Demokrasi Sambel Belacin

Demokrasi Sambel Belacin

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

NIKMATI demokrasi dan kekuasaan itu sebagaimana melahap sambel belacin. Santai, fokus dan dalam suasana ceria. Terpenting adalah “pacak” menahan diri. Sekali coba “ase agik nek”, padahal “mulot lah kepedesan”.

Saya masih ingat, beberapa tahun lalu, seorang kawan yang sedang mengadu nasib menjadi Caleg, curhat kepada saya dalam kondisi tegang. Nampak sekali dari raut wajah dan gesture tubuhnya sangatlah ambisi terhadap kekuasaan. Maklumlah sang kawan ini sudah berulangkali mengadu nasib sebagai Caleg, namun kemenangan belum berpihak padanya. 

Walaupun usianya lebih senior, saya berusaha memberikan nasehat sok bijak: “Demokrasi itu jangan dibuat tegang dan menimbulkan ketegangan. Posisi seperti kita ini harus pandai mengukur antara kemampuan dan kemauan. Demokrasi itu harus menampilkan kreasi, keceriaan, karya, idea tau gagasan.

Demokrasi itu harus menjadi inspirasi bagi generasi setelah kita. Demokrasi itu jangan dipahami hanya untuk kekuasaan, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita memberikan pendidikan politik yang baik pada generasi setelah kita. Mereka sekarang sedang melihat, mengamati dan merekam demokrasi ala kita.

Jadi, berikan pendidikan yang baik dan menginspirasi, karena mereka harus lebih baik dari kita sekarang ini. Seperadik, yo kite nikmati bae demokrasi ne seperti kite makan sambel belacin. Nek pacak nahan, mun dak seperti makan sambel belacin, ase nek nambah teros walau mulot kepedasan. Jadi pandailah diri menahan….”

Entah nggak nyambung, atau mungkin karena terlalu tegang, ataukah nasehat saya terlalu buruk untuk didengar dan nggak pantas diucap oleh orang seperti saya, sahabat ini hanya terdiam alias tak menjawab apapun.

Selanjutnya ketika gagal terpilih, kembali ia curhat dan menangis serta mengungkapkan berbagai tuduhan bahwa ia kalah karena dicurangi. Saya terdiam, sebagaimana dulu ia diam kala saya nasehatin. 

Kerapkali saya tulis di harian ini (BABEL POS), demokrasi seringkali menciptakan orang yang hanya memperbesar ambisi, mencari kursi tapi minim prestasi.

Demokrasi seringkali membuat cacing merasa diri adalah Naga dan kucing merasa harimau bahkan arak berubah jadi teh kotak dan alkohol menyebut diri teh botol. Tinggal kita masing-masing harus benar-benar jeli agar bisa membedakan mana tai mana roti, mana cacing mana naga, mana kucing mana harimau, mana teh botol mana alkohol, mana arak mana teh kotak. Sebab demokrasi seringkali membuat banyak orang frustasi. 

Misalnya, semakin mendekati Pemilu, suhu politik di negeri demokrasi pasti memanas. Tukang kompor akan lebih dominan daripada tukang lem. Artinya akan banyak yang ngomporin dan minim tokoh pemersatu.

Tak heran di media sosial perdebatan sengit yang berujung pada pertengkaran tak terelakkan akibat cacian, hujatan, hinaan dan segala hal yang sebenarnya tak perlu terjadi di alam demokrasi. 

Masih jauh Pemilu, di media sosial kita sudah  melihat banyak anak negeri  yang punya potensi harus dibully, ulama dihina, tokoh negeri di caci maki, fitnah begitu mudah, hoax disebarkan, hujatan menjadi santapan sehari-hari. padahal kita adalah sesama anak negeri yang dulu dikenal sangat ramah, saling menjaga satu sama lain dalam perbedaan serta menjadi teladan bagi negara lain. Melihat kondisi seperti ini, jangan-jangan Ibu Pertiwi meratap sedih, malu dan “gerigit ati” melihat anak-anaknya yang kian tak tahu malu. Berperang antar saudara sendiri hanya karena fanatisme buta dan syahwat kekuasaan.

Yang lebih parah, para penjilat kekuasan kadangkala mengenyampingkan akal sehat. Posisi sebuah lembaga yang harusnya netral, bertindak tak adil dan cenderung binal. Posisi alat negara berubah menjadi alat penguasa. Yang seharusnya jadi Wasit, malah ikut bermain ditengah lapangan dan bahkan mencetak gol. Posisi yang seharusnya memantau malah mengkampanyekan. Diposisikan sebagai penengah, malah miring ke kiri atau ke kanan sesuai kemana arah hembusan angin. Masing-masing sudah diberikan posisi tapi sibuk memposisikan diri demi kursi pada musim demokrasi cari posisi seperti sekarang ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: