu juga dari kalangan 'putra daerah'.  

Lagi-lagi itu bertolak dari harapan agar sang 'penjabat' yang ditunjuk itu 'pintar merasa' bukan 'merasa pintar'.  Intinya, agar sang penjabat paham dan memahami 'periuk nasi' rakyat yang notabene kampungnya bahkan masih keluarganya sendiri.

Lagi-lagi faktanya, ternyata rakyat dibuat kecewa juga.  Karena perilaku kalangan 'penjabat' yang ditunjuk --meski dia putra daerah --- tak jauh beda dengan Kepala Daerah dari putra daerah hasil pemilihan langsung.  

Bahkan, ironisnya, karena 'penjabat' ini dari kalangan birokrat yang memang merasa mumpuni di bidangnya,  seperti justru meletakkan aturan di atas segala-galanya.  

Kalaulah rakyat menderita karena aturan itu, berarti itu resiko bagi rakyat?

Padahal logikanya, aturan yang dibuat justru untuk kesejahteraan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: