Filosofi “Jerambah”
--
Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
SETIAP kita harus menjadi “jerambah” bagi kehidupan dan kebaikan. Menjadi “jerambah” dalam kebermanfaatan walau beban berat harus ditahan. Begitulah harusnya pemimpin!
“Susah jadi manusia!” sebuah kalimat satir dengan gambar seekor monyet sedang menepuk jidat pernah saya lihat dan sempat saya simpan dalam laptop tua. Kalimat “Susah menjadi manusia” mengingatkan kita bahwa banyak tanggungjawab, kewajiban, persoalan serta tetek bengek lainnya yang harus kita hadapi.
Semakin dewasa semakin besar tanggungjawab, semakin tinggi jabatan semakin besar amanah disandang, semakin kaya semakin banyak pikiran, semakin populer semakin kecil kebebasan dan semakin tua semakin susah menikmati kehidupan.
Kaya susah, miskin apalagi. Jelata susah, bertahta juga gak gampang. Tak dikenal orang susah, populer pun gampang dibantai. Kuat dihujat, lemah diinjak. Ngomong kritis diincar, diam dituduh bersekongkol. Susah kan?
Lama saya berpikir dengan kalimat “Susah jadi manusia” tersebut. Akhirnya saya merasa kurang sepakat dan berpikir sebaliknya, justru saya merasa“asyik jadi manusia” plus “Asyik banget jadi manusia Indonesia”. Sebab apalagi “tahta ke-makhluk-an” yang lebih tinggi dari menjadi mahluk bernama manusia? Kurang asyik apalagi sih selain menjadi orang Indonesia yang penuh dengan gelak tawa bahkan apapun kejadian di negeri ini bisa jadi bahan lelucon.
Jangankan komedi, tragedi pun bisa menjadi lelucon di negeri ini. jangankan iklan sampho, kasus Sambo saja jadi bahan lelucon yang luar biasa oleh manusia Indonesia di dunia maya maupun dunia nyata. Alhamdulillah pake banget dah, saya malah sangat menikmati itu.
Selanjutnya saya merenung guna menganalisa kalimat yang sering diungkapkan oleh tokoh besar Republik Indonesia, Gus Dur: “Gitu aja kok repot?”. Bagi saya, kalimat ini menunjukkan betapa segala persoalan yang dihadapi manusia, apalagi manusia Indonesia itu sangatlah enteng.
Bagi Gus Dur tidak ada persoalan yang berat di dunia ini, apalagi di Indonesia. Semuanya adalah enteng. So, nggak salah kalau saya berpikir sama bahwa asyik jadi manusia dan asyik banget jadi manusia Indonesia.
Ketidakpuasan, kejengkelan, “keringeman”, kebuntuan serta keputusasaan dan hal negatif lainnya yang bergelayut dalam rasa yang kita miliki adalah sangat manusiawi dan pasti dirasakan semua makhluk yang bernama manusia.
Tapi jika kita berpikir sejenak, apalagi menggunakan kalimat Gus Dur “Gitu aja kok repot?” ternyata semuanya sangatlah enteng. Apalagi ternyata kita hidup ini hanyalah menjadi “jerambah” (jembatan) bagi kehidupan lainnya dan kehidupan berikutnya (akhirat).
Mengapa dalam hal ini saya mengistilahkan dengan “jerambah” (jembatan)? Sebab dari “jerambah” atau “jerambeh” kita belajar banyak hal tentang keberadaan kita hidup melalui filosofinya. Bagaimana fungsi “jerambah” adalah penghubung yang terpisah, menyatukan yang tak bersatu, rela menahan beban kala terlewati, memudahkan urusan perjalanan, mempercepat mobilitas, akses mudah perekonomian, bahkan menjadi destinasi keceriaan (wisata) bagi sebagian orang kala ia berada di tempat yang memiliki pemandangan dan sejarah kehidupan.
Dari filosofi “jerambah” ini saya kembali teringat dengan Hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer sejak ratusan tahun silam, yakni :“khoirunnaas ‘anfauhum linnaas” (sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya).
So, dari hadits Nabi ini menurut saya mengajari kita untuk menjadi “jerambeh” bagi kehidupan orang lain untuk menggapai kehidupan berikutnya (akhirat). Contoh sederhana, bukankah kita ini menjadi laki-laki terus bekerja mencari nafkah (materi), lantas hasil yang didapat diberikan untuk isteri. Isteri pun ternyata hanya menjadi jembatan, sebab harus memenuhi kebutuhan rumah tangga dan anak? anak-anak pun demikian, kedepannya seperti kita, begitulah seterusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: